Meramaikan Warna Dunia dengan Pemikiran-Pemikiran

Sabtu, 22 Januari 2022 - 08:22 WIB
loading...
Meramaikan Warna Dunia dengan Pemikiran-Pemikiran
Meramaikan Warna Dunia dengan Pemikiran-Pemikiran
A A A
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali

Sebagian orang mungkin menganggap esai haruslah membahas sesuatu yang serius. Sesuatu yang sekiranya dapat membuat dahi pembaca berkerut-kerut dalam waktu lama, sesuatu yang pelik nan rumit, lalu tercerahkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, bagi Hairus Salim HS, esai adalah kesederhanaan. Setidaknya, itu yang tertangkap dari buku bertajuk Wajah Cemas Abu Nuwas.

Buku ini merupakan kumpulan esai yang dirangkum dari kolom khusus di Majalah Gong, sebuah media cetak bertema budaya yang ia asuh selama beberapa tahun. Dari catatan editor, saya mendapati definisi esai, yaitu eksperimen seorang penulis untuk menghasilkan sebuah tulisan yang tidak hanya membutuhkan ketekunan, melainkan juga mesti menghasil tulisan yang indah dan apik. Tentu saja, sederhana tidak harus miskin estetika. Sederhana juga berarti keindahan tersebut dapat kita rasakan tanpa harus bersusah payah dahulu.

Bagi orang seperti saya, yang lebih dahulu terjun ke jagat fiksi, mulanya memandang esai sebagai sesuatu yang sulit dijangkau, apalagi jika harus menuliskannya. Padahal, secara tidak sadar, saya pun sebenarnya kerap menulis non fiksi ketika harus membahas kiat-kiat menyelesaikan sebuah novel atau cerpen, atau ketika saya membuat catatan selepas membaca satu buku.

Tercerahkan. Itu yang biasanya terjadi setelah seseorang membaca sesuatu yang berhubungan dengan tanda tanya yang berpusing di benak mereka selama ini. Baik fiksi maupun non fiksi, efeknya sama. Maka dari itu, banyak orang sengaja menuliskan sesuatu dengan tujuan mengajak orang lain ikut tercerahkan. Padahal, jika tidak dibarengi dengan pengolahan lema yang baik, narasi yang digadang-gadang bisa mencerahkan, malah jadi memburamkan.

Sekarang, bagaimana kita bisa menghasilkan tulisan yang indah dan apik? Tentu saja dengan membaca sesuatu yang indah dan apik pula. Itu semacam rumus baku. Tidak ada penulis yang tidak membaca. Sebuah gagasan atau ide lahir karena manusia membaca. Lantas, apakah berhenti sampai tahap membaca? Dalam esai berjudul Pram, terdapat kalimat, “Membaca bukan hanya proses konsumsi, tapi juga produksi. Membaca adalah juga kreasi. Dengan cara itu, novel sebagai teks akhirnya menjadi sesuatu yang dinamis, terus-menerus hidup dan menyala. Ia bukan benda beku dan baku. Kecuali kalau kita memberlakukannya sebagai ideologi.” (halaman 94)

Dengan membaca, kita memasukkan sebentuk pengetahuan ke dalam benak. Kita punya pilihan: mendiamkannya di sana, atau mengolahnya (baca: memberi makna pada pengetahuan tersebut). Pilihan pertama tentu berakhir dengan pengetahuan tersebut menguap begitu saja—mungkin—tanpa sempat masuk bilik memori. Sementara pilihan kedua, jika tidak dituangkan kembali ke dalam bentuk tulisan lalu dibagikan, tentu manfaatnya hanya akan terasa untuk diri sendiri. Hairus tidak melakukannya. Ia tidak berhenti dengan hanya memikirkan.

Ia bergerak menuangkannya. Ia membaca segalanya. Itu yang ia sampaikan di Instagram ketika bicara soal buku ini. Dan bagi saya, ia tidak hanya membaca tulisan, tetapi juga membaca momen, membaca peristiwa. Mulai dari peristiwa besar sampai momen remeh temeh semisal hujan. Ia pun membaca ketokohan. Bisa kita lihat dari esai-esai berjudul Pram, GD (Gus Dur), Gibran, Abu Nuwas, bahkan Dewa 19.

Esai-esai dalam buku ini memang cukup singkat, mengingat jatah menulis Hairus dalam Majalah Gong hanya satu halaman. Akan tetapi, bahkan dalam uraian sepanjang lima ratus kata pun ia bisa mendedah begitu banyak. Ia menjelaskan dengan singkat dan padat. Tentu jika ia mendapat jatah satu halaman lagi, kita akan dimanjakan dengan narasi indah dan apik, sekalipun ia—misalnya—hanya membahas penganan seblak atau cilok.

Esai dan Estetika

Selayaknya sebuah karya seni, esai pun berhak diapresiasi. Kita tidak hanya mengulik sebuah tulisan dari sisi teknisnya, tetapi bagaimana efeknya terhadap pembaca serta apakah mereka menangkap poin estetis dalam tulisan tersebut. Ini relatif. Penilaian seperti ini tidak memiliki rumus baku. Itu pun dikatakan Hairus dalam esai berjudul Maestro.

“Estetika tidak mempunyai suatu ukuran yang jelas dan definitif. Sekali ada yang hendak membuat standarnya, ia berarti sedang melakukan rezimentasi, membangun suatu konstruksi, yang beroperasi di dalamnya pengetahuan yang didukung suatu kekuasaan, dan sebaliknya juga suatu kekuasaan yang ditopang suatu jenis pengetahuan.” (halaman 82)

Maka, sebaiknya kita tidak perlu bingung jika setelah membaca sesuatu, muncul ketidaksetujuan atas hal yang tertulis di sana. Tidak apa-apa. Sebab, banyak faktor yang memengaruhi penilaian seseorang. Misalnya saja sudut pandang, selera, serta pemahaman mengolah apa yang masuk ke dalam benak. Tiga poin itu yang membuat dunia tidak monoton.

Dalam KBBI daring, tertera arti dari esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya (diakses 14 November 2021).

Jadi, cukup jelas, siapa pun berhak menuangkan ide serta gagasannya dalam bentuk tulisan. Berhak pula memublikasikan lewat media, baik cetak maupun elektronik, luring maupun daring. Serta, siapa pun juga berhak memberi tanggapan dan penilaian terhadap karya tulis tersebut.

Umumnya, selera dijadikan senjata andalan dalam proses apresiasi secara personal. Memanfaatkan pengalaman dan ketajaman insting, seseorang bisa mendedah sebuah esai. Hanya saja, kadang kita melihat kelemahan dalam urusan apresiasi ini. Seolah-olah, hanya racikan satu orang saja yang boleh diperhatikan, yang lain tidak layak mendapat pengakuan, apalagi jika yang berbicara ternyata memiliki label kuat nan tinggi. Kalau sudah begini, universalitas dan diversitas tampak seperti sesuatu yang mustahil.

Tidak ada benar dan salah dalam bahasan ini. Semua esai memiliki kekuatannya masing-masing. Hairus sendiri meyakini bahwa tidak ada karya seni—dalam hal ini, esai—yang seratus persen orisinal dan asli. Tidak ada yang baru, meskipun yang dibahas adalah objek kekinian yang baru saja muncul. Yang ada hanya modifikasi dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada, atau cara penyampaiannya saja yang agak berbeda.

Tentu saja, Hairus tidak hendak memaksakan sudut pandang, selera, dan pemahamannya kepada pembaca. Di mata saya, ia tengah mengajak pembaca untuk sejenak menengok jendela lain dari sekian banyak yang disodorkan semesta. Juga, sebagai kolumnis dan seorang budayawan, ia hanya sedang turut meramaikan warna dunia dengan pemikiran-pemikirannya. Sekian.

Judul buku : WAJAH CEMAS ABU NUWAS

Penulis : Hairus Salim HS

Penerbit : Tanda Baca

Cetak : Pertama, Maret 2021

Tebal : x + 214 halaman

ISBN : 978-623-93977-8-4
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2452 seconds (0.1#10.140)