Bermain Layang-layang

Sabtu, 29 Januari 2022 - 10:07 WIB
loading...
A A A
Dari atas berkibar bagai ekor naga, di tengah adalah badan naga yang panjang meliuk-liuk terterpa angin, dan bawah adalah kepala naga dihiasi dengan taring dan rambut yang mengerikan. Layangan ini seperti dalam tradisi China. Di pematang sawah Kalasan, ada beberapa naga dengan warna dan warni yang berbeda.

Permainan layangan cukup menghibur. Yang membuat dan menerbangkan dengan bangga memegang layanganannya. Yang menonton dari jauh terkesima kemudian mendekat. Saya sendiri melihat beralama-lama dan mendekat yang menerbangkan. Saya bertanya proses pembuatan dan cara menerbangkannya.

Komunitas layangan sudah terbentuk sendiri di Yogyakarta. Tak terbatas di tanah lapang di dataran tinggi, di pantai atau tempat rekreasi juga seringkali ditemukan. Kehadirannya yang cukup menghibur inilah yang mungkin memerlukan ruang apresiasi untuk layangan.

Layangan dalam konteks sosial ini telah menyatukan kepentingan kita sebagai bangsa. Yang menerbangkan, melihat, dan menikmati sudah tidak lagi memperhitungkan agama, etnis, budaya, tradisi. Semua setara dan sejajar dalam menikmati layangan ini. Tidak ada yang mengamati bentuk mata, warna kulit, atau agama apa dalam menikmati layangan ini. Tidak ada yang bertanya mazhab keagamaan, partai politik, pilihan pemimpin 2024, atau hal-lain yang serius. Cukup menghibur dan menyamakan persepsi dalam kepentingan yang sama, menikmati layangan terbang.

Berbicara soal politik, agama, dan bahkan ekonomi kadangkala membuat perbedaan menajam. Terutama menyinggung tentang agama, itu sangatlah sensitif di masyarakat kita. Jika kita tidak tepat berpendapat, atau berbeda dengan kelompok tertentu, bisa saja dengan mudah dipojokkan, dijauhi, atau bahkan ada undang-undang ITE atau penodaan agama di ruang publik yang bisa menjerat.

Kita harus hati-hati. Apalagi menjelang persiapan hajatan politik 2024. Kita saksikan banyak yang sudah menggunakan momentum keagamaan, atau sengaja menyinggung identitas keagamaan sebagai jalan meraup simpati.

Mungkin masyarakat kita butuh rileksasi, perlu memperhatikan permainan seperti layangan, agar mengurangi ketersinggungan. Saat ini di Australia sedang ada kompetisi tenis Australian Open. Tetapi kita sudah kadung gandrung dengan bola kaki, tetapi kita belum berhasil juara bahkan di tingkat regional Asia Tenggara. Yang menjadi andalan kita adalah bulutangkis yang sifatnya kemampuan individu. Namun, meski prestasi olahraga kita belum merata di semua cabang, tetap harus ada porsi di ruang publik. Karena, permainan dan olahraga banyak mencairkan suasana.

Seperti serial layangan putus di TV tadi, kita memerlukan permainan yang sama-sama kita nikmati. Manusia hakekatnya adalah homo luden, yaitu suka permainan. Mungkin sisi ini yang harus kita garap bersama-sama. Jangan lah kita terlalu serius dan ketat memperhatikan kesalahan-kesalahan kawan-kawan sendiri dalam politik, agama, dan sosial. Kita membutuhkan hal-hal yang membuat relasi antar kita santai.

Nabi Muhammad sendiri pada suatu ketika mendapati Aisyah, istrinya yang bermain dengan boneka. Tentu terjadi perbincangan menarik tentang permainan ini. Memanah, berkuda, berenang adalah cabang waktu itu yang masih dilestarikan dari era Yunani, Romawi, dan Persia. China, India, dan bahkan Nusantara mempunyai perhatian khusus pada cabang ini. Mari bermain atau melihat layangan, mari menghibur diri.
(ynt)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.7137 seconds (0.1#10.140)