Menghindari Jebakan Pemaknaan Toleransi
loading...
A
A
A
Salah satu sikap lain Nabi Muhammad adalah mengetengahkan diktum “umat” sebagai persekutuan masyarakat universal. Pada Piagam Madinah Pasal 1 termaktub, annahum ummatun waahidatun min duuni an-nassi (sesungguhnya mereka satu umat, lain dari [komunitas] manusia lain).
Pada pasal-pasal selanjutnya, kaum Yahudi Bani Awf, Najjar, Hars, Sa’idah, Jusyam, al-Aws, Sa’labah, Jafnah, Syutaybah, mawaaliya Tsa’labata (sekutu-sekutu Tsa’labah), dan bithaanata Yahuuda (kerabat Yahudi [di luar Madinah]) diperlakukan sebagai “satu umat dengan mukminin”. Piagam Madinah mengedepankan persaudaraan universal yang melampaui batas-batas geografi, agama, dan kesukuan.
Dari Pasif ke Aktif
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad berbeda dengan yang dipotret Buya Hamka sebagai “toleransi paksaan”. Pada 1968, pemerintah menginisiasi acara “Lebaran-Natal” karena kedua hari raya itu berdekatan. Bagi Hamka, acara itu memaksakan toleransi dan mencerminkan pandangan sinkretisme.
Ketegangan atas makna toleransi semacam ini bersumber dari pemaknaannya yang pasif. Layaknya sebuah iman, toleransi yang dimaknai demikian selalu dibayangkan terdapat batas keyakinan. Yang menjadi sulit, batas-batas toleransi itu dimaknai berbeda-beda. Alhasil, pemaknaan seperti itu membuat proyek tentang toleransi menjadi kontraproduktif.
Pada 1996, melalui esai “Dari Kerukunan ke Kerjasama, dari Toleransi ke Koperasi”, cendekiawan Kuntowijoyo berpendapat, kerukunan atau toleransi menimbulkan sikap apologetis, merujuk pada status quo, dan berorientasi ke dalam.
Ia mengusulkan agar proyeksi hubungan antar-masyarakat dipromosikan melalui pendekatan yang lebih aktif; dengan mengganti kampanye kerukunan atau toleransi menjadi kerja sama atau koperasi. Iman memperkuat keyakinan pada agama, amal menghargai perbedaan dengan kerja sama antarumat beragama (lita’arafu). Saling mengetahui, memahami, dan menghargai dengan landasan meyakini. Penyegaran makna ini barangkali perlu diarusutamakan kembali di tengah overdosis pemaknaan toleransi.
Di tiap negara, banyak hal yang dikerjakan untuk mengendalikan hubungan antarumat beragama. Di Turki, konstitusi menempatkan agama di bawah logika negara. Untuk urusan pengeras suara, Turki mengatur hingga 80 disabel, dan 45 disabel untuk subuh. Peraturan serupa juga dilakukan di Arab Saudi. Indonesia memang agak berbeda di kedua negara tersebut dengan kelebihan memiliki masyarakat sipil yang kuat dalam soal keberagamaan. Karena itu, Indonesia sejatinya dapat lebih kreatif. Sayangnya, isu ini sudah dibawa pada hal yang kontraproduktif. Mengkritisi kebijakan memang diperlukan, namun berkutat pada pernyataan Menteri Agama Yaqut yang dianggap membandingkan suara adzan dengan suara anjing sangatlah absurd, apalagi sumbernya hanya sekedar potongan video. Alangkah bijaksananya jika ingin mengkritisi maka kritisilah substansi dari aturan tersebut.
Bila masyarakat berfokus pada substansinya, Indonesia barangkali bisa mendorong peradaban muslim melalui seni suara yang dapat dinikmati secara luas. Lebih jauh, Indonesia juga bisa mengembangkan diskursus masjid ramah lingkungan. Greenpeace Indonesia baru-baru ini mengangkat kampanye “Panduan Masjid Hijau” yang mengatur tentang manajemen air (pengaturan ulang air wudhu) dan sampah, penanaman pohon di lingkungan masjid, hingga penggunaan tenaga surya. Isu polusi udara barangkali juga bisa dimasukkan. Orientasi semacam ini akan lebih produktif dan mendorong toleransi yang bersifat aktif.
Pada pasal-pasal selanjutnya, kaum Yahudi Bani Awf, Najjar, Hars, Sa’idah, Jusyam, al-Aws, Sa’labah, Jafnah, Syutaybah, mawaaliya Tsa’labata (sekutu-sekutu Tsa’labah), dan bithaanata Yahuuda (kerabat Yahudi [di luar Madinah]) diperlakukan sebagai “satu umat dengan mukminin”. Piagam Madinah mengedepankan persaudaraan universal yang melampaui batas-batas geografi, agama, dan kesukuan.
Dari Pasif ke Aktif
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad berbeda dengan yang dipotret Buya Hamka sebagai “toleransi paksaan”. Pada 1968, pemerintah menginisiasi acara “Lebaran-Natal” karena kedua hari raya itu berdekatan. Bagi Hamka, acara itu memaksakan toleransi dan mencerminkan pandangan sinkretisme.
Ketegangan atas makna toleransi semacam ini bersumber dari pemaknaannya yang pasif. Layaknya sebuah iman, toleransi yang dimaknai demikian selalu dibayangkan terdapat batas keyakinan. Yang menjadi sulit, batas-batas toleransi itu dimaknai berbeda-beda. Alhasil, pemaknaan seperti itu membuat proyek tentang toleransi menjadi kontraproduktif.
Pada 1996, melalui esai “Dari Kerukunan ke Kerjasama, dari Toleransi ke Koperasi”, cendekiawan Kuntowijoyo berpendapat, kerukunan atau toleransi menimbulkan sikap apologetis, merujuk pada status quo, dan berorientasi ke dalam.
Ia mengusulkan agar proyeksi hubungan antar-masyarakat dipromosikan melalui pendekatan yang lebih aktif; dengan mengganti kampanye kerukunan atau toleransi menjadi kerja sama atau koperasi. Iman memperkuat keyakinan pada agama, amal menghargai perbedaan dengan kerja sama antarumat beragama (lita’arafu). Saling mengetahui, memahami, dan menghargai dengan landasan meyakini. Penyegaran makna ini barangkali perlu diarusutamakan kembali di tengah overdosis pemaknaan toleransi.
Di tiap negara, banyak hal yang dikerjakan untuk mengendalikan hubungan antarumat beragama. Di Turki, konstitusi menempatkan agama di bawah logika negara. Untuk urusan pengeras suara, Turki mengatur hingga 80 disabel, dan 45 disabel untuk subuh. Peraturan serupa juga dilakukan di Arab Saudi. Indonesia memang agak berbeda di kedua negara tersebut dengan kelebihan memiliki masyarakat sipil yang kuat dalam soal keberagamaan. Karena itu, Indonesia sejatinya dapat lebih kreatif. Sayangnya, isu ini sudah dibawa pada hal yang kontraproduktif. Mengkritisi kebijakan memang diperlukan, namun berkutat pada pernyataan Menteri Agama Yaqut yang dianggap membandingkan suara adzan dengan suara anjing sangatlah absurd, apalagi sumbernya hanya sekedar potongan video. Alangkah bijaksananya jika ingin mengkritisi maka kritisilah substansi dari aturan tersebut.
Bila masyarakat berfokus pada substansinya, Indonesia barangkali bisa mendorong peradaban muslim melalui seni suara yang dapat dinikmati secara luas. Lebih jauh, Indonesia juga bisa mengembangkan diskursus masjid ramah lingkungan. Greenpeace Indonesia baru-baru ini mengangkat kampanye “Panduan Masjid Hijau” yang mengatur tentang manajemen air (pengaturan ulang air wudhu) dan sampah, penanaman pohon di lingkungan masjid, hingga penggunaan tenaga surya. Isu polusi udara barangkali juga bisa dimasukkan. Orientasi semacam ini akan lebih produktif dan mendorong toleransi yang bersifat aktif.
(bmm)