Panggilan Cerita
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Penulis buku Di Telapan Cerita (2022)
Tahun-tahun berlalu, kita mungkin kehilangan atau menemukan. Album nostalgia makin bertambah, makna belum tentu melimpah. Sekian hal ingin tertinggalkan saat dunia tak terlalu meminta kita sebagai pengingat. Masa lalu itu pintu tertutup dan terbuka. Kita datang dan pergi dengan cerita-cerita kadang utuh atau tercecer.
Dulu, kita memiliki pencerita. Ia menuliskan cerita bersumber dari pelbagai agama dan peradaban. Kesanggupan membahasakan secara sederhana justru menguak makna-makna. Penulisan cerita-cerita berlangsung dengan ketulusan dan persembahan, terbit sebagai buku-buku diterjemahkan dalam beragam bahasa. Pencerita itu bernama Anthony de Mello.
Buku-buku telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ribuan orang membaca dengan mata-renungan dan hasrat-kebajikan. Pembaca buku-buku insaf atas keberlimpahan cerita dan makna. Semula, orang-orang menduga buku-buku itu renungan berselera Katolik. Anthony de Mello mengabdi di India sebagai seorang Yesuit. Pada saat buku-buku terbit dan terbaca, orang-orang perlahan mengerti itu bacaan untuk siapa saja.
Akhir tahun lalu, orang-orang merenungi diri dan dunia gara-gara wabah. Situasi tak keruan dengan berita-berita sering memicu duka berkepanjangan. Pada hari-hari masih tanpa janji kebahagiaan, dua jilid buku dari Anthony de Mello berjudul Doa Sang Katak mengundang kita menilik diri melalui cerita-cerita. Buku terbit menjelang peringatan seabad percetakan-penerbitan Kanisius. Buku “memanggil” kita untuk memasuki album cerita. Di penerbit Kanisius, buku itu telah mencipta ingatan-ingatan pembaca atas renungan tak berkesudahan.
Di halaman awal, tertulis: “Buku-buku Pater Anthony de Mello, SJ ditulis dalam konteks keanekaragaman agama untuk membantu para penganut agama-agama, kaum agnostik, dan para ateis dalam upaya mereka mencari nilai-nilai rohani dan jati dirinya.” Kita mulai membaca dengan keterbukaan tanpa pransangka-prasangka picik. Diri terbuka justru menjadikan cerita-cerita menuntun ke titian kebenaran.
Kita menikmati cerita tentang manusia, cuaca, dan agama. Pengajuan cerita sederhana tapi pelik dalam uraian maksud. Anthony de Mello mengisahkan seorang wanita tua suka berkebun. Ia tak mau berurusan dengan ramalan bahwa para ilmuwan bakal mampu mengendalikan cuaca. Diri dan berkebun ditentukan dengan doa, bukan para pengendali cuaca. Berdoa dianggap keutamaan.
Di akhir cerita, pembaca terkejut: “Pada suatu musim panas, ketika ia sedang bepergian ke luar negeri kekeringan melanda negerinya dan menghancurkan seluruh kebunnya. Ia begitu kesal dan marah, sehingga ketika pulang, ia berpindah agama.” Pembaca tersentak diajak berpikir agama dan sains. Hidup di dunia, manusia beragama demi selamat, bahagia, baik, dan berfaedah. Pada situasi rumit, manusia beragama menganggap segala masalah selesai dengan doa. Ia abai hidup memerlukan ilmu-pengetahuan. Kita membaca cerita itu ingin tertawa-malu untuk berlanjut sadar diri-beragama mesti meninggalkan kepicikan. Beragama itu “mudah” dan “sulit”.
Pada abad XXI, “cuaca” dalam lakon saling menghormati berkaitan agama masih mudah berantakan akibat gagal mengejawantahkan iman demi kebaikan bersama dan dunia. Cuaca sedang tak keruan dan “cuaca” orang-orang beragama tampak bertanda seru. Agama sedang direnungkan akibat wabah dan cuaca membawa akibat-akibat belum “terkendalikan.
Di buku berjudul Awereness: Butir-Butir Mutiara Pencerahan (2005), Anthony de Mello mengingatkan bahwa langkah untuk mencapai kebijaksanaan adalah mengenali perasaan negatif, mungkin saja sulit atau jarang tersadari. Pada pembahasaan berbeda, manusia-manusia abad XXI menanggungkan tekanan-tekanan berakibat depresi. Gagal mengerti diri memunculkan kerusakan, kehancuran, kenistaan, dan ketololan. Kesanggupan mengatasi keburukan-keburukan itu demi dunia baik-baik saja. “Mengerti” dan “melihat” memungkinkan diri dan dunia itu baik. Cerita-cerita mungkin merangsang bijak.
Penulis buku Di Telapan Cerita (2022)
Tahun-tahun berlalu, kita mungkin kehilangan atau menemukan. Album nostalgia makin bertambah, makna belum tentu melimpah. Sekian hal ingin tertinggalkan saat dunia tak terlalu meminta kita sebagai pengingat. Masa lalu itu pintu tertutup dan terbuka. Kita datang dan pergi dengan cerita-cerita kadang utuh atau tercecer.
Dulu, kita memiliki pencerita. Ia menuliskan cerita bersumber dari pelbagai agama dan peradaban. Kesanggupan membahasakan secara sederhana justru menguak makna-makna. Penulisan cerita-cerita berlangsung dengan ketulusan dan persembahan, terbit sebagai buku-buku diterjemahkan dalam beragam bahasa. Pencerita itu bernama Anthony de Mello.
Buku-buku telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ribuan orang membaca dengan mata-renungan dan hasrat-kebajikan. Pembaca buku-buku insaf atas keberlimpahan cerita dan makna. Semula, orang-orang menduga buku-buku itu renungan berselera Katolik. Anthony de Mello mengabdi di India sebagai seorang Yesuit. Pada saat buku-buku terbit dan terbaca, orang-orang perlahan mengerti itu bacaan untuk siapa saja.
Akhir tahun lalu, orang-orang merenungi diri dan dunia gara-gara wabah. Situasi tak keruan dengan berita-berita sering memicu duka berkepanjangan. Pada hari-hari masih tanpa janji kebahagiaan, dua jilid buku dari Anthony de Mello berjudul Doa Sang Katak mengundang kita menilik diri melalui cerita-cerita. Buku terbit menjelang peringatan seabad percetakan-penerbitan Kanisius. Buku “memanggil” kita untuk memasuki album cerita. Di penerbit Kanisius, buku itu telah mencipta ingatan-ingatan pembaca atas renungan tak berkesudahan.
Di halaman awal, tertulis: “Buku-buku Pater Anthony de Mello, SJ ditulis dalam konteks keanekaragaman agama untuk membantu para penganut agama-agama, kaum agnostik, dan para ateis dalam upaya mereka mencari nilai-nilai rohani dan jati dirinya.” Kita mulai membaca dengan keterbukaan tanpa pransangka-prasangka picik. Diri terbuka justru menjadikan cerita-cerita menuntun ke titian kebenaran.
Kita menikmati cerita tentang manusia, cuaca, dan agama. Pengajuan cerita sederhana tapi pelik dalam uraian maksud. Anthony de Mello mengisahkan seorang wanita tua suka berkebun. Ia tak mau berurusan dengan ramalan bahwa para ilmuwan bakal mampu mengendalikan cuaca. Diri dan berkebun ditentukan dengan doa, bukan para pengendali cuaca. Berdoa dianggap keutamaan.
Di akhir cerita, pembaca terkejut: “Pada suatu musim panas, ketika ia sedang bepergian ke luar negeri kekeringan melanda negerinya dan menghancurkan seluruh kebunnya. Ia begitu kesal dan marah, sehingga ketika pulang, ia berpindah agama.” Pembaca tersentak diajak berpikir agama dan sains. Hidup di dunia, manusia beragama demi selamat, bahagia, baik, dan berfaedah. Pada situasi rumit, manusia beragama menganggap segala masalah selesai dengan doa. Ia abai hidup memerlukan ilmu-pengetahuan. Kita membaca cerita itu ingin tertawa-malu untuk berlanjut sadar diri-beragama mesti meninggalkan kepicikan. Beragama itu “mudah” dan “sulit”.
Pada abad XXI, “cuaca” dalam lakon saling menghormati berkaitan agama masih mudah berantakan akibat gagal mengejawantahkan iman demi kebaikan bersama dan dunia. Cuaca sedang tak keruan dan “cuaca” orang-orang beragama tampak bertanda seru. Agama sedang direnungkan akibat wabah dan cuaca membawa akibat-akibat belum “terkendalikan.
Di buku berjudul Awereness: Butir-Butir Mutiara Pencerahan (2005), Anthony de Mello mengingatkan bahwa langkah untuk mencapai kebijaksanaan adalah mengenali perasaan negatif, mungkin saja sulit atau jarang tersadari. Pada pembahasaan berbeda, manusia-manusia abad XXI menanggungkan tekanan-tekanan berakibat depresi. Gagal mengerti diri memunculkan kerusakan, kehancuran, kenistaan, dan ketololan. Kesanggupan mengatasi keburukan-keburukan itu demi dunia baik-baik saja. “Mengerti” dan “melihat” memungkinkan diri dan dunia itu baik. Cerita-cerita mungkin merangsang bijak.