Mengenal Lebih Dekat UU Tindak Pidana Korupsi
loading...
A
A
A
Ketentuan Pasal 14 secara negatif membatasi wewenang penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan tipikor terbatas hanya atas pelanggaran atas 30 (tigapuluh) pasal UU TIPIKOR saja kecuali terhadap pelanggaran atas UU Lain (yang bukan UU Tipikor) disebut tegas dalam UU Lain sebagai tipikor.
Di dalam Pasal 6 huruf c UU Nomor 46 tahun 2009, dinyatakan bahwa Pengadilan Tipikor tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara tindak pidana lain yang tidak disebut tegas sebagai Tipikor.
Implikasi Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 c UU Pengadilan tipikor adalah, perkara-perkara pidana yang selama ini dituntut dan memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Analisis hukum di atas dari tinjauan aspek rechtmatigheid dan dari aspek doelmatigheid, tidak mencapai sasaran tujuan hukum yang pasti, adil dan bermanfaat.
Akibat lanjutan dari penerapan hukum yang tidak mempertimbangkan kedua aspek hukum yang mendasar tersebut adalah bahwa penjara semakin penuh dan berimbas pada biaya yang dikeluarkan menjadi kian tinggi.
Di sisi lain upaya pemberantasan korupsi yang salah arah tersebut, masih dapat dicegah dan diatasi dengan alternatif pertama, yakni dengan mengubah UU TIPIKOR khusus Pasal 14, Pasal 2 dan Pasal 3 dengan penambahan ayat baru yang mencerminkan perubahan arah politik hukum pidana khususnya.
Alternatif kedua adalah harus ada koreksi melalui yurisprudensi MA yang menolak tuntutan penuntut umum dalam dakwaan tipikor atas pelanggaran UU Lain (UU Pidana Administratif) yang bukan Tipikor.
Alternatif ketiga, mengubah pemikiran hukum dari pendekatan ex-ante dan pembalasan (vengeance) kepada pemikiran post-factum (prospektif). Namun, untuk mencapai perubahan ini diperlukan pendidikan dan pelatihan mengenai analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana.
Di dalam Pasal 6 huruf c UU Nomor 46 tahun 2009, dinyatakan bahwa Pengadilan Tipikor tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara tindak pidana lain yang tidak disebut tegas sebagai Tipikor.
Implikasi Pasal 14 UU Tipikor dan Pasal 6 c UU Pengadilan tipikor adalah, perkara-perkara pidana yang selama ini dituntut dan memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Analisis hukum di atas dari tinjauan aspek rechtmatigheid dan dari aspek doelmatigheid, tidak mencapai sasaran tujuan hukum yang pasti, adil dan bermanfaat.
Akibat lanjutan dari penerapan hukum yang tidak mempertimbangkan kedua aspek hukum yang mendasar tersebut adalah bahwa penjara semakin penuh dan berimbas pada biaya yang dikeluarkan menjadi kian tinggi.
Di sisi lain upaya pemberantasan korupsi yang salah arah tersebut, masih dapat dicegah dan diatasi dengan alternatif pertama, yakni dengan mengubah UU TIPIKOR khusus Pasal 14, Pasal 2 dan Pasal 3 dengan penambahan ayat baru yang mencerminkan perubahan arah politik hukum pidana khususnya.
Alternatif kedua adalah harus ada koreksi melalui yurisprudensi MA yang menolak tuntutan penuntut umum dalam dakwaan tipikor atas pelanggaran UU Lain (UU Pidana Administratif) yang bukan Tipikor.
Alternatif ketiga, mengubah pemikiran hukum dari pendekatan ex-ante dan pembalasan (vengeance) kepada pemikiran post-factum (prospektif). Namun, untuk mencapai perubahan ini diperlukan pendidikan dan pelatihan mengenai analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana.
(ynt)