PB PMII: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Bentuk Degradasi Demokrasi

Rabu, 23 Februari 2022 - 21:15 WIB
loading...
PB PMII: Perpanjangan...
Isu perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat seiring ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Isu perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat seiring ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19. Sebagian merespons positif dengan menganggap wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 7 tahun atau 8 tahun tidak menjadi masalah selama melalui prosedur demokratis.



Direktur Lembaga Pemilu dan Demokrasi PB PMII, Yayan Hidayat mengungkapkan, secara empiris, sebagian besar negara memberlakukan masa jabatan presiden maksimal dua periode, baik 4 tahunan maupun 5 tahunan (list of political term limits).



"Tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan Presiden 7 tahun atau 8 tahun dalam satu kali periode. Itu adalah hal yang aneh dan sudah pasti memicu terjadinya degradasi demokrasi," kata Yayan, Rabu (23/2/2022).

Menurut Yayan, persoalan kekhawatiran bahwa proses pembangunan ekonomi dapat mengalami keterputusan apabila presiden berganti, agaknya berlebihan. Problem tersebut sebenarnya dapat diupayakan dengan intensitas komunikasi di antara para elite.

"Baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Sebaliknya, tidak ada jaminan ketika presiden menjabat lebih lama, pembangunan ekonomi akan semakin baik," tegas Yayan.

Menurut Yayan, dalih pemulihan ekonomi akibat terpaan badai Pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk perpanjangan masa jabatan presiden, tak dapat dibenarkan. Pasalnya, pandemi Covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampaknya.

Tetapi tegas Yayan, tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi presiden.

"Pihak-pihak tertentu yang mendalilkan isu pemulihan ekonomi dan Covid-19 sebagai alasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden saya pikir hanya berusaha mencari-cari alasan saja dan memanfaatkan masalah yang ada demi melanggengkan kepentingan politik mereka," ungkapnya.

"Ada banyak negara demokratis yang hari ini dilanda pandemi Covid-19 beserta segala dampak sosial dan ekonominya juga tak sampai menambah masa jabatan Presidennya. Ini hanya permainan oknum populis yang mau mencari manfaat di tengah penderitaan masyarakat akibat Covid-19 saja," lanjutnya.

Menurutnya, secara normatif, praktik pembatasan masa jabatan presiden memiliki peran untuk menstabilkan politik dan memfasilitasi pembangunan demokrasi. Singkatnya, praktik ini menawarkan penangkal untuk masalah yang mengarah pada otoritarianisme.

"Disertasi profesor Bill Gelfed di Universitas San Francisco de Quito, Ecuador menyebutkan, alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana perpanjangan masa jabatan presiden justru berdampak negatif," jelasnya.

"Jangan sampai akibat hasrat pihak tertentu untuk perpanjangan masa jabatan presiden, justru mencederai demokrasi di Indonesia," tutup Yayan.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1398 seconds (0.1#10.140)