Pandemi, Rasisme, dan Pemilu Presiden di AS

Selasa, 16 Juni 2020 - 06:27 WIB
loading...
Pandemi, Rasisme, dan Pemilu Presiden di AS
Indriana Kartini Peneliti Bidang Politik Internasional, Pusat Penelitian Politik LIPI dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik, FISIP UI. Foto/Ist
A A A
Indriana Kartini
Peneliti Bidang Politik Internasional, Pusat Penelitian Politik LIPI dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik, FISIP UI

KEMATIAN George Floyd, seorang warga kulit hitam pada 25 Mei lalu di lutut polisi kulit putih, Derek Chauvin, di Minneapolis, Minnesota, telah memicu unjuk rasa besar-besaran di berbagai negara bagian di Amerika Serikat (AS) terkait isu rasisme dan kebrutalan polisi. Unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersebar di lebih dari 30 kota. Sekitar 228 tempat bisnis di Minneapolis dan St Paul dirusak, dijarah dan dibakar pengunjuk rasa. Aksi ini semakin diperparah oleh pernyataan Presiden Trump yang menyebut pengunjuk rasa sebagai preman dan memerintahkan untuk menembak para pelaku penjarahan sehingga menyulut kemarahan masyarakat. Akibatnya, 40 kota di AS. termasuk Washington DC, memberlakukan jam malam dan sekitar 5.000 anggota Garda Nasional diaktifkan di 15 negara bagian dan Washington, DC. Aksi unjuk rasa yang berlangsung lebih dari seminggu ini mengangkat kembali isu rasisme sistemik di AS, khususnya terhadap warga Afrika-Amerika yang juga menjadi kelompok warga yang paling rentan terkena dampak dari pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19

Bagi warga Afrika-Amerika di seluruh Amerika Serikat, tahun 2020 merupakan tahun terberat. Komunitas kulit hitam di Minnesota dan di seluruh negara bagian lainnya merupakan komunitas yang paling banyak terinfeksi dengan rata-rata kematian tertinggi akibat Pandemi Covid-19 dibandingkan warga kulit putih. New York Times (30/5) melaporkan bahwa sekitar 29% warga kulit hitam di Minnesota terinfeksi Covid-19, atau 6% dari populasi di AS. Khusus di kota Minneapolis, sekitar 35% warga Afrika-Amerika terinfeksi virus korona, meskipun jumlah mereka hanya 20% dari total populasi di kota itu. Pandemi juga berpengaruh terhadap kondisi ekonomi di Minneapolis. Para pekerja Afrika-Amerika dan Hispanik merupakan komunitas yang banyak kehilangan pekerjaan.

Kebanyakan dari mereka merupakan pekerja dengan upah kecil yang berisiko atas kesehatan mereka dengan bekerja di toserba, panti jompo, pabrik, rumah jagal, dan pekerjaan lain yang tidak bisa dikerjakan dengan jarak sosial. Selain itu, mereka banyak yang tidak memiliki asuransi kesehatan, bahkan tidak mampu membayar biaya medis ketika sakit. Dalam konteks ini, kemiskinan di AS terkait dengan ras dan etnisitas. Pada 2018, 11% warga kulit putih memiliki penghasilan di bawah rata-rata tingkat kemiskinan di level federal, dibandingkan dengan 23% warga kulit hitam dan 19% warga Hispanik (Noppert 2020). Persentase ini menunjukkan bahwa warga kulit berwarna hidup di komunitas dengan penghasilan rendah disertai kurangnya akses terhadap sumber dasar bagi kesehatan mereka.

Isu Rasisme

Pada April 2019, Pew Research Center mengeluarkan hasil survei tentang ras di Amerika dengan jumlah responden 6.637. Hal menarik dari survei ini adalah pandangan negatif publik terhadap kemajuan hubungan rasial di AS dan pandangan bahwa Presiden Trump membuat hubungan rasial di AS menjadi lebih buruk. Hasil survei menunjukkan bahwa setelah lebih dari 150 tahun pascaamendemen ke-13 tentang penghapusan perbudakan di AS, mayoritas warga memandang bahwa warisan sejarah perbudakan masih berdampak terhadap posisi warga kulit hitam dalam masyarakat Amerika. Lebih dari 38% menyatakan bahwa pemerintah belum membawa cukup kemajuan dalam hal persamaan rasial dan masih terdapat sikap skeptis di kalangan warga kulit hitam bahwa mereka akan memiliki hak yang sama dengan warga kulit putih.

Selanjutnya opini tentang hubungan rasial dan bagaimana Presiden Trump menangani isu tersebut juga negatif. Sekitar 58% menyatakan bahwa hubungan rasial di AS masih buruk. Sekitar 56% memandang bahwa Presiden Trump membuat hubungan rasial semakin buruk; hanya 15% yang menyatakan bahwa Trump telah membawa perubahan dalam hubungan rasial dan sekitar 13% menyatakan bahwa Trump sudah mencoba, namun gagal membawa kemajuan dalam isu rasial. Lebih lanjut, 65% menyatakan bahwa ungkapan rasis menjadi hal biasa sejak Trump menjadi presiden. Karena itu, bukan hal yang mengejutkan bahwa kasus kematian Floyd menjadi katalisator aksi unjuk rasa dan kerusuhan di AS mengingat bila dikaitkan dengan hasil survei di atas, menjelaskan rasa frustrasi dan keputusasaan komunitas kulit hitam atas rasisme sistemik yang telah lama mereka alami ditambah dengan pandemi Covid-19 yang berdampak besar terhadap kondisi ekonomi dan kesehatan mereka.

Pemilu Presiden

Aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang melanda Amerika Serikat pascakematian Floyd kemudian menjadi tes bagi dua calon presiden, yakni petahana Donald Trump dari Partai Republik dan Joe Biden dari Partai Demokrat, yang akan bertarung dalam pemilu presiden November mendatang. Jika melihat hasil survei Pew Research Center terkait kepercayaan terhadap Trump dalam isu hubungan rasial, pandangan publik cenderung negatif terhadap Trump. Selain itu, Trump dinilai gagal dalam mengatasi pandemi Covid-19 di Amerika yang mencapai lebih dari 1,8 juta kasus. Dalam polling yang dilakukan beberapa media di AS, seperti CNN, menunjukkan popularitas Biden (51%) melebihi Trump (41%), sementara polling dari Fox News menunjukkan keunggulan Biden (49%) atas Trump (40%).

Hasil polling juga menunjukkan bahwa Partai Demokrat akan meraih suara terbanyak dari pemilih kulit hitam yang merupakan kelompok pendukung penting. Namun, hal ini tidak menjamin bahwa warga kulit hitam akan sepenuhnya mendukung Biden. Di Colombia, kota di mana Biden mendeklarasikan kemenangan setelah South Carolina, para pengunjuk rasa menyatakan bahwa mereka menuntut lebih dari apa yang dijanjikan calon presiden dalam pemilu. Tidak hanya keadilan bagi kematian Floyd, namun lebih dari itu, perubahan kekuatan politik dan ekonomi yang akan mencegah kematian warga kulit hitam lainnya di masa mendatang.

Dalam wawancara dengan New York Times (31/5), aktivis hak sipil seperti Stacey Abrams dan mantan calon presiden Jesse Jackson menyatakan bahwa jika Demokrat menginginkan warga kulit hitam memberikan suara sepenuhnya dalam pemilu presiden, para pemimpin partai harus mendengarkan alasan mengapa mereka marah. Hal ini tidak hanya cukup dengan ketiadaan Trump. Dalam konteks ini, Biden tidak akan mampu mengatasi rasisme tanpa menggarisbawahi ketidaksetaraan sistemik yang terjadi hanya dengan kembali ke masa pra-Trump. Menurut Jackson, untuk memenangkan pemilu presiden November mendatang dan menepati janjinya untuk mempersatukan Amerika, Biden membutuhkan lebih dari sekedar koalisi yang memenangkannya dalam konvensi Partai Demokrat. Selanjutnya, untuk meraih dukungan pemilih muda, Biden harus menawarkan sesuatu yang lebih besar dari janji mengalahkan Trump sebagai jawaban atas keputusasaan warga kulit hitam. Jika performa Biden mampu menawarkan janji lebih besar bagi warga kulit hitam, bukan mustahil polling yang telah dilakukan beberapa media di AS akan menjadi kenyataan. (*)
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1056 seconds (0.1#10.140)