Cara Industri Ritel Menyelamatkan Diri di Masa Pemulihan

Sabtu, 26 Februari 2022 - 12:03 WIB
loading...
Cara Industri Ritel...
Marco Widjojo/FOTO/Dok SINDO
A A A
Marco Widjojo
Ahli Teknologi Pemasaran
CEO/Founder SALT

Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan industri ritel global, termasuk Indonesia. Jika sebelum pandemi industri ritel memfokuskan bisnis pada hubungan tatap muka, sejak pandemi terjadi pergeseran cukup signifikan di mana e-commerce atau perdagangan online kian dilirik para produsen demi agar bertahan.

Situasi ini diyakini bakal terus berubah. Pandemi yang mulai surut di Indonesia kendati grafiknya empat naik akibat varian Omicron, mendorong dibukanya kembali gerai-gerai ritel. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan dari para pemilik usaha, haruskah mereka kembali seperti situasi sebelum pandemi? Atau melanjutkan fokus pada online atau platform e-commerce? Akankah muncul alternatif lain yang lebih baik?

Pandemi yang mengubah perilaku konsumen memang berhasil mendorong kehadiran sejumlah alternatif lain yang dapat mendukung bisnis. Namun, alih-alih memfokuskan pada pilihan online atau offline, sebuah usaha seharusnya lebih memfokuskan pada integrated customer experience (pengalaman terintegrasi konsumen).

Studi yang diterbitkan oleh Watermark Consultig pada Oktober 2021 lalu mengungkapkan, usaha yang berfokus pada customer experience cenderung memenangkan persaingan. Pasalnya, pengalaman konsumen adalah elemen fundamental yang harus dipertimbangkan oleh suatu usaha untuk bertahan dan berkembang di era pascapandemi, atau bahkan di era yang kian berubah.

Dalam upayanya agar tetap relevan, salah satu jaringan ritel perabotan rumah tangga sudah mulai memperkenalkan integrated customer experience dengan menggabungkan layanan online dan offline. Layanan ini untuk memastikan konsumen menghabiskan waktu dengan baik sebelum, pada saat dan setelah mereka mengunjungi toko.

Perusahan itu mengembangkan aplikasi seluler untuk para konsumennya dengan menggunakan Augmented Reality (AR) untuk melihat representasi tiga dimensi dari furniture pilihan mereka. Selain itu, pelanggan dapat mengambil foto perabotan lama mereka melalui aplikasi untuk kemudian mendapat saran perabotan serupa dari katalog. Pengalaman belanja seperti ini jelas memberikan sesuatu yang beda dan dirasakan konsumen.

Referensi lain dari Prophet.com mengatakan bahwa transformasi pengalaman konsumen sejati bergerak dengan dua kecepatan dan membutuhkan pembuatan portofolio pergerakan pengalaman. Pergerakan ini mencakup proses perbaikan dari suatu masalah, dengan merujuk pada pengalaman sebelumnya.

Kendati e-commerce mengalami tren pertumbuhan signifikan, namun tidak jarang pada pemasar menemukan fakta bahwa hasil penjualan mereka tidak seperti yang diharapkan. Kondisi ini bisa jadi karena para peritel melupakan bahwa konsumen adalah elemen pencetak penghasilan terbesar. Untuk itu, jangan sampai usaha ritel tersebut melupakan pertimbangkan masukan dari konsumen yang menjadi target mereka.

Terkait customer experience ini, pelaku bisnis ritel harus melakukannya lebih cepat sebelum pesaing mengambil tindakan yang sama. Kecepatan ini lah yang akan menjadi kunci kesuksesan transformasi.

Menang, pada awalnya mungkin aka nada tantangan dan kendala bermunculan yang membuat proses transformasi tidak berjalan mulus. Namun, dengan keyakinan dan banyaknya percobaan (trial & error), pelaku usaha akan menemukan pengalaman unik dan tepat untuk konsumen mereka, dan tentunya memenangkan pelanggan.

Transformasi dengan dasar pengalaman pelanggan dapat dimulai dari salah satu bagian dari bisnis tersebut. Misalnya, dari sisi pemasaran yang dilakukan secara digital. Setelah itu, dilanjutkan dengan melakukan transformasi pada keseluruhan proses yang ada. Cara ini dapat diperluas seiring dengan berjalannya waktu, dengan menggunakan proses metodologi yang fleksibel (agile).

Salah satu contoh pengalaman bisa dilihat dari perusahaan-perusahaan fast moving consumer good (FMCG) yang mengubah cara bertransaksi konsumennya menjadi lebih mudah dengan menggunakan teknologi aplikasi messenger seperti WhatsApp.

Layanan yang menggunakan chatbot dalam WhatsApp ini memungkinkan respons otomatis selama 24 jam sehingga dapat meningkatkan kepuasan konsumen tersebut terhadap usahanya.

Di Indonesia, layanan seperti mulai lumrah ditemukan. Perlahan tapi pasti, akan semakin banyak yang melakukan praktik ini karena dampak yang ditimbulkannya positif bagi perkembangan industri.

Meski demikian, harus diingat bahwa teknologi bukanlah sulap. Meski demikian, sudah diakui bahwa dengan menggunakan teknologi maka pelaku usaha dapat meningkatkan kinerjanya, serta mengurangi biaya operasional apabila digunakan dengan baik.

Hanya saja, karena industry ritel ujungnya bermuara kepada konsumen, maka sudut pandang konsumen harus menjadi pondasi utama dalam melakukan transformasi bisnis.

Sebagai pemilik bisnis tentu akan ada ada rasa bangga atas sesuatu yang dianggap benar berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Hanya saja, dalam dunia informasi dan teknologi yang terus berubah, harus disadari bahwa ada hal-hal di luar sana yang tidak kita ketahui. Oleh karena itu, kolaborasi merupakan salah satu kunci sukses untuk meningkatkan bisnis.

Teknologi di industri ritel juga akan terus berkembang di masa mendatang. Teknologi blockchain harus dimasukkan ke dalam industri ini karena akan memungkinkan para peritel secara akurat melacak proses rantai pasokan mereka di lingkungan yang tidak adanya kepercayaan.

Sebagai ilustrasi, apabila ada peritel yang mengklaim produk mereka organic, dengan blockchain, para konsumen atau pengecer dapat melihat seluruh proses rantai pasokan dan memberikan bukti bahwa produk mereka benar-benar organik. Inilah yang akan merevolusi industri ritel dalam beberapa tahun ke depan.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1834 seconds (0.1#10.140)