Ketajaman Berpikir dan Peran ICMI
loading...
A
A
A
Konsep berpikir, memiliki makna dan relasi dengan konsep ilmu (‘ilm). Orang yang selalu berpikir tentang suatu ilmu disebut ‘arif atau ‘alim. Boleh jadi suatu kebetulan, Ketua Umum ICMI sekarang bernama Arif Satria. Apapun bentuk relasinya, semua insan ICMI wajib terus berpikir tajam, arif, berilmu, dan senantiasa bersikap ksatria. ICMI adalah organisasi fungsional, sepadan fungsi kunci pembuka jalan menuju kebaikan (al-khair) dan keselamatan (al-sa’adah/al-salamah).
Ketajaman berpikir itu identik dengan penyulut cahaya pengetahuan (Al-Ghazali, t.t: 2797). Bila ICMI mampu berpikir tajam, maka cahaya terang akan bersinar di sepanjang lorong kehidupan. Dengan ilmu pengetahuan dan derap langkah kegiatan yang sistemik, konkrit dan akuntabel, maka ICMI akan berperan sebagai pemandu dan pemberi nutrisi kehidupan berbangsa.
Pada dimensi kelembagaan, keberfungsian organ-organ tubuh (jiwa-raga) ICMI, dapat diperingkatkan menjadi lima tingkatan, yakni: 1) tingkat pengingat, yaitu ingat tentang fitrahnya sebagai manusia cerdik, dalam hubungannya dengan alam, dan Sang Pencipta; 2) tingkat pencarian, yaitu mencari ilmu pengetahuan sebagai bekal mengarungi liku-liku kehidupan dan membedakan antara haq dan batil; 3) tingkat perolehan, yakni diperolehnya kebenaran sebagai esensi ilmu pengetahuan dan tersinarinya wawasan kehidupan; 4) tingkat perubahan, yakni bertambahnya kuantitas dan kualitas amal-peribadatan; dan 5) tingkat kemantapan, yakni konsistensi menjalankan fungsi, peran, kedudukan sebagai abdillah dan kalifatullah di bumi.
Di dalam ICMI tidak boleh ada orang jahil (lawan dari ‘arif). ICMI justru harus mampu menghapus sistem dan pemikiran jahiliah. Komitmen ini penting dijaga, utamanya ketika bentuk dan makna masyarakat jahiliah telah berubah. Di era modern, era liberalisme, era materialisme, istilah jahiliah identik dengan kebodohan manusia dalam memaknai Tuhan, materi, dan manusia lain. Demi materi, Tuhan (Allah swt) dilecehkan. Dikatakan, Tuhan sudah pensiun. Demi materi, manusia lain diperlakukan sebagai barang. Kehidupan jahiliah di zaman modern, cenderung ateis, sekuler, individualis.
Dalam konteks bernegara hukum, kalaupun insan-insan ICMI berada di pusat kekuasaan, mesti terus sensitif dan kritis terhadap hukum jahiliah, yang marak di berbagai ranah kehidupan. Layak diperhatikan sentilan Allah swt, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS, al-Maidah: 50).
Di negeri ini, banyak orang jahat menjadi kuat, karena kemampuan bertempur bersenjatakan hukum jahiliah. Hukum, dibuat berdasarkan nafsu politik, nafsu bisnis, nafsu kekuasaan, tanpa hirau terhadap suksma (roh) hukum, yakni nilai-nilai agama. ICMI dituntut berperan dan berkemampuan mengendalikan maraknya hukum-hukum jahiliah. Dengan kata lain, ICMI mesti mampu menggusur dan menusnahkan tradisi-tradisi hukum jahiliah, dan menggantikannya dengan sistem hukum teistik dan profetik berdasarkan Pancasila. Ketajaman berpikir dan peran demikian, amat didambakan. Wallahu’alam.
Ketajaman berpikir itu identik dengan penyulut cahaya pengetahuan (Al-Ghazali, t.t: 2797). Bila ICMI mampu berpikir tajam, maka cahaya terang akan bersinar di sepanjang lorong kehidupan. Dengan ilmu pengetahuan dan derap langkah kegiatan yang sistemik, konkrit dan akuntabel, maka ICMI akan berperan sebagai pemandu dan pemberi nutrisi kehidupan berbangsa.
Pada dimensi kelembagaan, keberfungsian organ-organ tubuh (jiwa-raga) ICMI, dapat diperingkatkan menjadi lima tingkatan, yakni: 1) tingkat pengingat, yaitu ingat tentang fitrahnya sebagai manusia cerdik, dalam hubungannya dengan alam, dan Sang Pencipta; 2) tingkat pencarian, yaitu mencari ilmu pengetahuan sebagai bekal mengarungi liku-liku kehidupan dan membedakan antara haq dan batil; 3) tingkat perolehan, yakni diperolehnya kebenaran sebagai esensi ilmu pengetahuan dan tersinarinya wawasan kehidupan; 4) tingkat perubahan, yakni bertambahnya kuantitas dan kualitas amal-peribadatan; dan 5) tingkat kemantapan, yakni konsistensi menjalankan fungsi, peran, kedudukan sebagai abdillah dan kalifatullah di bumi.
Di dalam ICMI tidak boleh ada orang jahil (lawan dari ‘arif). ICMI justru harus mampu menghapus sistem dan pemikiran jahiliah. Komitmen ini penting dijaga, utamanya ketika bentuk dan makna masyarakat jahiliah telah berubah. Di era modern, era liberalisme, era materialisme, istilah jahiliah identik dengan kebodohan manusia dalam memaknai Tuhan, materi, dan manusia lain. Demi materi, Tuhan (Allah swt) dilecehkan. Dikatakan, Tuhan sudah pensiun. Demi materi, manusia lain diperlakukan sebagai barang. Kehidupan jahiliah di zaman modern, cenderung ateis, sekuler, individualis.
Dalam konteks bernegara hukum, kalaupun insan-insan ICMI berada di pusat kekuasaan, mesti terus sensitif dan kritis terhadap hukum jahiliah, yang marak di berbagai ranah kehidupan. Layak diperhatikan sentilan Allah swt, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS, al-Maidah: 50).
Di negeri ini, banyak orang jahat menjadi kuat, karena kemampuan bertempur bersenjatakan hukum jahiliah. Hukum, dibuat berdasarkan nafsu politik, nafsu bisnis, nafsu kekuasaan, tanpa hirau terhadap suksma (roh) hukum, yakni nilai-nilai agama. ICMI dituntut berperan dan berkemampuan mengendalikan maraknya hukum-hukum jahiliah. Dengan kata lain, ICMI mesti mampu menggusur dan menusnahkan tradisi-tradisi hukum jahiliah, dan menggantikannya dengan sistem hukum teistik dan profetik berdasarkan Pancasila. Ketajaman berpikir dan peran demikian, amat didambakan. Wallahu’alam.
(bmm)