Perubahan Tatanan Global dan Optimalisasi Peran Dokter Spesialis Anak

Kamis, 10 Maret 2022 - 14:14 WIB
loading...
Perubahan Tatanan Global...
Aman Bhakti Pulungan (Foto: Ist)
A A A
Prof Dr dr Aman Bhakti Pulungan
Direktur Eksekutif International Pediatric Association dan Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

PADA 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengesahkan Sustainable Developing Goals (SDGs) yang merupakan kesepakatan pembangunan global. Kesehatan anak menjadi salah satu prioritas dalam SDGs, di mana Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan anak sebagai kondisi anak yang tidak hanya terhindar dari penyakit atau kelemahan fisik, tapi juga mencakup kesehatan mental, intelektual, sosial, dan emosional.

Pada 2019 WHO merilis sepuluh ancaman yang dapat memengaruhi kesehatan global; polusi udara dan perubahan iklim, penyakit tidak menular, pandemi flu global, krisis di tempat rentan, penolakan imunisasi, resistensi antibiotik, Ebola atau patogen berbahaya lain, demam berdarah dengue, pelayanan kesehatan yang substandar, dan HIV. Pada 2020, pandemi Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-COV-2 merebak di seluruh dunia, mengubah kehidupan manusia. Bersama dengan ancaman penyakit lainnya, krisis kesehatan global ini telah merenggut jutaan nyawa, termasuk anak-anak.

Ketidaksetaraan tingkat kesehatan terjadi di dunia termasuk di kawasan Asia-Pasifik. Sebagai contoh perbedaan angka harapan hidup yang mencapai lebih dari 10 tahun antara Jepang (84 tahun) dan Indonesia (71,2 tahun). Dalam 10 tahun terakhir, angka kematian bayi dan balita di Asia Tenggara berkurang sekitar 35%, namun angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Eropa dan Amerika. Tercatat sebanyak 24,8% kematian balita terjadi di Asia Selatan. Angka kematian bayi di Indonesia terbilang tinggi yaitu 24 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara tetangga Malaysia hanya 3,5 per 1.000 kelahiran hidup.

Cakupan masalah yang harus ditangani oleh dokter anak di Indonesia luas dan kompleks, termasuk permasalahan dalam 1.000 hari pertama kehidupan, skrining bayi baru lahir, ASI eksklusif, imunisasi, stunting, penyakit tidak menular, infeksi tuberkulosis, kesehatan remaja, dan masih banyak lagi. Skrining bayi baru lahir saat ini masih kurang mendapatkan perhatian di berbagai negara berkembang di Asia-Pasifik, seperti Bangladesh, Kamboja, India, termasuk Indonesia. Cakupannya di Indonesia hanya kurang dari 2%. Padahal pada penyakit kongenital (didapatkan selama kehamilan) seperti hipotiroid kongenital, jika diagnosis dan pengobatannya dilakukan terlambat, dapat mengakibatkan penurunan kecerdasan anak dan kualitas hidup saat dewasa.


Newborn Screening
Newborn Screening (NBS) adalah suatu intervensi kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah kematian dan disabilitas karena penyakit-penyakit tidak menular yang dapat dicegah progresinya dengan deteksi dini dan terapi yang segera. Penyakit-penyakit seperti hipotiroidisme kongenital dan hiperplasia adrenal kongenital dapat menyebabkan disabilitas dan kematian jika tidak terlambat didiagnosis, tetapi NBS untuk kedua penyakit ini belum diintegrasikan ke dalam program nasional dan belum dibiayai oleh jaminan kesehatan nasional, sehingga menghambat pemerataan pelaksanaan. Dokter spesialis anak perlu waspada terhadap penyakit-penyakit yang perlu skrining di awal kehidupan, serta aktif dalam advokasi program NBS untuk kesehatan anak Indonesia.

ASI Eksklusif dan Imunisasi Rutin
ASI eksklusif dan imunisasi rutin merupakan fondasi yang penting untuk kesehatan dan kualitas hidup anak. Cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih beragam, dan dipengaruhi banyak faktor seperti status sosio-ekonomi, ketersediaan cuti pascamelahirkan, inisiasi menyusui dini, dan faktor dukungan dari keluarga dan tenaga kesehatan. Akses kepada fasilitas kesehatan juga menjadi faktor penting dalam kelengkapan imunisasi rutin, terutama pada masa pandemi Covid-19. Misinformasi juga menjadi halangan yang signifikan, sehingga dokter spesialis anak memiliki peran yang besar untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada program imunisasi dan mendukung program-program imunisasi nasional.

Stunting
Stunting juga merupakan salah satu masalah yang mendesak dalam 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak, terutama di Indonesia dimana angka stunting diperkirakan masih cukup tinggi. Stunting adalah kondisi anak di mana tinggi berdasarkan usia berada di bawah standar deviasi -2 pada kurva WHO akibat kurang gizi dalam jangka waktu lama atau penyakit menahun. Karakteristik sosioekonomi seperti kemiskinan, angka kesakitan akibat penyakit infeksi yang tinggi dan kebersihan lingkungan yang buruk menjadi faktor yang memengaruhi tingginya angka stunting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, angka stunting di Indonesia adalah 30,8%. Banyak faktor yang mempengaruhi stunting selain faktor kesehatan dan nutrisi; faktor yang bersifat makro seperti keadaan sosial, politik, ekonomi, dan emosional juga memiliki peran.

Namun perlu diingat, tidak semua anak pendek mengalami stunting. Terdapat berbagai penyebab perawakan pendek pada anak, antara lain variasi normal dan kelainan genetik yang tidak berhubungan dengan berkurangnya kecerdasan akibat kurang gizi dalam jangka waktu lama atau penyakit menahun. Anak dengan perawakan pendek akibat penyakit lain, seperti kelainan genetik, sering keliru dikategorikan sebagai stunting. Hal tersebut mengakibatkan penyakit lain tidak terdiagnosis dan tidak mendapat tatalaksana yang sesuai. Kemudian anak pendek namun dengan pertumbuhan dan perkembangan normal sering dianggap stunting, sehingga pemberian asupan nutrisi menjadi berlebihan. Pemberian nutrisi berlebihan pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan obesitas yang menjadi risiko terjadinya penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit jantung koroner.

Mayoritas negara di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia menggunakan kurva pertumbuhan standar WHO untuk menentukan seorang anak mengalami stunting. Namun perlu diketahui bahwa anak Asia memiliki rerata tinggi badan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Eropa dan Afrika. Penelitian menunjukan terdapat ketidaksesuaian antara kurva standar WHO dan data anak di Indonesia. Didapatkan tinggi anak Indonesia lebih pendek berdasarkan kurva standar WHO namun dengan indeks massa tubuh yang normal. Sebaiknya diagnosis stunting dibuat berdasarkan kurva pertumbuhan yang sesuai dengan karakteristik anak Indonesia. Sebagai contoh Jepang yang memiliki kurva pertumbuhan sendiri sesuai dengan pola pertumbuhan anak sehat skala nasional, sehingga angka stunting di Jepang terbilang rendah. Dengan adanya kurva pertumbuhan nasional, besaran masalah pertumbuhan anak di Indonesia menjadi lebih akurat agar pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat guna menanggulangi masalah kesehatan khususnya stunting. Dokter spesialis anak harus berperan aktif dalam deteksi dini berbagai kelainan pertumbuhan, termasuk stunting, dengan pemantauan rutin tumbuh kembang anak, agar kelainan pertumbuhan dapat segera dideteksi dan ditangani.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1467 seconds (0.1#10.140)