Mendadak Kaya (Lalu Miskin)

Rabu, 16 Februari 2022 - 11:48 WIB
loading...
Mendadak Kaya (Lalu...
Tantan Hermansah (Foto: Ist)
A A A
Tantan Hermansah
Pengampu Kuliah Sosiologi Perdesaan UIN Jakarta, Sekjen Asosiasi Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam-P2MI

KISAH warga di salah satu kelurahan di daerah Tuban, Jawa Timur yang viral tahun lalu, karena tanah mereka dibayar mahal oleh Pertamina, saat ini bisa dikata berakhir tragis. Meski tidak terjadi pada semuanya, tapi seperti diberitakan berbagai media, ada banyak warga Tuban yang kemudian mengeluh sehubungan ketidakmampuan mereka untuk hidup layak kembali seperti sebelumnya.

Sekadar mengingatkan kita bahwa pada Februari 2021, media massa mengabarkan bahwa terjadi fenomena membeli mobil mewah oleh warga Tuban ini. Tak hanya satu, beberapa warga juga membeli kendaraan sampai tiga unit dengan jenis kendaraan yang cukup variatif dan di antaranya cukup mewah.

Terang saja publik cukup geger dengan fenomena ini. Tidak sedikit yang kemudian memberi komentar pedas, terutama pada perilaku aji mumpung yang ditunjukkan oleh warga desa. Bisa jadi di antara kritik pedas itu beberapa akhirnya terbukti dengan peristiwa demonstrasi beberapa warga yang mengeluh karena kembali jadi miskin.

Ekosistem Status
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh warga desa ketika mereka mengalokasikan sebagian dana yang diperolehnya untuk membeli barang-barang yang termasuk mewah tersebut. Sebab jika meminjam pisau analisa sosiologi, apa yang dilakukan oleh warga desa merupakan ekspresi status sosial yang ingin diraihnya selama ini.

Status sosial adalah keadaan relatif yang melekat pada seseorang ketika dibandingkan dengan orang lain dalam beberapa hal seperti kekayaan, pekerjaan, jabatan, bahkan gaya hidup. Meski bersifat abstrak, namun status sosial telah melekat pada persepsi masyarakat karena di dalamnya terhimpun seperangkat nilai yang muncul dalam suatu kemufakatan dan kesepakatan atas penguasaan sejumlah sumber daya baik yang fisik maupun yang simbolik.

Penguasaan-penguasaan atas ruang-ruang simbolik sangat penting untuk menunjukkan kepada orang luar mengenai penguasaan atas sumber daya lain seperti kekuasaan, kekuatan, bahkan prestise. Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa untuk memperoleh status sosial tertentu, seseorang harus menjangkau posisi tertentu dengan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang dimilikinya.

Secara praktis status sosial seseorang akan dinilai pada apa yang terlihat secara kasatmata di mata orang banyak. Sebagai contoh seseorang akan dianggap sebagai orang kaya karena dia menggunakan kendaraan yang mahal dan mewah, atau memperlihatkan tinggal di rumah yang megah, atau memvisualisasikan liburan di tempat yang eksklusif. Tidak peduli bahwa semua itu editan atau bukan kenyataan aslinya, atau hanya ekspresi sesaat yang ada pada media sosial, tetapi orang-orang akan memberikan penilaian pada apa yang terlihat di media tersebut.

Status sosial juga merupakan proses beranjaknya seseorang dalam kelas sosial. Jika kelas sosial ditopang oleh kemampuan riil dalam sistem ekonomi, status sosial hadir ketika posisi tertentu sudah diraihnya. Contoh, seseorang yang tadinya biasa saja, lalu setelah berbisnis atau bekerja kemudian memperoleh kekayaan dalam jumlah yang banyak, maka dengan sendirinya dia akan terkerek atau tertarik pada status sosial tertentu.

Kendati demikian, tidak semua menyadari bahwa status sosial itu didapatkan seseorang karena ada upaya atau sudah merupakan melekat atau bawaan. Status sosial seorang raden, misalnya, akan tetap melekat pada seseorang karena ia turunan bangsawan; atau status anak orang kaya, dan sebagainya. Sedangkan status lainnya adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai penguasaan atas ihwal simbolik.

Maka itu, ketika warga desa berbondong-bondong membeli mobil baru dan cukup mahal untuk pendapatan mereka, sebetulnya hanya mengaktualisasikan apa yang ada di dalam pikiran mereka tentang status sosial. Bisa jadi kehendak untuk memiliki barang-barang tersebut dalam pertimbangan rasional mereka pun sebetulnya tidak memiliki nilai praktis yang nyata. Namun, karena didorong oleh keinginan menempatkan diri pada status sosial tertentu, mereka pun rela mengeluarkan dana hasil penjualan tanahnya itu untuk memenuhi hasrat status sosial tersebut.

Pemberdayaan Pendekatan TKI
Lalu, setelah status sosial didapatkan dan kemudian cukup menghebohkan, apakah permasalahan riil harian mereka selesai?

Seperti disinggung di atas, ada banyak jalan pintas untuk mengejar status. Karena mendapatkannya melalui jalur shortcut itu, maka wajar jika kemudian kemelekatannya pun rapuh. Ketika ternyata status sosial itu tidak permanen dan harus ditopang atau disangga oleh sejumlah tindakan sosial, seperti tetap memiliki penghasilan tetap, maka mereka ini kemudian roboh. Roboh karena tidak kuat; dan roboh karena memang belum memiliki pengalaman ada di situ.

Seharusnya pembayaran “ganti untung” oleh perusahaan kepada masyarakat sudah bisa membaca hal ini dari awal. Sehingga, meski secara material kewajiban itu sudah dipenuhi oleh perusahaan, namun ada kewajiban moral yang melekat, yaitu memberikan wawasan dan skill tentang pengelolaan keuangan agar kejadian seperti sekarang bisa diantisipasi lebih dini.

Pemahaman mengenai perencanaan keuangan dan investasi, terutama ketika harus melakukan shifting modal, sangat penting dibangun pola dan modelnya. Mengingat kejadian seperti di Tuban ini pasti bisa terjadi juga di tempat lain. Di sinilah kemudian apa yang sering disebutkan sebagai pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan, terutama pada kelompok rentan seperti masyarakat perdesaan.

Ada sejumlah teknik pemberdayaan yang bisa dilakukan salah satunya adalah pendekatan “transformasi-komunitas-institusionalisasi” atau Pendekatan TKI (Hermansah, 2017). Pendekatan ini menawarkan pola pemberian pengetahuan terlebih dahulu kepada subjek yang akan diberdayakan, termasuk memberikan pemahaman atas risiko-risiko yang mungkin timbul seiring kepemilikan atau kehilangan atas suatu sumberdaya.

Lalu, pascatransformasi adalah pengembangan dan penguatan komunitas yang diikat oleh satu kesadaran bersama bahwa mereka adalah komunitas yang memiliki ikatan bersama pada aset yang sudah hilang karena tergusur meski mendapatkan ganti yang signifikan. Setelah kesadaran komunitasnya menguat, maka sebagian dari mereka diajak untuk membangun ikatan lebih formal dalam sebuah lembaga, misalnya koperasi dan sebagainya. Lembaga hasil institusionalisasi itu bisa menjadi katalisator permasalahan warga yang mendapatkan maupun kehilangan aset atau sumber daya yang selama ini menjadi tempat menggantungkan hidupnya.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1754 seconds (0.1#10.140)