Sikap PBNU terkait RUU Cipta Kerja Sektor Jaminan Produk Halal
loading...
A
A
A
Terkait dengan hal ini, PBNU memberi catatan bahwa harus dipastikan pemerintah melakukan jemput bola dan menfasilitasi sertifikasi halal, dan sistem halal benar-benar satu pintu jenis perizinan yang lain.
Selain itu, dalam pengurusan izin usaha, izin edar, SNI dan sertifikasi halal hendaknya ada sinergi sehingga tidak terjadi duplikasi pemenuhan syarat dan pengulangan proses administratif yang mubazir. Demikian halnya, proses sertifikasi halal juga tidak perlu mengulang hal-hal yang sudah dilakukan oleh lembaga POM.
Soal desentralisasi penetapan kehalalan produk, kata Kiai Said, PBNU memahami perubahan norma yang menambahkan “ormas Islam berbadan hukum” yang disebutkan menjadi salah satu mitra kerjasama Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), selain Kementerian/Lembaga terkait, LPH (Lembaga Penjamin Halal) dan MUI. Khusus kerjasama BPJPH dan ormas Islam berbadan hukum dilakukan dalam hal penetapan kehalalan suatu produk.
Karena itu, hal terkait sertifikasi auditor halal dan dan akreditasi LPH menjadi kewenangan pemerintah (BPJPH), bukan kewenangan MUI sebagaimana ada dalam UU 33 Tahun 2014 dan PP Nomor 31 Tahun 2019 sebagai pelaksanaan UU JPH.
Dengan perubahan tersebut, tidak ada lagi monopoli penetapan kehalalan suatu produk oleh lembaga keagamaan tertentu. PBNU mendukung gagasan desentralisasi penetapan kehalalan suatu produk asal hal tersebut dilakukan lembaga-lembaga keagamaan yang kredibel dan dalam kiprahnya terbukti mempunyai kapasitas mengeluarkan pendapat keagamaan.
Apakah hal ini tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum? "Tidak sama sekali," tutur Kiai Said.
Penetapan halal adalah keputusan profesional sebuah Lembaga yang tidak bisa dicampuri lembaga yang lain. Ia sejenis putusan hasil “ijtihad” yang tidak bisa dibatalkan oleh “ijtihad” yang lain (al-ijtihad ya yunqadhu bil ijtihad). Hal ini justru bisa membuka peluang pelaku pasar bisa mendapatkan pelayanan sertifikasi yang cepat karena tidak adanya monopoli.
PBNU berpendapat, dalam hal kerjasama BPJPH dengan ormas Islam berbadan hukum tidak perlu ada nama ormas yang disebut secara eksplisit dan yang tidak. Semua ormas yang berbadan hukum harus diperlakukan sama di depan undang-undang, sehingga tidak ada state favoritism terhadap ormas tertentu, seolah ormas yang disebut dalam undang-undang lebih unggul dari yang lain.
PBNU juga mengusulkan agar pengertian “produk” di dalam Ketentuan Umum UU JPH diperbaiki dan menjadi satu kesatuan dalam RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 1 UU JPH disebutkan: produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kata “….serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat” terlampau luas dan eksesif yang pada gilirannya justru akan mengganggu iklim investasi.
Selain itu, dalam pengurusan izin usaha, izin edar, SNI dan sertifikasi halal hendaknya ada sinergi sehingga tidak terjadi duplikasi pemenuhan syarat dan pengulangan proses administratif yang mubazir. Demikian halnya, proses sertifikasi halal juga tidak perlu mengulang hal-hal yang sudah dilakukan oleh lembaga POM.
Soal desentralisasi penetapan kehalalan produk, kata Kiai Said, PBNU memahami perubahan norma yang menambahkan “ormas Islam berbadan hukum” yang disebutkan menjadi salah satu mitra kerjasama Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), selain Kementerian/Lembaga terkait, LPH (Lembaga Penjamin Halal) dan MUI. Khusus kerjasama BPJPH dan ormas Islam berbadan hukum dilakukan dalam hal penetapan kehalalan suatu produk.
Karena itu, hal terkait sertifikasi auditor halal dan dan akreditasi LPH menjadi kewenangan pemerintah (BPJPH), bukan kewenangan MUI sebagaimana ada dalam UU 33 Tahun 2014 dan PP Nomor 31 Tahun 2019 sebagai pelaksanaan UU JPH.
Dengan perubahan tersebut, tidak ada lagi monopoli penetapan kehalalan suatu produk oleh lembaga keagamaan tertentu. PBNU mendukung gagasan desentralisasi penetapan kehalalan suatu produk asal hal tersebut dilakukan lembaga-lembaga keagamaan yang kredibel dan dalam kiprahnya terbukti mempunyai kapasitas mengeluarkan pendapat keagamaan.
Apakah hal ini tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum? "Tidak sama sekali," tutur Kiai Said.
Penetapan halal adalah keputusan profesional sebuah Lembaga yang tidak bisa dicampuri lembaga yang lain. Ia sejenis putusan hasil “ijtihad” yang tidak bisa dibatalkan oleh “ijtihad” yang lain (al-ijtihad ya yunqadhu bil ijtihad). Hal ini justru bisa membuka peluang pelaku pasar bisa mendapatkan pelayanan sertifikasi yang cepat karena tidak adanya monopoli.
PBNU berpendapat, dalam hal kerjasama BPJPH dengan ormas Islam berbadan hukum tidak perlu ada nama ormas yang disebut secara eksplisit dan yang tidak. Semua ormas yang berbadan hukum harus diperlakukan sama di depan undang-undang, sehingga tidak ada state favoritism terhadap ormas tertentu, seolah ormas yang disebut dalam undang-undang lebih unggul dari yang lain.
PBNU juga mengusulkan agar pengertian “produk” di dalam Ketentuan Umum UU JPH diperbaiki dan menjadi satu kesatuan dalam RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 1 UU JPH disebutkan: produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kata “….serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat” terlampau luas dan eksesif yang pada gilirannya justru akan mengganggu iklim investasi.