Harga Perdamaian: Murah?

Rabu, 09 Maret 2022 - 06:00 WIB
loading...
Harga Perdamaian: Murah?
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Foto/Dok SINDOnews
A A A
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga

SUNGGUH menarik menyimak perbincangan di TED talk dengan Yuval Noah Harari, sejarahwan dan pemikir asal Israel yang terkenal dengan bukunya Sapiens, tentang sejarah manusia. Setelah perang dunia II hingga kini, manusia saat ini dari berbagai negara berhasil menahan diri untuk tidak melakukan perang berskala internasional.

Ini adalah prestasi bersama: prestasi untuk tidak perang dan menahan diri untuk tidak membesarkan konflik yang terjadi. Tentu tidak sepenuhnya bisa diambil begitu saja ungkapan tadi. Faktanya, masih banyak konflik berkecamuk di dunia skala nasional dan antar tetangga di level regional.

Saat ini masih kita dengar konflik di Timur Tengah berlanjut. Asia Tengah dan Asia Tenggara juga tidak sepi dari berbagai persoalan. Negara-negara Balkan juga tidak bebas dari sengketa. Korea juga tidak segera menurunkan eskalisnya dengan sesama Korea.

Israel dan Palestina sendiri juga bukan hal yang rampung, tempat Harari tinggal. Indonesia juga baru saja mengakhiri persoalan panjang Aceh dan Timur Leste pasca Perang Dunia II. Bahkan Papua hingga kini juga masih memendam beberapa persoalan krusial.

Persoalan di dunia tidak pernah habis dan akan terus ada. Pernyataan Harari, lebih tepatnya perang dunia III tidak terjadi hingga kini. Tetapi pertengkaran antar negara tetangga dan internal bangsa tidak bisa ditiadakan.

Suriah, Yaman, Korea, beberapa contoh saja dari keributan demi keributan yang harganya juga nyawa manusia, kerusakan infrastruktur, kerusakan mental, dan dendam kesumat. Rusia menyerang Ukraina salah satu saja dari sekian banyak perang lokal. Namun, agresi Rusia pada Ukraina harganya akan lebih mahal, jika NATO atau Amerika bergerak dan terlibat langsung.

Barat melawan Rusia bisa terjadi seperti dalam banyak kasus selama perang dingin Uni Soviet lawan Amerika tiga puluh tahun yang lalu. Banyak kasus di Timur Tengah selama perang dingin menjadi perang dengan perantara (proxy war) lewat pemasokan senjata, penyalahgunaan sumber daya lokal, campurtangan politik, dan intervensi keputusan-keputusan.

Selama 70 tahun tidak terjadi perang skala besar seperti Perang Dunia I dan II etul itu dan badalah prestasi manusia. Prestasi perdamaian. Prestasi menahan diri. Prestasi tidak ingin mengalahkan yang lain. Bukannya tidak ada konflik sama sekali.

Tetapi konflik skala nasional dan antar tetangga tidak dinaikkan skalanya pada tingkat regional dan internasional. Masing-masing pihak masih menahan diri untuk tidak terang-terangan terlibat dalam perang fisik.

Kunci dari pernyataan Harari adalah menahan diri dan tidak terlibat terang-terangan dan dalam skala besar. Betul, setelah Perang Dunia II, Vietnam misalnya juga berkepanjangan, sebagaimana juga Irak. Tetapi, tidak serta merta dua adidaya dunia kala itu terlibat langsung.

Semua masih menahan diri karena perang akan mengorbankan dunia dan isinya. Perang tidak menghasilkan apapun, kecuali kerugian. Yang menang rugi, dan yang kalah hancur. Harga perang sangat mahal dan berkepanjangan. Dendam pasca peperangan juga sulit disembuhkan.

Harari menyinggung harga perang yang tengah terjadi. Negara-negara Eropa ketika melihat penyerangan pasukan riel Rusia ke Ukraina dengan serta merta menaikkan anggaran perang masing-masing. Jerman misalnya yang hanya memiliki kurang dari tiga persen anggaran negara untuk pertahanan menaikkan menjadi enam persen, dua kali lipat. Begitu juga negara-negara Eropa lain.

Artinya, negara-negara yang merasa damai dan aman kini harus mengeluarkan anggaran pertahanan. Negara-negara Eropa yang sudah tidak lagi memprioritaskan tentara dan meninggalkan pembelian senjata-senjata kini mengubah strategi.

Nah, dengan adanya serangan Rusia ke Ukraina, anggaran negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat keseharian seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan kini harus dikurangi untuk tantara dan senjata. Yang menjadi perhatian dunia, yaitu perubahan iklim yang membutuhkan dana besar, kini bisa berkurang anggarannya untuk pertahanan.

Serangan Rusia tidak hanya mengubah Ukraina dan Russia, dan bagaimana keduanya saling mendendam, tetapi juga pada bangsa-bangsa umumnya, pada keuangan, kesejahteraan, pendidikan, dan perubahan iklim. Keuangan negara-negara itu kini bisa berubah.

Dukungan masyarakat Jerman pada strategi peningkatan keamanan juga meningkat. Mereka rela memotong anggaran kehidupan demi keamanan. Perang harganaya mahal. Harga itu tidak hanya dibayar oleh Rusia dan Ukraina.

Harga itu dibayar manusia pada umumnya. Eropa, Amerika, dan mungkin negara-negara Asia, termasuk Indonesia akan ikut memikulnya. Perang akan mengubah peta. Saat ini dunia semakin terhubung. Tidak mungkin konflik di Eropa Timur berhenti begitu saja di sana.

Dunia ikut menanggungnya, sebagaimana krisis ekonomi beberapa saat lalu. Krisis politik juga sama menularnya. Perdamaian jauh lebih murah, perang jauh lebih mahal. Perang dibayar di muka dan di belakang. Bayangkan berapa harga senjata, pesawat, bom, dan pasukan Rusia untuk menyerang Ukraina.

Berapa harga gedung-gedung Ukraina yang dihancurkan dan nantinya akan dibangun kembali setelah perang. Konon Rusia sudah kehilangan kurang lebih 70 milyar dolar Amerika, karena pasar bergolak dan saham-saham perusahaan Rusia anjlok harganya. Perang tidak pernah murah. Perang Afghanistan, misalnya, diperkirakan seharga 2, 3 trilyun dolar.

Belum dihitung nyawa manusia, gedung rusak, harga psikologi, harga dendam, harga kerusakan negara, dan gonjangan dunia. Perang tidak murah. Damai lebih murah.Perdamaian harganya dibayar dimuka, yaitu menahan diri. Damai itu murah dan dinikmati bersama, tetapi tidak terasa. Damai tidak gagah. Damai tidak mengalahkan. Damai tidak disadari.

Selama ini Amerika dan Rusia sudah menahan diri untuk mengecilkan setiap konflik di beberapa tempat. Bangsa Indonesia juga menahan diri, tidak menyebarkan konflik-konflik lokal ke skala nasional.

Sejak kemerdekaan, peristiwa paling besar adalah 1965. Pemerintah dan rakyat Indonesia memilih damai. Harganya mengalahkan diri sendiri, tidak ingin menang sendiri, menahan diri, dan memberi ruang pada orang lain. Damai murah dan tidak disadari.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1009 seconds (0.1#10.140)