Sikat Kecurangan Karantina Tanpa Pandang Bulu
loading...
A
A
A
TEGAS sekali instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Senin (31/1) lalu. Presiden meminta Kapolri segera mengungkap tuntas praktik-praktik kecurangan dalam kebijakan karantina bagi WNI atau WNA.
Presiden pantas kesal dan geram dengan praktik mafia karantina ini. Semua tahu, kejahatan ini bukan lagi desas-desus atau dugaan lagi. Telah banyak peristiwa membuktikan bahwa praktik kecurangan karantina ini tak henti terjadi. Selama 2021 saja misalnya, setidaknya ada tiga kasus menonjol pelanggaran ini. Seperti masuknya warga negara India berinisial JD tanpa melewati prosedur protokol kesehatan di Bandara Soekarno-Hatta, akhir April 2021. Tak lama kemudian, disusul lolosnya tujuh warga negara India lagi yang masuk Jakarta lantaran dibantu joki dan oknum protokoler Angkasa Pura II.
Kasus pelanggaran karantina menghebohkan juga terjadi pada akhir Oktober yang melibatkan selebgram Rachel Vennya. Terakhir akhir Januari 2022, kasus kecurangan karantina ini dialami wisatawan asal Ukraina dengan modus permainan hasil tes PCR sebagaimana diungkap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.
Di luar kasus-kasus di atas, tentu sangat mungkin ada banyak kecurangan lain yang tak terungkap. Bisa jadi tak dilaporkan atau memang begitu rapinya praktik pelanggaran ini sehingga sulit terendus.
Potensi pelanggaran karantina memang besar. Ini karena kebijakan karantina mengharuskan orang atau pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) harus ‘mengendap’ dalam kurun waktu tertentu untuk pendeteksian dan pencegahan penularan Covid-19. Waktu karantina juga tak pendek. Jika sebelumnya 14 hari, kemudian direvisi 7 hari dan terakhir pada awal pekan ini, pemerintah memutuskan cukup 5 hari. Karantina 5 hari ini dikhususkan bagi PPLN yang sudah mendapatkan vaksin dua dosis.
Secara naluriah, semua orang pasti enggan menjalani karantina ini, meski satu hari pun. Apalagi bagi mereka yang berkantong tebal atau memiliki kegiatan yang mendesak. Tentu ini menjadi pilihan pelik. Di sinilah potensi pelanggaran sangat mungkin terjadi. Godaan uang, imbalan dan kesenangan lainnya membuat petugas kerap kali mengesampingkan akan komitmen mereka. Tak hanya petugas bandara, pelanggaran ini juga terbukti hingga menyeret sejumlah tentara yang bertugas di Wisma Atlet.
Di tengah kian meningginya persebaran varian baru Omicron saat ini, terus merebaknya praktik kecurangan karantina ini tentu hal yang memprihatinkan. Rapuhnya kebijakan karantina sejatinya mengancam jebolnya pengendalian Covid-19 yang selama ini dengan susah payah kita pertahankan bersama. Dengan kesadaran ini, pelaku-pelaku kecurangan ini jelas menjadi musuh kolektif.
Kita mengapresiasi langkah penegakan hukum yang sudah berjalan baik seperti pada kasus yang melibatkan Rachel Vennya. Pelaku-pelaku kecurangan ini patut mendapat sanksi berat dan menjerakan karena dampak perbuatannya sangat membayakan banyak orang.
Di sisi lain, terus maraknya kasus pelanggaran Undang-Undang No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ini patut menjadi sarana evaluasi bersama. Upaya perbaikan itu antara lain dengan menciptakan regulasi yang kuat terkait waktu karantina berikut sanksi-sanksi yang keras bagi pelanggar. Termasuk bagi penyedia lokasi karantina, jika mereka tidak mengindahkan standar prokes yang berlaku, juga patut dijatuhi sanksi. Informasi tidak seragamnya standar prokes di hotel misalnya, saat ini kerap dikeluhkan oleh masyarakat.
Pemerintah juga perlu menerjunkan petugas yang memiliki integritas sangat tinggi di titik-titik masuknya PPLN. Sebab, sekali mereka lengah atau tergoda, maka potensi masuknya PPLN tanpa prosedur yang ditetapkan sangatlah besar. Penerjunan petugas berintegritas ini juga perlu dibarengi dengan pemberian tunjangan atau rewardyang memadai. Dengan cara begitu mereka akan bisa bekerja totalitas tanpa mudah tergoda uang, imbalan dan sejenisnya.
Pengetatan karantina ini saatnya menjadi perhatian. Sebab meski saat ini penularan lokal tinggi, masuknya virus korona yang dibawa PPLN juga tak bisa diremehkan. Tanpa kesadaran bersama soal ini, kita berpotensi menghadapi ledakan kasus korona tinggi lagi. Yang lebih berbahaya adalah bangsa ini sulit mencari solusi karena seolah berputar pada lingkaran setan (vicious circle).
Presiden pantas kesal dan geram dengan praktik mafia karantina ini. Semua tahu, kejahatan ini bukan lagi desas-desus atau dugaan lagi. Telah banyak peristiwa membuktikan bahwa praktik kecurangan karantina ini tak henti terjadi. Selama 2021 saja misalnya, setidaknya ada tiga kasus menonjol pelanggaran ini. Seperti masuknya warga negara India berinisial JD tanpa melewati prosedur protokol kesehatan di Bandara Soekarno-Hatta, akhir April 2021. Tak lama kemudian, disusul lolosnya tujuh warga negara India lagi yang masuk Jakarta lantaran dibantu joki dan oknum protokoler Angkasa Pura II.
Kasus pelanggaran karantina menghebohkan juga terjadi pada akhir Oktober yang melibatkan selebgram Rachel Vennya. Terakhir akhir Januari 2022, kasus kecurangan karantina ini dialami wisatawan asal Ukraina dengan modus permainan hasil tes PCR sebagaimana diungkap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.
Di luar kasus-kasus di atas, tentu sangat mungkin ada banyak kecurangan lain yang tak terungkap. Bisa jadi tak dilaporkan atau memang begitu rapinya praktik pelanggaran ini sehingga sulit terendus.
Potensi pelanggaran karantina memang besar. Ini karena kebijakan karantina mengharuskan orang atau pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) harus ‘mengendap’ dalam kurun waktu tertentu untuk pendeteksian dan pencegahan penularan Covid-19. Waktu karantina juga tak pendek. Jika sebelumnya 14 hari, kemudian direvisi 7 hari dan terakhir pada awal pekan ini, pemerintah memutuskan cukup 5 hari. Karantina 5 hari ini dikhususkan bagi PPLN yang sudah mendapatkan vaksin dua dosis.
Secara naluriah, semua orang pasti enggan menjalani karantina ini, meski satu hari pun. Apalagi bagi mereka yang berkantong tebal atau memiliki kegiatan yang mendesak. Tentu ini menjadi pilihan pelik. Di sinilah potensi pelanggaran sangat mungkin terjadi. Godaan uang, imbalan dan kesenangan lainnya membuat petugas kerap kali mengesampingkan akan komitmen mereka. Tak hanya petugas bandara, pelanggaran ini juga terbukti hingga menyeret sejumlah tentara yang bertugas di Wisma Atlet.
Di tengah kian meningginya persebaran varian baru Omicron saat ini, terus merebaknya praktik kecurangan karantina ini tentu hal yang memprihatinkan. Rapuhnya kebijakan karantina sejatinya mengancam jebolnya pengendalian Covid-19 yang selama ini dengan susah payah kita pertahankan bersama. Dengan kesadaran ini, pelaku-pelaku kecurangan ini jelas menjadi musuh kolektif.
Kita mengapresiasi langkah penegakan hukum yang sudah berjalan baik seperti pada kasus yang melibatkan Rachel Vennya. Pelaku-pelaku kecurangan ini patut mendapat sanksi berat dan menjerakan karena dampak perbuatannya sangat membayakan banyak orang.
Di sisi lain, terus maraknya kasus pelanggaran Undang-Undang No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ini patut menjadi sarana evaluasi bersama. Upaya perbaikan itu antara lain dengan menciptakan regulasi yang kuat terkait waktu karantina berikut sanksi-sanksi yang keras bagi pelanggar. Termasuk bagi penyedia lokasi karantina, jika mereka tidak mengindahkan standar prokes yang berlaku, juga patut dijatuhi sanksi. Informasi tidak seragamnya standar prokes di hotel misalnya, saat ini kerap dikeluhkan oleh masyarakat.
Pemerintah juga perlu menerjunkan petugas yang memiliki integritas sangat tinggi di titik-titik masuknya PPLN. Sebab, sekali mereka lengah atau tergoda, maka potensi masuknya PPLN tanpa prosedur yang ditetapkan sangatlah besar. Penerjunan petugas berintegritas ini juga perlu dibarengi dengan pemberian tunjangan atau rewardyang memadai. Dengan cara begitu mereka akan bisa bekerja totalitas tanpa mudah tergoda uang, imbalan dan sejenisnya.
Pengetatan karantina ini saatnya menjadi perhatian. Sebab meski saat ini penularan lokal tinggi, masuknya virus korona yang dibawa PPLN juga tak bisa diremehkan. Tanpa kesadaran bersama soal ini, kita berpotensi menghadapi ledakan kasus korona tinggi lagi. Yang lebih berbahaya adalah bangsa ini sulit mencari solusi karena seolah berputar pada lingkaran setan (vicious circle).
(bmm)