Zakat untuk Pemberdayaan Potensi Ekonomi Umat
loading...
A
A
A
Ahmad Zayadi
Sekretaris BAZNAS Republik Indonesia
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sejarah pengelolaan zakat di Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Sejak awal masuknya Islam di Nusantara, Indonesia telah mengenal pengelolaan zakat, meskipun bentuknya masih sangat sederhana.
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam telah dipraktekkan sejak awal Islam masuk ke Indonesia. Tetapi tidak banyak catatan sejarah yang menuliskan bagaimana praktek zakat di Indonesia pada saat itu. Snouck Hurgronje berargumen, karena proses Islamisasi yang berlangsung dengan damai, praktik zakat di Indonesia tidak pernah dipandang sebagai bentuk pajak keagamaan atau upeti politik kepada pemerintah, dan praktek zakat pun menjadi berbasis pada kesukarelaan, dimana masjid dan pesantren merupakan dua instansi yang memegang kunci penting pengelolaan zakat di masa-masa itu. Kemudian setelah tahun 1999 organisasi pengelola zakat meningkat secara drastis. Peningkatan ini diduga dimotivasi oleh gerakan reformasi dan krisis ekonomi yang terjadi saat itu.
Sejarah juga mencatat bahwa penetapan Undang-Undang No 38/1999 menjadi titik balik terkait zakat di Indonesia. Regulasi zakat pertama inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pola pengelolaan zakat di Indonesia. Setelah itu, terbit Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 8/2001 pada 17 Januari 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Dan, di hari ini kita memperingati ulang tahun BAZNAS yang ke 21.
Babak baru Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat di Indonesia memasuki babak baru sejak pemerintah secara resmi menetapkan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang mencabut UU No 38/1999 karena dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diadakan perubahan. Undang-undang No 38/1999 ini tidak memberikan kerangka regulasi institusional zakat nasional untuk tata kelola yang baik.
Secara kelembagaan, UU No 23/2011 ini menempatkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai Lembaga Pemerintah Non Struktural (LNS), BAZNAS berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. UU ini juga memberikan panduan terkait dengan arah sentralisasi pengelolaan zakat, dimana pemerintah berperan sebagai regulator dan pengelola yang disebut dengan Baznas.
Sedangkan amil swasta difungsikan sebagai mitra dan kepanjangan tangan Baznas. Karenanya dalam UU ini juga mendetailkan dalam definisinya perbedaan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Hal lain yang diatur dalam UU ini adalah pengaturan yang lebih rinci terkait perencanaan, penghimpunan, pelaporan dan pendayagunaan juga mengatur tentang pengelolaan infaq, sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) serta sumber pembiayaan operasional lembaga pengelola zakat.
UU No 23/2011 memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam pengelolaan zakat. Penguatan kelembagaan BAZNAS sebagai representasi negara dalam menangani masalah-masalah keseharian warga negara adalah hal yang wajar, campur tangan negara terhadap pengupayaan kesejahteraan umum mutlak diperlukan, sehingga pengelolaan zakat oleh masyarakat menjadi efektif dan efisien.
Potensi Zakat-Potensi Ekonomi Umat
Zakat merupakan ibadah yang berdimensi ganda. Selain untuk menggapai keridhoan serta mengharap pahala dari Allah SWT, zakat merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Karenanya, dalam sejarah Islam, zakat banyak digunakan untuk kepentingan sosial. Wujud dari kepentingan sosial tersebut dapat berupa pemberdayaan masyarakat, jaminan sosial, pendidikan, Kesehatan dan lain-lain.
Zakat ini mempunyai dimensi sosial yang sangat mulia, yang menandakan bahwa ajaran Islam telah memikirkan mengenai solusi pemecahan persoalan ketimpangan dan distribusi pendapatan yang tidak merata di masyarakat.
Zakat merupakan salah satu instrumen fiskal dalam praktik ekonomi yang telah digunakan semenjak Rasulullah SAW, dan berdasarkan catatan sejarah zakat telah memerankan peran yang sangat penting dalam mekanisme distribusi pendapatan dalam perekonomian. Hal ini dapat terwujud jika potensi zakat benar-benar dapat dieksplorasi secara efektif dan berdaya guna.
Berdasarkan Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ) per tahun 2020, potensi zakat di Indonesia senilai Rp327,6 triliun. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimalisasi dalam proses pengumpulan zakat, agar kontribusi zakat dapat terus ditingkatkan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan.
Karena potensi yang besar inilah maka dalam dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) yang telah ditetapkan oleh Presiden H Joko Widodo, zakat masuk menjadi salah satu pilar penting dalam rencana strategis pembangunan ekonomi ummat Islam di Indonesia.
Beberapa isu strategis dalam optimalisasi pengelolaan zakat nasional, meliputi; 1) Efektivitas kepemimpinan pada organisasi pengelola zakat; 2) Sistem manajemen/tata Kelola organisasi; 3) Kapasitas dan kompetensi Sumber Daya Amilin-amilat; 4) Koordinasi dan konsolidasi organisasi; 5) Inovasi dalam pemanfaatan teknologi informasi; 6) kesadaran masyarakat untuk membayar zakat; 7) Praktek dan regulasi Zakat.
Secara fungsional, manfaat zakat di Indonesia memiliki kesesuaian dengan gagasan tentang arus baru ekonomi umat yang dilontarkan oleh KH Ma'ruf Amin, yang pada hakekatnya adalah upaya untuk menawarkan arah pembangunan ekonomi umat, yang pada intinya: (1) menegaskan sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi.; (2) mempercepat redistribusi dan optimalisasi sumberdaya alam secara arif dan berkelanjutan; (3) memperkuat sumberdaya manusia yang kompeten dan berdaya saing tinggi berbasis keunggulan IPTEK, inovasi, dan kewirausahaan; (4) menggerakkan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi pelaku usaha perekonomian nasional; (5) mewujudkan mitra sejajar Usaha Besar dengan Koperasi, usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sistem produksi dan pasar terintegrasi; (6) pengarusutamaan ekonomi syariah dalam perekonomian nasional, tetap dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI; dan (7) kelembagaan dalam mengawal Arus Ekonomi Baru Perekonomian Indonesia tersebut.
Arus baru ekonomi umat mencita-citakan timbulnya kebangkitan ekonomi umat yang melindungi seluruh umat yang dapat diartikan masyarakat secara umum, mensejahterakan semua, fokus kepada pembangunan manusia seutuhnya, dan berkeadilan.
Sekretaris BAZNAS Republik Indonesia
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sejarah pengelolaan zakat di Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Sejak awal masuknya Islam di Nusantara, Indonesia telah mengenal pengelolaan zakat, meskipun bentuknya masih sangat sederhana.
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam telah dipraktekkan sejak awal Islam masuk ke Indonesia. Tetapi tidak banyak catatan sejarah yang menuliskan bagaimana praktek zakat di Indonesia pada saat itu. Snouck Hurgronje berargumen, karena proses Islamisasi yang berlangsung dengan damai, praktik zakat di Indonesia tidak pernah dipandang sebagai bentuk pajak keagamaan atau upeti politik kepada pemerintah, dan praktek zakat pun menjadi berbasis pada kesukarelaan, dimana masjid dan pesantren merupakan dua instansi yang memegang kunci penting pengelolaan zakat di masa-masa itu. Kemudian setelah tahun 1999 organisasi pengelola zakat meningkat secara drastis. Peningkatan ini diduga dimotivasi oleh gerakan reformasi dan krisis ekonomi yang terjadi saat itu.
Sejarah juga mencatat bahwa penetapan Undang-Undang No 38/1999 menjadi titik balik terkait zakat di Indonesia. Regulasi zakat pertama inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pola pengelolaan zakat di Indonesia. Setelah itu, terbit Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 8/2001 pada 17 Januari 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Dan, di hari ini kita memperingati ulang tahun BAZNAS yang ke 21.
Babak baru Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat di Indonesia memasuki babak baru sejak pemerintah secara resmi menetapkan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang mencabut UU No 38/1999 karena dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diadakan perubahan. Undang-undang No 38/1999 ini tidak memberikan kerangka regulasi institusional zakat nasional untuk tata kelola yang baik.
Secara kelembagaan, UU No 23/2011 ini menempatkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai Lembaga Pemerintah Non Struktural (LNS), BAZNAS berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. UU ini juga memberikan panduan terkait dengan arah sentralisasi pengelolaan zakat, dimana pemerintah berperan sebagai regulator dan pengelola yang disebut dengan Baznas.
Sedangkan amil swasta difungsikan sebagai mitra dan kepanjangan tangan Baznas. Karenanya dalam UU ini juga mendetailkan dalam definisinya perbedaan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Hal lain yang diatur dalam UU ini adalah pengaturan yang lebih rinci terkait perencanaan, penghimpunan, pelaporan dan pendayagunaan juga mengatur tentang pengelolaan infaq, sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) serta sumber pembiayaan operasional lembaga pengelola zakat.
UU No 23/2011 memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam pengelolaan zakat. Penguatan kelembagaan BAZNAS sebagai representasi negara dalam menangani masalah-masalah keseharian warga negara adalah hal yang wajar, campur tangan negara terhadap pengupayaan kesejahteraan umum mutlak diperlukan, sehingga pengelolaan zakat oleh masyarakat menjadi efektif dan efisien.
Potensi Zakat-Potensi Ekonomi Umat
Zakat merupakan ibadah yang berdimensi ganda. Selain untuk menggapai keridhoan serta mengharap pahala dari Allah SWT, zakat merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Karenanya, dalam sejarah Islam, zakat banyak digunakan untuk kepentingan sosial. Wujud dari kepentingan sosial tersebut dapat berupa pemberdayaan masyarakat, jaminan sosial, pendidikan, Kesehatan dan lain-lain.
Zakat ini mempunyai dimensi sosial yang sangat mulia, yang menandakan bahwa ajaran Islam telah memikirkan mengenai solusi pemecahan persoalan ketimpangan dan distribusi pendapatan yang tidak merata di masyarakat.
Zakat merupakan salah satu instrumen fiskal dalam praktik ekonomi yang telah digunakan semenjak Rasulullah SAW, dan berdasarkan catatan sejarah zakat telah memerankan peran yang sangat penting dalam mekanisme distribusi pendapatan dalam perekonomian. Hal ini dapat terwujud jika potensi zakat benar-benar dapat dieksplorasi secara efektif dan berdaya guna.
Berdasarkan Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ) per tahun 2020, potensi zakat di Indonesia senilai Rp327,6 triliun. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimalisasi dalam proses pengumpulan zakat, agar kontribusi zakat dapat terus ditingkatkan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan.
Karena potensi yang besar inilah maka dalam dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) yang telah ditetapkan oleh Presiden H Joko Widodo, zakat masuk menjadi salah satu pilar penting dalam rencana strategis pembangunan ekonomi ummat Islam di Indonesia.
Beberapa isu strategis dalam optimalisasi pengelolaan zakat nasional, meliputi; 1) Efektivitas kepemimpinan pada organisasi pengelola zakat; 2) Sistem manajemen/tata Kelola organisasi; 3) Kapasitas dan kompetensi Sumber Daya Amilin-amilat; 4) Koordinasi dan konsolidasi organisasi; 5) Inovasi dalam pemanfaatan teknologi informasi; 6) kesadaran masyarakat untuk membayar zakat; 7) Praktek dan regulasi Zakat.
Secara fungsional, manfaat zakat di Indonesia memiliki kesesuaian dengan gagasan tentang arus baru ekonomi umat yang dilontarkan oleh KH Ma'ruf Amin, yang pada hakekatnya adalah upaya untuk menawarkan arah pembangunan ekonomi umat, yang pada intinya: (1) menegaskan sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi.; (2) mempercepat redistribusi dan optimalisasi sumberdaya alam secara arif dan berkelanjutan; (3) memperkuat sumberdaya manusia yang kompeten dan berdaya saing tinggi berbasis keunggulan IPTEK, inovasi, dan kewirausahaan; (4) menggerakkan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi pelaku usaha perekonomian nasional; (5) mewujudkan mitra sejajar Usaha Besar dengan Koperasi, usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sistem produksi dan pasar terintegrasi; (6) pengarusutamaan ekonomi syariah dalam perekonomian nasional, tetap dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI; dan (7) kelembagaan dalam mengawal Arus Ekonomi Baru Perekonomian Indonesia tersebut.
Arus baru ekonomi umat mencita-citakan timbulnya kebangkitan ekonomi umat yang melindungi seluruh umat yang dapat diartikan masyarakat secara umum, mensejahterakan semua, fokus kepada pembangunan manusia seutuhnya, dan berkeadilan.
(ynt)