Giliran Bos MURI Gugat Presidential Threshold 20 Persen
loading...

Jaya Suprana mengajukan judicial review terhadap presidential threshold 20 persen dalam UU Pemilu ke MK. Foto/Okezone
A
A
A
JAKARTA - Gugatan masyarakat sipil terhadap presidential threshold terus bermunculan. Kali ini gugatan terhadap ketentuan dalam UU Pemilu tersebut dilayangkan punggawa Museum Rekor Indonesia (MURI) Jaya Suprana.
Sebagaimana dilansir laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK), Jaya Suprana menggugat Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 terkait presidential threshold. Jaya mengajukan permohonan karena dugannya UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar Jaya dikutip dari laman resmi MK, Jumat (21/1/2022).
Baca juga: AHY dan LaNyalla Bertemu Bahas Sejumlah Hal Termasuk Presidential Threshold
Pada pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan oleh Jaya agar dihapus itu berbunyi: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."
Jaya Suprana yang menggugat tanpa didampingi kuasa hukumnya, menilai syarat ambang batas pencalonan presiden menjadi tidak relevan pada pemilu serentak 2024. Dia berfokus pada landasan pencalonan yang disandarkan pada perolehan kursi DPR hasil pemilu sebelumnya akan menjadi tidak kredibel.
"Dengan penyelenggaraan pemilu secara serentak 2024 maka mutatis mutandis pemberlakukan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi tidak relevan lagi. Karena praktis basis suara yang dipergunakan dalam memenuhi syarat dukungan calon presiden dan calon wakil presiden diperoleh dari pemilih yang telah meninggal dunia," bebernya.
Sebagaimana dilansir laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK), Jaya Suprana menggugat Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 terkait presidential threshold. Jaya mengajukan permohonan karena dugannya UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar Jaya dikutip dari laman resmi MK, Jumat (21/1/2022).
Baca juga: AHY dan LaNyalla Bertemu Bahas Sejumlah Hal Termasuk Presidential Threshold
Pada pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan oleh Jaya agar dihapus itu berbunyi: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."
Jaya Suprana yang menggugat tanpa didampingi kuasa hukumnya, menilai syarat ambang batas pencalonan presiden menjadi tidak relevan pada pemilu serentak 2024. Dia berfokus pada landasan pencalonan yang disandarkan pada perolehan kursi DPR hasil pemilu sebelumnya akan menjadi tidak kredibel.
"Dengan penyelenggaraan pemilu secara serentak 2024 maka mutatis mutandis pemberlakukan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi tidak relevan lagi. Karena praktis basis suara yang dipergunakan dalam memenuhi syarat dukungan calon presiden dan calon wakil presiden diperoleh dari pemilih yang telah meninggal dunia," bebernya.
(muh)
Lihat Juga :