Madrasah dalam UU Sisdiknas

Selasa, 01 Maret 2022 - 12:19 WIB
loading...
Madrasah dalam UU Sisdiknas
Abdul Muti (Foto: Ist)
A A A
Abdul Mu'ti
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

KEMENTERIAN Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sedang dalam proses mengajukan rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) 2022. RUU tersebut merupakan perubahan atas tiga undang-undang pendidikan yaitu UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12/2012 tentang Perguruan Tinggi. Untuk mendapatkan masukan masyarakat Kemendikbudristek mengadakan diskusi terpumpun secara daring. Banyak kalangan menilai diskusi terpumpun hanyalah formalitas untuk memenuhi persyaratan penyusunan undang-undang. Waktu yang tersedia dan kalangan yang diundang sangat terbatas. Idealnya, Kemendikbudristek melibatkan sebanyak mungkin kalangan masyarakat dengan berbagai perbedaan latar belakang sehingga dapat memberikan masukan yang komprehensif. Masukan tidak terbatas dari organisasi penyelenggara pendidikan, tetapi juga bisa dari individu, pakar pendidikan, media massa, bahkan juga dari murid dan mahasiswa sebagai user pendidikan.

RUU Sisdiknas 2022 terdiri atas XIX bab/155 pasal, jauh lebih panjang dibandingkan dengan tiga undang-undang sebelumnya. UU Nomor 4/1950 terdiri atas XVII bab/30 pasal, UU nomor 2/1989 terdiri atas XX bab/59 pasal, dan UU Nomor 20/2003 terdiri atas XXII bab/77 pasal. Dalam RUU Sisdiknas 2022 tidak terdapat pasal yang menyebutkan tentang madrasah. Tidak adanya ketentuan tentang madrasah dapat menimbulkan masalah pendidikan yang serius.

Eksistensi Madrasah
Secara historis, lembaga pendidikan madrasah mulai eksis dalam dunia Islam pada abad ke 11-12 M (5 H) pada masa Dinasti Bani Seljuk. Nizam al-Mulk, wazir Bani Seljuk, mendirikan Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Di Indonesia, lembaga pendidikan madrasah mulai berkembang pada awal abad ke-20 seiring berdirinya organisasi dan gerakan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dll. KH Ahmad Dahlan mendirikan Madrasah Qismul Arqa di Jogjakarta pada 1918 sebagai cikal bakal Madrasah Muallimin/Muallimat Muhammadiyah. Sistem pendidikan madrasah dikembangkan sebagai solusi ketika Pemerintah Belanda menolak dimasukkannya pendidikan agama di sekolah Belanda dan tidak adanya kajian ilmu modern di Pesantren.

Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang sangat besar. Menurut data pokok pendidikan (Mei 2021), terdapat 276.076 satuan pendidikan sekolah/madrasah. Terdapat 222.147 (80.47 %) sekolah dan 53.929 (19.53 %) madrasah.

Pada masa awal, sistem pendidikan di Indonesia " terbelah" (dikotomi) antara sistem pendidikan "sekolah" dan "madrasah". Dikotomi sistem sekolah dan madrasah sebagian berakar pada UU Nomor 4/1950 yang hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah. Lulusan sekolah tidak dapat melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi dan mutasi ke madrasah dan sebaliknya. Dikotomi itu menimbulkan segregasi sosial antara lulusan sekolah dan madrasah.

Dikotomi pendidikan sekolah dan madrasah sedikit berkurang sejak diterbitkan Surat Keputusan Bersama menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3 Menteri) tahun 1975. Di dalam SKB 3 Menteri disebutkan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan mutasi ke sekolah. Kurikulum madrasah berubah: 70% agama dan 30% umum. Ijazah madrasah setara atau sama kedudukannya dengan sekolah.

Meskipun demikian, masalah dikotomi belum dapat dihilangkan. UU Nomor 2/1989 sama sekali tidak memasukkan madrasah. Di dalam UU tersebut satuan pendidikan terdiri atas sekolah dan luar sekolah. Secara perlahan, madrasah "berubah" menjadi sekolah. Madrasah disebut sekolah umum berciri khas agama Islam dengan kurikulum 89% studi umum dan 11% studi agama.

Eksistensi pendidikan madrasah semakin kuat setelah diundangkan UU Nomor 20/2003. Madrasah disebutkan bersamaan dengan sekolah sebagai bentuk pendidikan formal. Pendidikan anak usia dini berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Atfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 28 [3]). Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 17 [2]). Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan bentuk lain yang sederajat (pasal 18 [3]).

Sejak diberlakukannya UU Nomor 20/2003 dikotomi sistem sekolah dan madrasah relatif dapat diakhiri. Ujian Nasional (UN) madrasah sama dengan sekolah. Demikian halnya dengan akreditasi. Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 berlaku, sekolah dan madrasah diakreditasi oleh satu lembaga Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah (BAN-S/M). Sebelumnya, akreditasi madrasah oleh Dewan Akreditasi Madrasah (DAM) dan akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS). Perbedaan lembaga akreditasi berdampak pada penilaian mutu yang berbeda. Akreditasi sekolah dan madrasah oleh BAN-S/M dapat memberikan informasi tentang mutu dan akuntabilitas layanan pendidikan. Peringkat Akreditasi Unggul di Sekolah sama dengan Unggul di Madrasah.

Integrasi Pendidikan Nasional
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 (2) mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang integratif mulai terwujud sejak diberlakukan UU Nomor 20/2003. Akan tetapi, integrasi tersebut kembali memudar seiring ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah.

Secara kelembagaan, sekolah dan madrasah memiliki "orang tua" yang berbeda. Pasal 7 (1) UU Nomor 22/1999 menyebutkan Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, dan kewenangan pada bidang lain. Sekolah di bawah pembinaan Kemendikbudristek dan Dinas Pendidikan Daerah, sedangkan madrasah di bawah pembinaan Kementerian Agama. Keterbatasan dana di Kementerian Agama dan lembaga pendidikan madrasah yang sebagian besar swasta membuat kualitas madrasah relatif tertinggal dari sekolah.

RUU Sisdiknas 2022 sama sekali tidak memasukkan madrasah. Tidak ada madrasah dalam pasal-pasal mengenai jenis, jenjang, dan jalur pendidikan sebagaimana UU Nomor 20/2003. Tidak adanya madrasah dalam RUU Sisdiknas 2022 dikhawatirkan menimbulkan beberapa masalah. Pertama, dikotomi sistem pendidikan nasional. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menghendaki adanya integrasi pendidikan dalam satu sistem pendidikan nasional. Kedua, masalah kesenjangan mutu pendidikan. Tidak adanya madrasah dapat menjadi alasan bagi Pemerintah Pusat (Kemendikbudristek) dan Pemerintah Daerah untuk tidak membantu atau mengalokasikan anggaran pembinaan madrasah. Ketiga, dikotomi pendidikan nasional --jika tidak dikelola dengan seksama-- berpotensi menimbulkan masalah disintegrasi bangsa.

Terkait dengan RUU Sisdiknas 2022 sangat penting memasukkan madrasah sebagaimana UU Nomor 20/2003. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Strategi yang paling utama adalah dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu melalui layanan sistem pendidikan sekolah dan madrasah yang bermutu. Secara kualitas mutu pendidikan madrasah masih relatif tertinggal dibandingkan sekolah. Masalah ini tidak boleh diabaikan. Idealnya, administrasi dan pembinaan pendidikan berada di bawah satu kementerian yaitu Kemendikbudristek. Karena itu--sekali lagi-- madrasah perlu dimasukkan dalam UU Sisdiknas. Memang belum semua pihak setuju. Tetapi wacana ini perlu menjadi kajian bersama.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1721 seconds (0.1#10.140)