Mengenal Lebih Dekat UU Tindak Pidana Korupsi
loading...
A
A
A
Untuk mencapai cita dan harapan peranan dan fungsi hukum sebagaiman diuraikan di atas, maka pemberantasan korupsi harus mempertimbangkan beberapa hal; antara lain, bagaimana mengenyahkan pemikiran korup yang selalu bertengger pada penyelenggara negara. Selalu ada kesempatan sehingga korupsi terjadi secara sistematik dan berdampak meluas.
Merujuk UU Tipikor dan penerapannya selama puluhan tahun bukanlah sesuatu yang tabu untuk berpikir maju dan berubah. Termasuk dalam memberikan tafsir hukum atas ketentuan UU Tipikor yang ternyata dan telah terbukti keliru dalam praktiknya.
Padahal, dalam penerapan UU telah tersedia lima tafsir hukum yaitu, historis, sosiologis, gramatikal, sistematis logis dan teleologis. Kelimanya untuk memperluas wawasan berpikir dalam mengkaji norma UU sehingga hukum dapat diterapkan secara adil dan bijaksana.
Menumbuhkan keadilan terutama pada hakim merupakan amanat ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim merupakan pelaku utama kekuasaan kehakiman yang mencerminkan sikap adil dan bijaksana berpegang pada kode etik dan sumpah jabatannya. Adapun jaksa sebagai penuntut sepatutnya menghindari kelaliman di tengah penderitaan para pencari keadilan karena hukum.
Praktik penegakan hukum dan pemberantasan korupsi saat ini belum menampakkan prinsip fundamental negara hukum secara nyata. Kasus mega korupsi masih kerap terjadi dilakukan pejabat negara tanpa rasa malu. Korupsi di Indonesia juga selalu berkelindan dengan kekuasaan, dengan subjek pejabat publik atau penyelenggara negara.
Kekuasaan penyelenggara negara di kementerian dan lembaga seharusnya mampu mengelola anggaran dan bukan dijadikan beban. Sebaliknya, subjek hukum Tipikor juga menekankan bahwa setiap sen uang negara yang dikeluarkan tanpa tanggung jawab merupakan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pemerintah telah mewajiban pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diatur dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Aturan tersebut merupakan tulang punggung bagi strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika strategi pencegahan tidak berhasil secara efektif maka strategi pemberantasan/ penindakan dipastikan sia-sia.
Merujuk pada sejumlah pasal pada UU Tipikor, ada beberapa poin yang menjadi perhatian. Misalnya saja ketentuan Pasal 14 UU Tipikor tahun 1999 yang menyatakan, “setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut (selain UU Tipikor) sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.
Tafsirargumentum a contrarioatas ketentuan pasal tersebut menghasikan bunyi ketentuan bahwa, “setiap orang yang melanggar ketentuan UU Lain selain UU Tipikor yang tidak menyebutkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi maka berlaku ketentuan dalam UU lain tersebut”.
Merujuk UU Tipikor dan penerapannya selama puluhan tahun bukanlah sesuatu yang tabu untuk berpikir maju dan berubah. Termasuk dalam memberikan tafsir hukum atas ketentuan UU Tipikor yang ternyata dan telah terbukti keliru dalam praktiknya.
Padahal, dalam penerapan UU telah tersedia lima tafsir hukum yaitu, historis, sosiologis, gramatikal, sistematis logis dan teleologis. Kelimanya untuk memperluas wawasan berpikir dalam mengkaji norma UU sehingga hukum dapat diterapkan secara adil dan bijaksana.
Menumbuhkan keadilan terutama pada hakim merupakan amanat ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim merupakan pelaku utama kekuasaan kehakiman yang mencerminkan sikap adil dan bijaksana berpegang pada kode etik dan sumpah jabatannya. Adapun jaksa sebagai penuntut sepatutnya menghindari kelaliman di tengah penderitaan para pencari keadilan karena hukum.
Praktik penegakan hukum dan pemberantasan korupsi saat ini belum menampakkan prinsip fundamental negara hukum secara nyata. Kasus mega korupsi masih kerap terjadi dilakukan pejabat negara tanpa rasa malu. Korupsi di Indonesia juga selalu berkelindan dengan kekuasaan, dengan subjek pejabat publik atau penyelenggara negara.
Kekuasaan penyelenggara negara di kementerian dan lembaga seharusnya mampu mengelola anggaran dan bukan dijadikan beban. Sebaliknya, subjek hukum Tipikor juga menekankan bahwa setiap sen uang negara yang dikeluarkan tanpa tanggung jawab merupakan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pemerintah telah mewajiban pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diatur dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Aturan tersebut merupakan tulang punggung bagi strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika strategi pencegahan tidak berhasil secara efektif maka strategi pemberantasan/ penindakan dipastikan sia-sia.
Merujuk pada sejumlah pasal pada UU Tipikor, ada beberapa poin yang menjadi perhatian. Misalnya saja ketentuan Pasal 14 UU Tipikor tahun 1999 yang menyatakan, “setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut (selain UU Tipikor) sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.
Tafsirargumentum a contrarioatas ketentuan pasal tersebut menghasikan bunyi ketentuan bahwa, “setiap orang yang melanggar ketentuan UU Lain selain UU Tipikor yang tidak menyebutkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi maka berlaku ketentuan dalam UU lain tersebut”.