Peran Signifikan Masyarakat bagi Pemulihan
loading...
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
GAMBARAN tentang penderitaan dan potensi meningkatnya jumlah warga miskin akibat periode pandemi Covid-19 yang berkepanjangan sudah jelas dan nyata. Penderitaan ini bisa diakhiri jika setiap orang paham dan sadar akan urgensi pembatasan sosial untuk memutus rantai penularan Covid-19. Taat dan konsisten menerapkan pembatasan sosial menjadi modal awal pemulihan ekonomi.
Ketika virus korona mulai mewabah dan kemudian ditetapkan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, setiap orang hanya diberi dua pilihan: tak peduli atau menyelamatkan diri dengan menjaga jarak (social distancing ). Semua orang disarankan menyelamatkan diri, karena proses penularan virus korona yang menjadi penyebab sakit Covid-19 sangat mudah. Apalagi, belum ada obat penyembuh yang mujarab. Karena negara wajib melindungi rakyatnya, banyak pemerintah tak mau ambil risiko. Sejumlah negara pun menerapkan kebijakan penguncian atau lockdown . Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan sosial hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi cegah tangkal penularan Covid-19.
Baik opsi penguncian maupun PSBB pasti ada konsekuensinya. Semua orang disarankan mengamankan diri dengan berdiam di rumah. Diperkirakan sepertiga warga planet ini mengamankan diri di rumah, termasuk tentu saja sebagian besar masyarakat Indonesia. Maka, pabrik berhenti produksi, kantor tutup, pedagang berhenti berjualan di ruang terbuka, penyelesaian proyek infrastruktur ditunda dan anak-anak pun belajar di rumah. Aktivitas perekonomian memang terhenti. Dana Moneter Internasional (IMF) pun memastikan perekonomian global dilanda resesi.
Cerita tentang penderitaan banyak orang, bahkan tragedi kematian, akibat keterbatasan ekonomi pun bermunculan. Sangat memprihatinkan. Sementara itu, banyak komunitas tak tinggal diam. Banyak orang berinisiatif menyediakan dan menyalurkan bantuan pangan bagi setiap orang yang berkekurangan. Gambaran seperti itu terjadi di banyak kota. Bahkan, di negeri kaya seperti Amerika Serikat (AS), tidak sedikit keluarga yang harus mendatangi bank makanan untuk meminta bantuan. Sudah puluhan juta pekerja di AS dirumahkan karena pandemi Covid-19.
Penderitaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan miliaran orang sekarang ini lebih karena pilihan yang mengutamakan keselamatan jiwa bersama. Memilih menghentikan sementara produksi dan perdagangan demi keselamatan sekaligus memutus rantai penularan Covid-19. Rantai penularan itu bisa diputus jika semua orang, dengan kesadaran penuh, taat, dan konsisten menjaga jarak di ruang publik. Jika imbauan jaga jarak tidak dilaksanakan, durasi pandemi Covid-19 akan semakin lama.
Konsekuensinya, durasi penderitaan dan ketidaknyamanan pun akan semakin lama pula. Tentu saja hal seperti itu bukan menjadi keinginan bersama. Logikanya sederhana saja, proses normalisasi kehidupan dan pemulihan ekonomi bisa segera diwujudkan jika semua orang mau melindungi dirinya dengan menjaga jarak agar tidak terinfeksi Covid-19.
Hanya dengan cara sesederhana itulah kecepatan penularan Covid-19 bisa diredam. Untuk mencapai target itu, peran negara atau pemerintah sebagai regulator memang penting dan signifikan. Tetapi, kesadaran dan kepedulian masyarakat pun menjadi faktor yang lebih signifikan. Pemerintah, misalnya, akhirnya harus berkeputusan melarang mudik. Larangan mudik harus dipahami sebagai upaya cegah-tangkal penularan Covid-19. Komunitas perantau diharapkan mematuhi larangan ini. Sebaliknya, jika larangan mudik tidak dipatuhi, upaya menahan kecepatan penularan Covid-19 menjadi semakin sulit.
Kini, semua orang sudah mencatat bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan kerusakan dahsyat yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Tak hanya mengancam keselamatan jiwa manusia di planet ini, melainkan juga telah meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian global. Dan, untuk pertama kalinya pula sejak tragedi kemanusiaan akibat flu Spanyol satu abad lalu, upaya mengakhiri pandemi Covid-19 serta upaya pemulihan ekonomi dari resesi tak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah di setiap negara. Sebaliknya, peran masyarakat di setiap negara, termasuk masyarakat Indonesia, bahkan sangat signifikan. Kesadaran dan peran masyarakat memutus rantai penularan Covid-19 menjadi faktor kunci bagi semua upaya pemulihan. Pemulihan Jawa
Seperti negara lain, Indonesia pun sudah merasakan dampak resesi ekonomi. Ekspor dan investasi dipastikan tumbuh negatif. Pilihan yang tersedia hanyalah kebijakan yang dapat meminimalisasi ekses dari resesi itu sendiri. Apa pun pilihan kebijakannya, ketaatan menerapkan pembatasan sosial oleh semua elemen masyarakat menjadi modal awal percepatan pemulihan ekonomi. Karena itu, semua kepala daerah perlu memastikan masyarakat patuh dan konsisten menerapkan pembatasan sosial sebagai bagian dari upaya menghentikan penularan Covid-9.
Ketidakmampuan komunitas internasional menghentikan penularan Covid-19 mendorong semua negara memulai pergulatan merespons resesi ekonomi. Untuk tujuan yang sama, Indonesia pun telah merumuskan strategi dan kebijakan. Pada periode sekarang ini, tiga masalah harus dikerjakan simultan pada saat yang sama. Masing-masing adalah kerja merawat pasien Covid-19, kerja pembatasan sosial untuk cegah-tangkal penularan, dan upaya sejak dini memulihkan perekonomian. Ketiganya sama urgensinya dan sama strategisnya.
Jika masyarakat taat dan konsisten menerapkan pembatasan sosial selama periode pandemi virus korona, skala dan kecepatan penularan Covid-19 akan menurun dengan sendirinya. Menurunnya jumlah pasien Covid-19 pada gilirannya bisa melonggarkan ketentuan tentang pembatasan sosial untuk memulihkan kehidupan bersama serta membangkitkan keberanian menggerakkan lagi mesin perekonomian nasional. Korea Selatan patut dicontoh. Setelah sekian lama lockdown , Korea Selatan sudah melonggarkan sejumlah ketentuan pembatasan sosial dan dinamika kehidupan masyarakat di negara itu berangsur-angsur pulih.
Belajar dari pengalaman Korea selatan, semua pemerintah daerah harus berani all out mendorong masyarakat patuh dan konsisten menerapkan pembatasan sosial. Masyarakat harus diingatkan bahwa pembatasan sosial yang konsisten menjadi modal awal pemulihan ekonomi dari resesi. Tanpa bermaksud membeda-bedakan, perhatian dan catatan khusus patut diberikan kepada semua kepala daerah di Pulau Jawa. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa 75% dari total industri nasional berpusat di Jawa sehingga Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi Jawa bagi pertumbuhan ekonomi nasional pun sangat signifikan, mencapai 59% per 2019.
Artinya, tingkat kepatuhan masyarakat di Pulau Jawa dalam menerapkan pembatasan sosial sangat menentukan kemampuan negara merespons resesi ekonomi. Jika kecepatan penularan Covid-19 tidak bisa diredam, penghentian aktivitas produksi sektor industri di Jawa akan berkepanjangan. Dampak sosialnya tentu akan sangat serius. Karena itu, ketaatan masyarakat menerapkan pembatasan sosial di Pulau Jawa tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, faktor ketaatan itu menjadi bagian tak terpisah dari keinginan bersama meminimalisasi dampak resesi ekonomi.
Tidak bijaksana jika upaya-upaya pemulihan ekonomi baru dilakukan setelah berakhirnya periode penularan Covid-19. Menunda-nunda upaya bersama memulihkan perekonomian akan berakibat pada meningkatnya penderitaan masyarakat dan menggelembungkan jumlah warga miskin. Saat ini saja, ketika penerapan pembatasan sosial diupayakan konsisten, sudah begitu banyak jumlah warga atau keluarga yang menderita karena kehilangan sumber penghasilan akibat tidak bisa bekerja, termasuk di dalamnya para profesional atau pekerja kantoran yang dirumahkan.
Gambaran sementara itu bisa dilihat dari data resmi pemerintah. Hingga pertengahan April 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 2,8 juta pekerja telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan. Tidak mengherankan jika jumlah peminat Kartu Prakerja begitu besar. Hingga Selasa (14/4) tengah hari, tidak kurang dari 3,7 juta akun melakukan registrasi di situs resmi Kartu Prakerja.
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
GAMBARAN tentang penderitaan dan potensi meningkatnya jumlah warga miskin akibat periode pandemi Covid-19 yang berkepanjangan sudah jelas dan nyata. Penderitaan ini bisa diakhiri jika setiap orang paham dan sadar akan urgensi pembatasan sosial untuk memutus rantai penularan Covid-19. Taat dan konsisten menerapkan pembatasan sosial menjadi modal awal pemulihan ekonomi.
Ketika virus korona mulai mewabah dan kemudian ditetapkan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, setiap orang hanya diberi dua pilihan: tak peduli atau menyelamatkan diri dengan menjaga jarak (social distancing ). Semua orang disarankan menyelamatkan diri, karena proses penularan virus korona yang menjadi penyebab sakit Covid-19 sangat mudah. Apalagi, belum ada obat penyembuh yang mujarab. Karena negara wajib melindungi rakyatnya, banyak pemerintah tak mau ambil risiko. Sejumlah negara pun menerapkan kebijakan penguncian atau lockdown . Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan sosial hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi cegah tangkal penularan Covid-19.
Baik opsi penguncian maupun PSBB pasti ada konsekuensinya. Semua orang disarankan mengamankan diri dengan berdiam di rumah. Diperkirakan sepertiga warga planet ini mengamankan diri di rumah, termasuk tentu saja sebagian besar masyarakat Indonesia. Maka, pabrik berhenti produksi, kantor tutup, pedagang berhenti berjualan di ruang terbuka, penyelesaian proyek infrastruktur ditunda dan anak-anak pun belajar di rumah. Aktivitas perekonomian memang terhenti. Dana Moneter Internasional (IMF) pun memastikan perekonomian global dilanda resesi.
Cerita tentang penderitaan banyak orang, bahkan tragedi kematian, akibat keterbatasan ekonomi pun bermunculan. Sangat memprihatinkan. Sementara itu, banyak komunitas tak tinggal diam. Banyak orang berinisiatif menyediakan dan menyalurkan bantuan pangan bagi setiap orang yang berkekurangan. Gambaran seperti itu terjadi di banyak kota. Bahkan, di negeri kaya seperti Amerika Serikat (AS), tidak sedikit keluarga yang harus mendatangi bank makanan untuk meminta bantuan. Sudah puluhan juta pekerja di AS dirumahkan karena pandemi Covid-19.
Penderitaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan miliaran orang sekarang ini lebih karena pilihan yang mengutamakan keselamatan jiwa bersama. Memilih menghentikan sementara produksi dan perdagangan demi keselamatan sekaligus memutus rantai penularan Covid-19. Rantai penularan itu bisa diputus jika semua orang, dengan kesadaran penuh, taat, dan konsisten menjaga jarak di ruang publik. Jika imbauan jaga jarak tidak dilaksanakan, durasi pandemi Covid-19 akan semakin lama.
Konsekuensinya, durasi penderitaan dan ketidaknyamanan pun akan semakin lama pula. Tentu saja hal seperti itu bukan menjadi keinginan bersama. Logikanya sederhana saja, proses normalisasi kehidupan dan pemulihan ekonomi bisa segera diwujudkan jika semua orang mau melindungi dirinya dengan menjaga jarak agar tidak terinfeksi Covid-19.
Hanya dengan cara sesederhana itulah kecepatan penularan Covid-19 bisa diredam. Untuk mencapai target itu, peran negara atau pemerintah sebagai regulator memang penting dan signifikan. Tetapi, kesadaran dan kepedulian masyarakat pun menjadi faktor yang lebih signifikan. Pemerintah, misalnya, akhirnya harus berkeputusan melarang mudik. Larangan mudik harus dipahami sebagai upaya cegah-tangkal penularan Covid-19. Komunitas perantau diharapkan mematuhi larangan ini. Sebaliknya, jika larangan mudik tidak dipatuhi, upaya menahan kecepatan penularan Covid-19 menjadi semakin sulit.
Kini, semua orang sudah mencatat bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan kerusakan dahsyat yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Tak hanya mengancam keselamatan jiwa manusia di planet ini, melainkan juga telah meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian global. Dan, untuk pertama kalinya pula sejak tragedi kemanusiaan akibat flu Spanyol satu abad lalu, upaya mengakhiri pandemi Covid-19 serta upaya pemulihan ekonomi dari resesi tak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah di setiap negara. Sebaliknya, peran masyarakat di setiap negara, termasuk masyarakat Indonesia, bahkan sangat signifikan. Kesadaran dan peran masyarakat memutus rantai penularan Covid-19 menjadi faktor kunci bagi semua upaya pemulihan. Pemulihan Jawa
Seperti negara lain, Indonesia pun sudah merasakan dampak resesi ekonomi. Ekspor dan investasi dipastikan tumbuh negatif. Pilihan yang tersedia hanyalah kebijakan yang dapat meminimalisasi ekses dari resesi itu sendiri. Apa pun pilihan kebijakannya, ketaatan menerapkan pembatasan sosial oleh semua elemen masyarakat menjadi modal awal percepatan pemulihan ekonomi. Karena itu, semua kepala daerah perlu memastikan masyarakat patuh dan konsisten menerapkan pembatasan sosial sebagai bagian dari upaya menghentikan penularan Covid-9.
Ketidakmampuan komunitas internasional menghentikan penularan Covid-19 mendorong semua negara memulai pergulatan merespons resesi ekonomi. Untuk tujuan yang sama, Indonesia pun telah merumuskan strategi dan kebijakan. Pada periode sekarang ini, tiga masalah harus dikerjakan simultan pada saat yang sama. Masing-masing adalah kerja merawat pasien Covid-19, kerja pembatasan sosial untuk cegah-tangkal penularan, dan upaya sejak dini memulihkan perekonomian. Ketiganya sama urgensinya dan sama strategisnya.
Jika masyarakat taat dan konsisten menerapkan pembatasan sosial selama periode pandemi virus korona, skala dan kecepatan penularan Covid-19 akan menurun dengan sendirinya. Menurunnya jumlah pasien Covid-19 pada gilirannya bisa melonggarkan ketentuan tentang pembatasan sosial untuk memulihkan kehidupan bersama serta membangkitkan keberanian menggerakkan lagi mesin perekonomian nasional. Korea Selatan patut dicontoh. Setelah sekian lama lockdown , Korea Selatan sudah melonggarkan sejumlah ketentuan pembatasan sosial dan dinamika kehidupan masyarakat di negara itu berangsur-angsur pulih.
Belajar dari pengalaman Korea selatan, semua pemerintah daerah harus berani all out mendorong masyarakat patuh dan konsisten menerapkan pembatasan sosial. Masyarakat harus diingatkan bahwa pembatasan sosial yang konsisten menjadi modal awal pemulihan ekonomi dari resesi. Tanpa bermaksud membeda-bedakan, perhatian dan catatan khusus patut diberikan kepada semua kepala daerah di Pulau Jawa. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa 75% dari total industri nasional berpusat di Jawa sehingga Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi Jawa bagi pertumbuhan ekonomi nasional pun sangat signifikan, mencapai 59% per 2019.
Artinya, tingkat kepatuhan masyarakat di Pulau Jawa dalam menerapkan pembatasan sosial sangat menentukan kemampuan negara merespons resesi ekonomi. Jika kecepatan penularan Covid-19 tidak bisa diredam, penghentian aktivitas produksi sektor industri di Jawa akan berkepanjangan. Dampak sosialnya tentu akan sangat serius. Karena itu, ketaatan masyarakat menerapkan pembatasan sosial di Pulau Jawa tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, faktor ketaatan itu menjadi bagian tak terpisah dari keinginan bersama meminimalisasi dampak resesi ekonomi.
Tidak bijaksana jika upaya-upaya pemulihan ekonomi baru dilakukan setelah berakhirnya periode penularan Covid-19. Menunda-nunda upaya bersama memulihkan perekonomian akan berakibat pada meningkatnya penderitaan masyarakat dan menggelembungkan jumlah warga miskin. Saat ini saja, ketika penerapan pembatasan sosial diupayakan konsisten, sudah begitu banyak jumlah warga atau keluarga yang menderita karena kehilangan sumber penghasilan akibat tidak bisa bekerja, termasuk di dalamnya para profesional atau pekerja kantoran yang dirumahkan.
Gambaran sementara itu bisa dilihat dari data resmi pemerintah. Hingga pertengahan April 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 2,8 juta pekerja telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan. Tidak mengherankan jika jumlah peminat Kartu Prakerja begitu besar. Hingga Selasa (14/4) tengah hari, tidak kurang dari 3,7 juta akun melakukan registrasi di situs resmi Kartu Prakerja.
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
(mpw)