Menagih Filmisasi Novel Passion Cinta

Jum'at, 14 Januari 2022 - 06:11 WIB
loading...
A A A
Insan cendekia bilang “manajemen cinta”. Cinta humanistis ini dilandasi konsep trianggolo. Pertama, trianggolo komunikasi personal manusiawi (anak-ibu-bapak, bapak-ibu-anak, ibu-bapak-anak). Kedua, trianggolo komunikasi personal imani (Tuhan-ortu-anak, ortu-Tuhan-anak, anak-ortu-Tuhan).

Berkat rahim religiositas tersebut Alberthiene Endah bertekuk lutut. Alberthiene takluk. Tamsil hidupnya dibenturkan oleh simpati dan empati protagonis (tokoh bapak) yang berlutut, bertelut dalam doa, berkaca air mata di samping tokoh istri yang sakaratul maut. Cinta sejati tak cukup. Cinta pun justru bikin pepes dan apes. Tafsir cinta platonis bermain. Ide kausa prima versus hasrat.

“Bildungsroman,” bisikku padamu.

Diksi yang pas menginisiasi novel ini. Edukatif. Novel pendidikan penuh bius sekaligus racun, tetapi jelas menghardik jauh derai picisan. Cerita inspiratif memaknai hidup. Kucur air mata sengaja dibuat garing. Lakon hidup diberi nyawa amanah dan mandat supaya tidak cengeng dibantai badai hidup. Sebab kemenangan hidup-jati seseorang adalah penderitaan (siksa-diri) demi kesadaran merayakan syukur. Syukur atas pelayanan kepada semua umat manusia. Tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, dewasalah semua tokoh novel karena asa, cinta, dan iman yang mendalam.

Novel Biografi

Kisahan cerita diunggah dari saksi hidup (witness). Tak banyak gaya penceritaan yang dipakai Alberthiene Endah. Back tracking (kilas balik yang superpanjang) menjadi andalannya. Bisa dikulik, berkat pamer alur genial ini jua novel Alberthiene bernyawa ganda.

Novel ini segaya cerita berbingkai. Bingkai utamanya sepasang tokoh suami-istri (Wim Gondowijoyo dan Liliawati). Mereka beradab etnis Tionghoa. Mereka mendamparkan diri di ICU, Glen Eagles, Singapura (hlm. 11). Berakhir maut, tamat di ruang khusus RS Bethesda, Yogyakarta. Liliawati koma karena sirosis (pengerasan hati) akut. Wim berjaga hingga Lili menutup mata selamanya (hlm. 407).

Dalam bingkai utama inilah protagonis Wim memuntir memori. Bak pendekar kehidupan, Wim gaduh bertarung melawan kerasnya kehidupan, bengisnya tabiat setiap umat yang mengaku punya iman. Wim dibesarkan dalam keluarga serbamiskin di Sidoarjo. Wim sulung yang beradik Tiong, John, dan Silvi. Ibunya bakul rengginang. Ayahnya sopir oplet. Prinsip hidupnya, biarlah orang tua supermiskin, tetapi anak-anak wajib menjadi orang sukses. Dengan jibaku gencetan fulus, Wim dan ketiga adiknya nekat menggelandang ke sekolah favorit (Yogyakarta-Malang-Surabaya). Hingga mengantarnya meraih tampuk jabatan dan kerja.

Wim menjadi petarung tangguh karena ditempa bengisnya hidup. Kuliah bertualang di UGM dan Atmajaya. Wim rela makelaran rongsok demi menyambung hidup. Wim berani menikahi Liliawati dengan modal nyali cinta tulus dan iman mendalam. Sungguh, kuasa cinta dan iman ini mendewasakan keluarga Wim-Lili dalam kerja (hlm. 265). Sembari kuliah Wim menjadi asisten dosen dan memangku jabatan di bagian administrasi rektorat. Hebatnya, Wim tetap makelaran rongsok. Bolehlah mental kere, tetapi nyali bos.

Lili menjadi pendoa ulung, pelayan umat, penderma, jago kuliner, setia mendampingi Wim. Wim sukses. Wim mampu mendirikan usaha cetak CV Andi Offset yang merekrut ratusan karyawan. Wim pun mampu mendirikan Hotel Phoenix di pusaran Malioboro. Sukses materi ini disyukuri Wim dengan mendirikan rumah doa Imelda di kawasan Kaliurang. Sukses Wim-Lili diiringi titipan Allah dengan empat anak (Andi, Yesky, Sheila, Joseph). Keempat anak ini mewarisi lumuran darah sukses orang tua.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2129 seconds (0.1#10.140)