Didenda Ratusan Miliar, Kemhan Gugat Vendor Proyek Satelit ke PN Jakpus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pertahanan (Kemhan) menggungat dua vendor proyek satelit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua vendor, yakni Navayo International dan Huhungan Export Credit Insurance PTE LTD.
Salah satu isi gugatannya yakni meminta majelis hakim untuk tidak mengakui putusan Arbitrase Internasional. Hal itu tertuang dalam gugatan bernomor 64/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang dikutip, Senin (14/2/2022). Gugatan tersebut resmi diajukan Kemhan pada Senin 31 Januari 2022.
"Menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional-International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG tidak dapat diakui dan tidak dapat dilaksanakan," tulis petitum nomor 3.
Sebagaimana diketahui, Menko Polhukam Mahfud beberapa waktu lalu mengungkap Indonesia harus membayar denda uang hampir Rp1 triliun terkait pelanggaran hukum di balik kontrak pembayaran sewa satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) periode 2015-2016.
Uang sebanyak itu wajib dibayarkan kepada dua perusahaan, yakni Avanti Communications Grup dan Navayo. Sebab Pengadilan Arbitrase Inggris pada 9 Juli 2019 telah memutus bahwa Kemhan harus membayar uang senilai Rp515 miliar kepada Avanti.
Sedangkan, pada Mei 22 Mei 2022 pengadilan Arbitrase Singapura mengabulkan gugatan Navayo. Dimana Indonesia diwajibkan membayar uang sebesar USD20,9 juta atau setara Rp314 miliar.
Kejadian ini bermula ketika pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda l telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Dengan demikian, terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), kata Mahfud, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan bisa digunakan negara lain.
Untuk mengisi kosongnya pengelolaan slot orbit itu, Kemkominfo memenuhi permintaan Kemhan mendapatkan hak pengelolaan. Hal itu bertujuan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication. Kontrak itu diteken pada 6 Desember 2015.
Persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kemkominfo baru diterbitkan 29 Januari 2016. Ternyata, saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
Salah satu isi gugatannya yakni meminta majelis hakim untuk tidak mengakui putusan Arbitrase Internasional. Hal itu tertuang dalam gugatan bernomor 64/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang dikutip, Senin (14/2/2022). Gugatan tersebut resmi diajukan Kemhan pada Senin 31 Januari 2022.
"Menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional-International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG tidak dapat diakui dan tidak dapat dilaksanakan," tulis petitum nomor 3.
Sebagaimana diketahui, Menko Polhukam Mahfud beberapa waktu lalu mengungkap Indonesia harus membayar denda uang hampir Rp1 triliun terkait pelanggaran hukum di balik kontrak pembayaran sewa satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) periode 2015-2016.
Uang sebanyak itu wajib dibayarkan kepada dua perusahaan, yakni Avanti Communications Grup dan Navayo. Sebab Pengadilan Arbitrase Inggris pada 9 Juli 2019 telah memutus bahwa Kemhan harus membayar uang senilai Rp515 miliar kepada Avanti.
Sedangkan, pada Mei 22 Mei 2022 pengadilan Arbitrase Singapura mengabulkan gugatan Navayo. Dimana Indonesia diwajibkan membayar uang sebesar USD20,9 juta atau setara Rp314 miliar.
Kejadian ini bermula ketika pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda l telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Dengan demikian, terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), kata Mahfud, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan bisa digunakan negara lain.
Untuk mengisi kosongnya pengelolaan slot orbit itu, Kemkominfo memenuhi permintaan Kemhan mendapatkan hak pengelolaan. Hal itu bertujuan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication. Kontrak itu diteken pada 6 Desember 2015.
Persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kemkominfo baru diterbitkan 29 Januari 2016. Ternyata, saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
(thm)