Restorative Justice, Harapan Baru Pencari Keadilan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) menjadi angin segar bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana di Indonesia.Melalui langkah ini, penanganan kasusnya tidak perlu lagi masuk ke pengadilan , namuncukup melalui mekanisme kekeluargaan antara pelaku dengan korban.
Belakangan kebijakan ini sering dilakukan kepolisian, kejaksaan, termasuk hakim. Satu di antaranya terkait kasus yang melibatkan Rinaldi Gunawan, 21. Mahasiswa asal Sumedang itu didakwa kasus pencurian ponsel dan helm milik pelajar SMA di Majalengka.
Mahasiswa jurusan keperawatan di Cirebon itu melakukan aksinya untuk menutupi tunggakan biaya kuliah sebesar Rp10 juta.Restorative justicemenghentikan kasus itu karena terpidana yang sudah menjalani dua bulan kurungan baru pertama kali melakukan aksinya.
Agus Mustopa, tersangka kasus pencurian sepeda motor, juga mendapatrestorative justice. Pria berusia 28 tahun itu menangis dan bersimpuh di kaki ibu dan majikannya setelah dinyatakan bebas atas kasus hukum yang menjeratnya. Motif Agus mengambil sepeda motor karena kesulitan ekonomi dan ada masalah keluarga.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam beberapa kesempatan menyebut soal keadilan restoratif ataurestorative justiceadalah bentuk komitmen Polri dalam memenuhi prinsip rasa keadilan. Polri menitikberatkan dalam upaya pencegahan dengan mengedepankan pendekatanrestorative justicedan berpedoman pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Sepanjang 2021, Polri telah melakukanrestorative justiceterhadap 11.811 perkara. Jumlah ini meningkat 28,3% dari tahun sebelumnya sebesar 9.199 kasus. Selain itu, ada juga sebanyak 1.062 polsek di 343 polres yang tak lagi melakukan penyidikan dan memprioritaskan mediasi. “1.062 polsek di 343 polres yang telah diubah kewenangannya hanya untuk pemeliharaan kamtibmas, tidak melakukan penyidikan,” ujar Sigit.
Menurutnya, lebih dari seribu polsek tersebut saat ini fokus dalam membina masyarakat dan menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan keadilan restoratif. Anggota di polsek tersebut juga sudah mendapatkan pelatihan terkait hal tersebut. “Anggota polsek tersebut mendapatkan pelatihan secara khusus untuk memahami dan memiliki kemampuan fungsi binmas, intelijen, sabara, dan tentunya olah TKP,” ungkap mantan Kabareskrim Polri itu.
Listyo menuturkan,restorative justicemerupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dan korban. Pendekatan itu menjadi salah satu program kerja yang dicanangkan untuk mengikuti dinamika perkembangan dunia hukum yang mulai bergeser dari positivisme ke progresif.
“Ke depan kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, yang menyentuh keadilan masyarakat, dapat diselesaikan denganrestorative justice,” tandasnya. Jenderal bintang empat itu menekankanrestorative justiceharus dikecualikan terhadap perkara yang berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Jaksa Agung Burhanuddin menegaskan bahwa penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki. Dia pun ingin kehadiran jaksa di tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga kemanfaatan hukum.
“Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ucap Burhanuddin.
Menurutnya, satu di antara contoh penegakan hukum yang tidak mampu menyerap rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat adalah kasus KDRT di Kejaksaan Negeri Karawang. Dalam kasus tersebut, tuntutan jaksa tersebut tampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Oleh karenanya, saya minta kepada kajati dan kajari untuk mencermati rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Salah satu tolok ukur terpenuhinya rasa keadilan adalah ketika penegakan hukum yang dilakukan diterima dan dirasa manfaatnya oleh masyarakat,” tegasnya.
Untuk memperkuat kebijakan tersebut, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pada Pasal 5 disebutkan bahwa perkara dapat dihentikan apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Kemudian ancaman pidana penjara tidak lebih dari lima tahun dan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari 2,5 juta. “Kami juga membuat kebijakan membentuk Kampung Restorative Justice di masing-masing daerah,” terangnya.
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto mendukung pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian tindak pidana.
Ia berpandangan upaya tersebut sebagai suatu kebutuhan hukum masyarakat yang menginginkanrestorative justicedengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan maupun kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan. Pemberlakuan hukum pidana hanya dilakukan sebagaiultimum remediumatau upaya terakhir.
Prinsip dasarrestorative justicemenekankan pada pemulihan terhadap korban yang menderita akibat kejahatan. Misalnya, memberikan ganti rugi terhadap korban, perdamaian, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hukum yang adil di dalam keadilan restoratif tentunya tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak kepada kebenaran sesuai peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
“Upaya ini diharapkan mampu menjawab perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan dengan mengakomodasi norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat,” kata Didik.
Kendati demikian, politikus Partai Demokrat itu menegaskan pendekatanrestorative justicetidak bisa diterapkan untuk semua tindak pidana. Secara materiil, pelaksanaannya di kepolisian harus memenuhi ketentuan antara lain, tidak menimbulkan keresahan maupun penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme.
Restorative justicejuga tidak berlaku bagi pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan, serta tindak pidana terorisme maupun terhadap keamanan negara, korupsi maupun kejahatan terhadap nyawa orang. Adapun penerapan ini dapat dilakukan jika telah terjadi perdamaian dari kedua belah pihak dan pemenuhan hak-hak korban serta tanggung jawab pelaku, terkecuali tindak pidana narkoba.
Dia lantas menuturkan, sejauh ini penerapanrestorative justicebelum memiliki dasar payung hukumnya. Konsep keadilan tersebut masih dalam tahap perumusan di RUU KUHP yang telah dibahas oleh pemerintah dan DPR.
“Tinggal pengesahannya. Jika RUU KUHP segera disahkan, maka bukan hanyarestorative justice, tapiintegrated criminal justice systemdapat diwujudkan,” tandasnya.
Ketua SETARA Institute Hendardi berpandangan upaya kepolisian dan kejaksaan menyelesaikan perkara pidana melaluirestorative justicemerupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akutovercapacitylembaga pemasyarakatan (lapas). Penuhnya lapas itu merupakan dampak dari orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif yakni keadilan berbentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
“Nah, restoratif tidak demikian, tidak seperti dalam hukum pidana yang legalistik itu.Restorative justiceadalah sebuah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama akibat dari pelanggaran tersebut. Penyelesaianrestorative justicelebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang beperkara demi kepentingan bersama di masa yang akan datang,” tutur Hendardi.
Menurutnya, tidak semua kasus pidana bisa diatasi dengan pendekatan keadilan restoratif. Misalnya, kasus pencurian telepon genggam di Pangkal Pinang beberapa waktu lalu. Pelaku dibebaskan di tingkat kejaksaan dengan alasan mencuri untuk kepentingan anaknya agar bisa sekolah daring. Hendardi menilai penyelesaian itu tepat digunakan melalui pendekatanrestorative justice.
Belakangan kebijakan ini sering dilakukan kepolisian, kejaksaan, termasuk hakim. Satu di antaranya terkait kasus yang melibatkan Rinaldi Gunawan, 21. Mahasiswa asal Sumedang itu didakwa kasus pencurian ponsel dan helm milik pelajar SMA di Majalengka.
Mahasiswa jurusan keperawatan di Cirebon itu melakukan aksinya untuk menutupi tunggakan biaya kuliah sebesar Rp10 juta.Restorative justicemenghentikan kasus itu karena terpidana yang sudah menjalani dua bulan kurungan baru pertama kali melakukan aksinya.
Agus Mustopa, tersangka kasus pencurian sepeda motor, juga mendapatrestorative justice. Pria berusia 28 tahun itu menangis dan bersimpuh di kaki ibu dan majikannya setelah dinyatakan bebas atas kasus hukum yang menjeratnya. Motif Agus mengambil sepeda motor karena kesulitan ekonomi dan ada masalah keluarga.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam beberapa kesempatan menyebut soal keadilan restoratif ataurestorative justiceadalah bentuk komitmen Polri dalam memenuhi prinsip rasa keadilan. Polri menitikberatkan dalam upaya pencegahan dengan mengedepankan pendekatanrestorative justicedan berpedoman pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Sepanjang 2021, Polri telah melakukanrestorative justiceterhadap 11.811 perkara. Jumlah ini meningkat 28,3% dari tahun sebelumnya sebesar 9.199 kasus. Selain itu, ada juga sebanyak 1.062 polsek di 343 polres yang tak lagi melakukan penyidikan dan memprioritaskan mediasi. “1.062 polsek di 343 polres yang telah diubah kewenangannya hanya untuk pemeliharaan kamtibmas, tidak melakukan penyidikan,” ujar Sigit.
Menurutnya, lebih dari seribu polsek tersebut saat ini fokus dalam membina masyarakat dan menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan keadilan restoratif. Anggota di polsek tersebut juga sudah mendapatkan pelatihan terkait hal tersebut. “Anggota polsek tersebut mendapatkan pelatihan secara khusus untuk memahami dan memiliki kemampuan fungsi binmas, intelijen, sabara, dan tentunya olah TKP,” ungkap mantan Kabareskrim Polri itu.
Listyo menuturkan,restorative justicemerupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dan korban. Pendekatan itu menjadi salah satu program kerja yang dicanangkan untuk mengikuti dinamika perkembangan dunia hukum yang mulai bergeser dari positivisme ke progresif.
“Ke depan kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, yang menyentuh keadilan masyarakat, dapat diselesaikan denganrestorative justice,” tandasnya. Jenderal bintang empat itu menekankanrestorative justiceharus dikecualikan terhadap perkara yang berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Jaksa Agung Burhanuddin menegaskan bahwa penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki. Dia pun ingin kehadiran jaksa di tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga kemanfaatan hukum.
“Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ucap Burhanuddin.
Menurutnya, satu di antara contoh penegakan hukum yang tidak mampu menyerap rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat adalah kasus KDRT di Kejaksaan Negeri Karawang. Dalam kasus tersebut, tuntutan jaksa tersebut tampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Oleh karenanya, saya minta kepada kajati dan kajari untuk mencermati rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Salah satu tolok ukur terpenuhinya rasa keadilan adalah ketika penegakan hukum yang dilakukan diterima dan dirasa manfaatnya oleh masyarakat,” tegasnya.
Untuk memperkuat kebijakan tersebut, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pada Pasal 5 disebutkan bahwa perkara dapat dihentikan apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Kemudian ancaman pidana penjara tidak lebih dari lima tahun dan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari 2,5 juta. “Kami juga membuat kebijakan membentuk Kampung Restorative Justice di masing-masing daerah,” terangnya.
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto mendukung pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian tindak pidana.
Ia berpandangan upaya tersebut sebagai suatu kebutuhan hukum masyarakat yang menginginkanrestorative justicedengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan maupun kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan. Pemberlakuan hukum pidana hanya dilakukan sebagaiultimum remediumatau upaya terakhir.
Prinsip dasarrestorative justicemenekankan pada pemulihan terhadap korban yang menderita akibat kejahatan. Misalnya, memberikan ganti rugi terhadap korban, perdamaian, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hukum yang adil di dalam keadilan restoratif tentunya tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak kepada kebenaran sesuai peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
“Upaya ini diharapkan mampu menjawab perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan dengan mengakomodasi norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat,” kata Didik.
Kendati demikian, politikus Partai Demokrat itu menegaskan pendekatanrestorative justicetidak bisa diterapkan untuk semua tindak pidana. Secara materiil, pelaksanaannya di kepolisian harus memenuhi ketentuan antara lain, tidak menimbulkan keresahan maupun penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme.
Restorative justicejuga tidak berlaku bagi pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan, serta tindak pidana terorisme maupun terhadap keamanan negara, korupsi maupun kejahatan terhadap nyawa orang. Adapun penerapan ini dapat dilakukan jika telah terjadi perdamaian dari kedua belah pihak dan pemenuhan hak-hak korban serta tanggung jawab pelaku, terkecuali tindak pidana narkoba.
Dia lantas menuturkan, sejauh ini penerapanrestorative justicebelum memiliki dasar payung hukumnya. Konsep keadilan tersebut masih dalam tahap perumusan di RUU KUHP yang telah dibahas oleh pemerintah dan DPR.
“Tinggal pengesahannya. Jika RUU KUHP segera disahkan, maka bukan hanyarestorative justice, tapiintegrated criminal justice systemdapat diwujudkan,” tandasnya.
Ketua SETARA Institute Hendardi berpandangan upaya kepolisian dan kejaksaan menyelesaikan perkara pidana melaluirestorative justicemerupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akutovercapacitylembaga pemasyarakatan (lapas). Penuhnya lapas itu merupakan dampak dari orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif yakni keadilan berbentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
“Nah, restoratif tidak demikian, tidak seperti dalam hukum pidana yang legalistik itu.Restorative justiceadalah sebuah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama akibat dari pelanggaran tersebut. Penyelesaianrestorative justicelebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang beperkara demi kepentingan bersama di masa yang akan datang,” tutur Hendardi.
Menurutnya, tidak semua kasus pidana bisa diatasi dengan pendekatan keadilan restoratif. Misalnya, kasus pencurian telepon genggam di Pangkal Pinang beberapa waktu lalu. Pelaku dibebaskan di tingkat kejaksaan dengan alasan mencuri untuk kepentingan anaknya agar bisa sekolah daring. Hendardi menilai penyelesaian itu tepat digunakan melalui pendekatanrestorative justice.
(ynt)