Kisah Seorang Mata-mata, Hari Tua Menggelandang hingga Memendam Kecewa pada Penguasa
loading...
A
A
A
Penasaran, Furqan menceritakan pengalaman itu kepada ayahnya. Zulkifli menjawab singkat: "Itu kan orang yang tidak mengerti perjuangan."
Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat.
Baginya, pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. "Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri," kata Furqan.
Sekalipun keras, Lubis pantang menggunakan kekerasan. Bila mendapati anaknya berkelahi, dia hanya menasihati. "Kalau kita berantem, jangan lawan yang kecil dari kamu. Yang lebih besar dari kamu! Seperti Ayah. Ayah lawan Soekarno kalau tidak benar."
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Dan satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat.
Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.
Dalam kesehariannya, Lubis kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia memang menyukai anak-anak. Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan.
"Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan Eyang kakungnya. Ayah lebih telaten ketimbang ibu," kata Furqan.
Memendam Banyak Kecewa
Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Pemerintahan Orde Baru, baginya tak demokratis. Dia mencontohkan, pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak.
Bagi Lubis orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois. Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan.
Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat.
Baginya, pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. "Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri," kata Furqan.
Sekalipun keras, Lubis pantang menggunakan kekerasan. Bila mendapati anaknya berkelahi, dia hanya menasihati. "Kalau kita berantem, jangan lawan yang kecil dari kamu. Yang lebih besar dari kamu! Seperti Ayah. Ayah lawan Soekarno kalau tidak benar."
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Dan satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat.
Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.
Dalam kesehariannya, Lubis kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia memang menyukai anak-anak. Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan.
"Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan Eyang kakungnya. Ayah lebih telaten ketimbang ibu," kata Furqan.
Memendam Banyak Kecewa
Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Pemerintahan Orde Baru, baginya tak demokratis. Dia mencontohkan, pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak.
Bagi Lubis orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois. Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan.