Menghindari Jebakan Pemaknaan Toleransi
loading...
A
A
A
Savran Billahi
Ketua Lakpesdem PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankar
BELAKANGAN ada kecenderungan masyarakat Indonesia memaknai toleransi secara elastis. Alih-alih menjadi sikap semestinya, diktum "toleransi" dalam beberapa kesempatan justru dimanfaatkan untuk menyerang pihak yang berseberangan.
Beberapa hari terakhir, misalnya, publik Indonesia diramaikan dengan isu pengaturan pengeras suara masjid. Terlepas dari pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mestinya lebih efektif, isu ini melebar menyinggung soal toleransi. Sebagian pihak membela dengan menganggap Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai niatan menciptakan toleransi dan harmonisasi sosial.
Walakin, alih-alih mencapai tujuan itu, peraturan itu justru menambah ketegangan di masyarakat. Di media sosial berserakan narasi yang menyerang ritual agama lain hingga menghardik pemilik anjing. Sebagian publik menilai, mereka yang mendengarkan adzan, baik muslim maupun non-muslim, tidak peduli seberapa keras suaranya, harus bersikap toleran sebagai konsekuensi hidup di negara mayoritas muslim.
Baik yang mendukung maupun menolak sama-sama menggunakan dalih toleransi pada argumentasinya. Dalam dosis ini, toleransi hanya dimaknai secara intrumentalistik, sehingga menyekat masyarakat.
Toleransi Hegemonik
Toleransi sejatinya memang konsep yang rapuh. Bukan pada fondasi konsepsinya, melainkan pada pemaknaan subjektif dari masing-masing pihak. Seperti yang digariskan oleh Nahdlatul Ulama, secara prinsip sikap toleransi adalah kumpulan dari karakter at-tawasuth (tengah, tidak esktrem), at-tawazun (seimbang dalam segala hal), al-i'tidal (tegak lurus), dan tasamuh (menghargai perbedaan).
Yang menjadi soal, seperti yang dikhawatirkan beberapa kalangan adalah involusi makna toleransi. Terdapat ketegangan atas pemaknaan toleransi, yang seringkali berujung pada penyelewengan kata "toleransi” itu sendiri.
Di tahap ini, pemaknaan toleransi mengandung jebakan (tolerance trap). Semua pihak dapat mengklaim dirinya sebagai yang paling toleran. Saat konversi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid pada 2020 lalu, pemikir berkebangsaan Turki Mustafa Akyol menyinggung soal "supremasi Muslim". Akyol menganggap, pemerintahan di sebagian dunia muslim masih menerapkan standar ganda pada toleransi. Di satu sisi, dengan modernisme liberal, mereka mengecam supremasi di Barat, Uygur di China, dan Hindu di India, namun tidak banyak bicara soal diskriminasi domestik yang kerap dilakukan komunitas muslim. Akyol memotret fenomena ini sebagai "toleransi hegemonik".
Untuk menghindari jebakan pemaknaan toleransi itu, kita dapat mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat lain. Namun, satu sisi yang perlu dihindari dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai warga negara kelas dua.
Nabi Muhammad sebagai Sumber
Autentisitas makna toleransi dapat ditemukan salah satunya pada historisitas Nabi Muhammad. Pada masa awal kenabian, Nabi Muhammad menyerukan pengikutnya mencari perlindungan dan suaka ke kerajaan Kristen di Abbesenia (saat ini Ethiopia). Nabi Muhammad juga memuji kualitas beragama Raja Negus dan model pemerintahannya.
Ketua Lakpesdem PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankar
BELAKANGAN ada kecenderungan masyarakat Indonesia memaknai toleransi secara elastis. Alih-alih menjadi sikap semestinya, diktum "toleransi" dalam beberapa kesempatan justru dimanfaatkan untuk menyerang pihak yang berseberangan.
Beberapa hari terakhir, misalnya, publik Indonesia diramaikan dengan isu pengaturan pengeras suara masjid. Terlepas dari pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mestinya lebih efektif, isu ini melebar menyinggung soal toleransi. Sebagian pihak membela dengan menganggap Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai niatan menciptakan toleransi dan harmonisasi sosial.
Walakin, alih-alih mencapai tujuan itu, peraturan itu justru menambah ketegangan di masyarakat. Di media sosial berserakan narasi yang menyerang ritual agama lain hingga menghardik pemilik anjing. Sebagian publik menilai, mereka yang mendengarkan adzan, baik muslim maupun non-muslim, tidak peduli seberapa keras suaranya, harus bersikap toleran sebagai konsekuensi hidup di negara mayoritas muslim.
Baik yang mendukung maupun menolak sama-sama menggunakan dalih toleransi pada argumentasinya. Dalam dosis ini, toleransi hanya dimaknai secara intrumentalistik, sehingga menyekat masyarakat.
Toleransi Hegemonik
Toleransi sejatinya memang konsep yang rapuh. Bukan pada fondasi konsepsinya, melainkan pada pemaknaan subjektif dari masing-masing pihak. Seperti yang digariskan oleh Nahdlatul Ulama, secara prinsip sikap toleransi adalah kumpulan dari karakter at-tawasuth (tengah, tidak esktrem), at-tawazun (seimbang dalam segala hal), al-i'tidal (tegak lurus), dan tasamuh (menghargai perbedaan).
Yang menjadi soal, seperti yang dikhawatirkan beberapa kalangan adalah involusi makna toleransi. Terdapat ketegangan atas pemaknaan toleransi, yang seringkali berujung pada penyelewengan kata "toleransi” itu sendiri.
Di tahap ini, pemaknaan toleransi mengandung jebakan (tolerance trap). Semua pihak dapat mengklaim dirinya sebagai yang paling toleran. Saat konversi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid pada 2020 lalu, pemikir berkebangsaan Turki Mustafa Akyol menyinggung soal "supremasi Muslim". Akyol menganggap, pemerintahan di sebagian dunia muslim masih menerapkan standar ganda pada toleransi. Di satu sisi, dengan modernisme liberal, mereka mengecam supremasi di Barat, Uygur di China, dan Hindu di India, namun tidak banyak bicara soal diskriminasi domestik yang kerap dilakukan komunitas muslim. Akyol memotret fenomena ini sebagai "toleransi hegemonik".
Untuk menghindari jebakan pemaknaan toleransi itu, kita dapat mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat lain. Namun, satu sisi yang perlu dihindari dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai warga negara kelas dua.
Nabi Muhammad sebagai Sumber
Autentisitas makna toleransi dapat ditemukan salah satunya pada historisitas Nabi Muhammad. Pada masa awal kenabian, Nabi Muhammad menyerukan pengikutnya mencari perlindungan dan suaka ke kerajaan Kristen di Abbesenia (saat ini Ethiopia). Nabi Muhammad juga memuji kualitas beragama Raja Negus dan model pemerintahannya.