Menagih Filmisasi Novel Passion Cinta
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais, buruh buku penerbitan di Klaten-Jateng
“Hidup itu tak selalu harus menguasai. Hidup juga untuk berbagi dan memberi inspirasi. Kita akan menjadi kering jika hidup semata-mata untuk terus mengumpulkan keuntungan. Kita akan menjadi tamak dan kehilangan nilai-nilai hidup.” (hlm. 169)
Sekadar tamsil Alberthiene Endah menukil makna hidup melalui novel Cahaya di Penjuru Hati. Bertarung, duel, lalu uji kenyataan. Medan duel yakni tarung tiga media. Tak tanggung-tanggung. Media buku (novel sastra Indonesia), media CD OST/original soundtrack (geng cinta dibikin lirik lagu oleh Brian dari Jikustik Band-Yogyakarta sebagai melo vokalis), dan media film (ekranisasi novel ke layar lebar). Masihkah terngiang?
Media lagu dan film mengiringi buku novel. Sebenarnya bukan cara inovatif untuk strategi marketing. Justru kontraproduktif, mengapa? Jika sekadar mengarus air mengalir, bak ikan mati. Wacana diserempetkan bahwa novel Alberthiene ini mirip kisahan Habibie-Ainun. Bandingkan dengan rating film love-story Habibie-Ainun yang disketsa dari kisah nyata. Pahami juga tebar pesona aktor-aktris Reza Rahadian-Bunga Citra Lestari. Konon laris, tetapi edar tak lama.
Telah jamak media film membanting novel. Tak lekang filmisasi “Sitti Nurbaya” (aktor-aktris Gusti Randa-Novia Kolopaking) zaman Balai Pustaka hingga artis hot Eva Arnaz dalam “Darah Mahkota Ronggeng” (tafsir novel Ronggeng Dukuh Paruk). Bahkan, filmisasi menyasar riuh pada “Laskar Pelangi” Andrea Hirata, atau karya Habiburahman el Sirazy, atau “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono. Setelah itu redup, tak lama bernapas. Bagaimana intrik Iqbal-Dilan, Dian Sastro-Kartini, pun Minke dan Annelies (yang dibesut dari tetralogi Pram)?
Berkaca dari momen inilah Alberthiene Endah pernah mencicipi filmisasi salah satu novelnya, Athirah. Lantas, prospek cerahkah film Athirah besutan Riri Riza itu? Sukses ekranisasi (filmisasi novel Athirah ke film) makin menantang Alberthiene Endah. Reputasi Alberthiene memang moncer. Muncullah novel yang disandangi lagu-lagu tematis rohani. Plus iming-iming kalau novel akan dilayarlebarkan. Ini taji pasar taruhannya. Ke mana filmisasi novel Cahaya di Penjuru Hati yang digunjingkan dari 2018 hingga 2022 ini?
Alberthiene Endah digoda si empunya cerita. Juragan tajir. Muasalnya, Alberthiene ogah-ogahan. Cerita cinta klasik. Cuma bikin gulung tikar dilibas kisahan cinta kids jaman now yang banal dan bengal. Alberthiene bergeming. Sebab ceritanya monoton, tidak menantang, apalagi eksperimental. Logika cerita kikuk, sangat struktural prosais. Lugu untuk bersaing di level marketing novel-novel polifonis.
Ini novel rohani? Hidup di jalur lain seperjalanan novel-novel pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 lemparan Richard Oh, Acarya Sastra 2017 bagi pendidik dari Kemendikbud RI, Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jatim, Kontes Penulisan Novel 2017 dari Unnes dengan salah satu juri gaek, Seno Gumira Ajidarma. Novel jawara ini karya bohemian. Novel anyar Alberthiene dikepung novel-novel yang menyandang gelar juara. Surutkah novel Alberthiene?
Nilai Passion Novel
Satu titik G-spotnya menggunduk bahwa cerita dicekam dalam pusaran religiositas yang mendalam. Garansinya dicukil dari sabda YB Mangunwijaya yang monolit dalam kitab empu Sastra dan Religiositas. Itung-itungan main domino, Romo Mangun berani menyelingkungkannya dalam biara komunitas novel religius yang andal. Tangkapannya sederhana. Ranah religiositas novel ini memain-mainkan kontekstualitas storge (cinta keluarga), eros (cinta nafsu), philia (cinta sesama), dan agape (cinta Tuhan). Keempat ranah ini berbicara tentang cinta.
Insan cendekia bilang “manajemen cinta”. Cinta humanistis ini dilandasi konsep trianggolo. Pertama, trianggolo komunikasi personal manusiawi (anak-ibu-bapak, bapak-ibu-anak, ibu-bapak-anak). Kedua, trianggolo komunikasi personal imani (Tuhan-ortu-anak, ortu-Tuhan-anak, anak-ortu-Tuhan).
Berkat rahim religiositas tersebut Alberthiene Endah bertekuk lutut. Alberthiene takluk. Tamsil hidupnya dibenturkan oleh simpati dan empati protagonis (tokoh bapak) yang berlutut, bertelut dalam doa, berkaca air mata di samping tokoh istri yang sakaratul maut. Cinta sejati tak cukup. Cinta pun justru bikin pepes dan apes. Tafsir cinta platonis bermain. Ide kausa prima versus hasrat.
“Bildungsroman,” bisikku padamu.
Diksi yang pas menginisiasi novel ini. Edukatif. Novel pendidikan penuh bius sekaligus racun, tetapi jelas menghardik jauh derai picisan. Cerita inspiratif memaknai hidup. Kucur air mata sengaja dibuat garing. Lakon hidup diberi nyawa amanah dan mandat supaya tidak cengeng dibantai badai hidup. Sebab kemenangan hidup-jati seseorang adalah penderitaan (siksa-diri) demi kesadaran merayakan syukur. Syukur atas pelayanan kepada semua umat manusia. Tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, dewasalah semua tokoh novel karena asa, cinta, dan iman yang mendalam.
Novel Biografi
Kisahan cerita diunggah dari saksi hidup (witness). Tak banyak gaya penceritaan yang dipakai Alberthiene Endah. Back tracking (kilas balik yang superpanjang) menjadi andalannya. Bisa dikulik, berkat pamer alur genial ini jua novel Alberthiene bernyawa ganda.
Novel ini segaya cerita berbingkai. Bingkai utamanya sepasang tokoh suami-istri (Wim Gondowijoyo dan Liliawati). Mereka beradab etnis Tionghoa. Mereka mendamparkan diri di ICU, Glen Eagles, Singapura (hlm. 11). Berakhir maut, tamat di ruang khusus RS Bethesda, Yogyakarta. Liliawati koma karena sirosis (pengerasan hati) akut. Wim berjaga hingga Lili menutup mata selamanya (hlm. 407).
Dalam bingkai utama inilah protagonis Wim memuntir memori. Bak pendekar kehidupan, Wim gaduh bertarung melawan kerasnya kehidupan, bengisnya tabiat setiap umat yang mengaku punya iman. Wim dibesarkan dalam keluarga serbamiskin di Sidoarjo. Wim sulung yang beradik Tiong, John, dan Silvi. Ibunya bakul rengginang. Ayahnya sopir oplet. Prinsip hidupnya, biarlah orang tua supermiskin, tetapi anak-anak wajib menjadi orang sukses. Dengan jibaku gencetan fulus, Wim dan ketiga adiknya nekat menggelandang ke sekolah favorit (Yogyakarta-Malang-Surabaya). Hingga mengantarnya meraih tampuk jabatan dan kerja.
Wim menjadi petarung tangguh karena ditempa bengisnya hidup. Kuliah bertualang di UGM dan Atmajaya. Wim rela makelaran rongsok demi menyambung hidup. Wim berani menikahi Liliawati dengan modal nyali cinta tulus dan iman mendalam. Sungguh, kuasa cinta dan iman ini mendewasakan keluarga Wim-Lili dalam kerja (hlm. 265). Sembari kuliah Wim menjadi asisten dosen dan memangku jabatan di bagian administrasi rektorat. Hebatnya, Wim tetap makelaran rongsok. Bolehlah mental kere, tetapi nyali bos.
Lili menjadi pendoa ulung, pelayan umat, penderma, jago kuliner, setia mendampingi Wim. Wim sukses. Wim mampu mendirikan usaha cetak CV Andi Offset yang merekrut ratusan karyawan. Wim pun mampu mendirikan Hotel Phoenix di pusaran Malioboro. Sukses materi ini disyukuri Wim dengan mendirikan rumah doa Imelda di kawasan Kaliurang. Sukses Wim-Lili diiringi titipan Allah dengan empat anak (Andi, Yesky, Sheila, Joseph). Keempat anak ini mewarisi lumuran darah sukses orang tua.
Di balik sukses keluarga Wim-Lili, muncullah badai menghajar. Krisis moneter yang melanda tahun 1997/1998 menjadi titik balik. Zero point return. Wim terjerat piutang. Wim dihujat rekanan kerja, karyawan, bahkan karib seiman. Wim tandas. Telak terjungkal. Nyaris tak bermartabat. Benar-benar Wim sakaratul maut. Terpaksa, Wim menjual aset vital, hotel Phoenix, demi kepul asa hidup baru.
Menuai Amalan
Kini kembali Wim merangkaki hidup. Hidup dari nol dan kudu mengais rongsokan lagi. Namun, Tuhan berkarya. Usaha percetakan-mini memulihkan luka hidup Wim. Andi-mini semakin membubung besar menjadi CV Andi hingga unjuk gigi menjadi Andi Offset, hotel di Kaliurang hidup, rumah doa Imelda berkumandang. Tuhan memberkati.
Saat indah mengepung inilah, sirosis (gangguan karena pengerutan/pengerasan hati) Lili kambuh. Lili ambruk. Lili akut. Lili koma.
Novel ini juga mengisahkan mukjizat Allah. Sirosis Lili yang sudah stadium empat, pernah sembuh total karena kuasa cinta, doa, iman, dan harapan (hlm. 250). Tetapi, suratan takdir harus diterima. Lili menutup mata selamanya ketika keluarga dan anak-anak telah mampu mensyukuri anugerah-Nya. Benar-benar Wim-Lili menjadi pendekar kehidupan. Keluarga petarung pun petualang cinta yang menggelinding humanistis, penuh iman, saleh, dan teberkati Allah.
“Banyak godaan dan ujian mengelilingi kita. Kita harus bertarung mempertahankan diri untuk berada dalam nilai-nilai baik dan berjalan dengan kebenaran. Itulah kunci kemenangan hidup manusia. Dunia ini pertarungan.” (hlm. 301)
Secara tidak langsung, tetapi justru tersurat bahwa novel tebal ini seakan menjadi primbon pembaca untuk meraih sukses manakala menggauli bisnis. Kaya harta, kaya hati, kaya iman yang bertumbuh untuk melayani sesama tanpa pandang bulu melampaui ras, suku bangsa, dan agama yang sekadar baju rombeng belaka. Sebagai karakter tilik diri, begitukah amalan cinta platonis? Seronokkah kini jika aku tetap menagih filmisasinya pada 2022 ini? Sebab cinta adalah passion pasar keabadian semua insan. *
Esais, buruh buku penerbitan di Klaten-Jateng
“Hidup itu tak selalu harus menguasai. Hidup juga untuk berbagi dan memberi inspirasi. Kita akan menjadi kering jika hidup semata-mata untuk terus mengumpulkan keuntungan. Kita akan menjadi tamak dan kehilangan nilai-nilai hidup.” (hlm. 169)
Sekadar tamsil Alberthiene Endah menukil makna hidup melalui novel Cahaya di Penjuru Hati. Bertarung, duel, lalu uji kenyataan. Medan duel yakni tarung tiga media. Tak tanggung-tanggung. Media buku (novel sastra Indonesia), media CD OST/original soundtrack (geng cinta dibikin lirik lagu oleh Brian dari Jikustik Band-Yogyakarta sebagai melo vokalis), dan media film (ekranisasi novel ke layar lebar). Masihkah terngiang?
Media lagu dan film mengiringi buku novel. Sebenarnya bukan cara inovatif untuk strategi marketing. Justru kontraproduktif, mengapa? Jika sekadar mengarus air mengalir, bak ikan mati. Wacana diserempetkan bahwa novel Alberthiene ini mirip kisahan Habibie-Ainun. Bandingkan dengan rating film love-story Habibie-Ainun yang disketsa dari kisah nyata. Pahami juga tebar pesona aktor-aktris Reza Rahadian-Bunga Citra Lestari. Konon laris, tetapi edar tak lama.
Telah jamak media film membanting novel. Tak lekang filmisasi “Sitti Nurbaya” (aktor-aktris Gusti Randa-Novia Kolopaking) zaman Balai Pustaka hingga artis hot Eva Arnaz dalam “Darah Mahkota Ronggeng” (tafsir novel Ronggeng Dukuh Paruk). Bahkan, filmisasi menyasar riuh pada “Laskar Pelangi” Andrea Hirata, atau karya Habiburahman el Sirazy, atau “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono. Setelah itu redup, tak lama bernapas. Bagaimana intrik Iqbal-Dilan, Dian Sastro-Kartini, pun Minke dan Annelies (yang dibesut dari tetralogi Pram)?
Berkaca dari momen inilah Alberthiene Endah pernah mencicipi filmisasi salah satu novelnya, Athirah. Lantas, prospek cerahkah film Athirah besutan Riri Riza itu? Sukses ekranisasi (filmisasi novel Athirah ke film) makin menantang Alberthiene Endah. Reputasi Alberthiene memang moncer. Muncullah novel yang disandangi lagu-lagu tematis rohani. Plus iming-iming kalau novel akan dilayarlebarkan. Ini taji pasar taruhannya. Ke mana filmisasi novel Cahaya di Penjuru Hati yang digunjingkan dari 2018 hingga 2022 ini?
Alberthiene Endah digoda si empunya cerita. Juragan tajir. Muasalnya, Alberthiene ogah-ogahan. Cerita cinta klasik. Cuma bikin gulung tikar dilibas kisahan cinta kids jaman now yang banal dan bengal. Alberthiene bergeming. Sebab ceritanya monoton, tidak menantang, apalagi eksperimental. Logika cerita kikuk, sangat struktural prosais. Lugu untuk bersaing di level marketing novel-novel polifonis.
Ini novel rohani? Hidup di jalur lain seperjalanan novel-novel pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 lemparan Richard Oh, Acarya Sastra 2017 bagi pendidik dari Kemendikbud RI, Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jatim, Kontes Penulisan Novel 2017 dari Unnes dengan salah satu juri gaek, Seno Gumira Ajidarma. Novel jawara ini karya bohemian. Novel anyar Alberthiene dikepung novel-novel yang menyandang gelar juara. Surutkah novel Alberthiene?
Nilai Passion Novel
Satu titik G-spotnya menggunduk bahwa cerita dicekam dalam pusaran religiositas yang mendalam. Garansinya dicukil dari sabda YB Mangunwijaya yang monolit dalam kitab empu Sastra dan Religiositas. Itung-itungan main domino, Romo Mangun berani menyelingkungkannya dalam biara komunitas novel religius yang andal. Tangkapannya sederhana. Ranah religiositas novel ini memain-mainkan kontekstualitas storge (cinta keluarga), eros (cinta nafsu), philia (cinta sesama), dan agape (cinta Tuhan). Keempat ranah ini berbicara tentang cinta.
Insan cendekia bilang “manajemen cinta”. Cinta humanistis ini dilandasi konsep trianggolo. Pertama, trianggolo komunikasi personal manusiawi (anak-ibu-bapak, bapak-ibu-anak, ibu-bapak-anak). Kedua, trianggolo komunikasi personal imani (Tuhan-ortu-anak, ortu-Tuhan-anak, anak-ortu-Tuhan).
Berkat rahim religiositas tersebut Alberthiene Endah bertekuk lutut. Alberthiene takluk. Tamsil hidupnya dibenturkan oleh simpati dan empati protagonis (tokoh bapak) yang berlutut, bertelut dalam doa, berkaca air mata di samping tokoh istri yang sakaratul maut. Cinta sejati tak cukup. Cinta pun justru bikin pepes dan apes. Tafsir cinta platonis bermain. Ide kausa prima versus hasrat.
“Bildungsroman,” bisikku padamu.
Diksi yang pas menginisiasi novel ini. Edukatif. Novel pendidikan penuh bius sekaligus racun, tetapi jelas menghardik jauh derai picisan. Cerita inspiratif memaknai hidup. Kucur air mata sengaja dibuat garing. Lakon hidup diberi nyawa amanah dan mandat supaya tidak cengeng dibantai badai hidup. Sebab kemenangan hidup-jati seseorang adalah penderitaan (siksa-diri) demi kesadaran merayakan syukur. Syukur atas pelayanan kepada semua umat manusia. Tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, dewasalah semua tokoh novel karena asa, cinta, dan iman yang mendalam.
Novel Biografi
Kisahan cerita diunggah dari saksi hidup (witness). Tak banyak gaya penceritaan yang dipakai Alberthiene Endah. Back tracking (kilas balik yang superpanjang) menjadi andalannya. Bisa dikulik, berkat pamer alur genial ini jua novel Alberthiene bernyawa ganda.
Novel ini segaya cerita berbingkai. Bingkai utamanya sepasang tokoh suami-istri (Wim Gondowijoyo dan Liliawati). Mereka beradab etnis Tionghoa. Mereka mendamparkan diri di ICU, Glen Eagles, Singapura (hlm. 11). Berakhir maut, tamat di ruang khusus RS Bethesda, Yogyakarta. Liliawati koma karena sirosis (pengerasan hati) akut. Wim berjaga hingga Lili menutup mata selamanya (hlm. 407).
Dalam bingkai utama inilah protagonis Wim memuntir memori. Bak pendekar kehidupan, Wim gaduh bertarung melawan kerasnya kehidupan, bengisnya tabiat setiap umat yang mengaku punya iman. Wim dibesarkan dalam keluarga serbamiskin di Sidoarjo. Wim sulung yang beradik Tiong, John, dan Silvi. Ibunya bakul rengginang. Ayahnya sopir oplet. Prinsip hidupnya, biarlah orang tua supermiskin, tetapi anak-anak wajib menjadi orang sukses. Dengan jibaku gencetan fulus, Wim dan ketiga adiknya nekat menggelandang ke sekolah favorit (Yogyakarta-Malang-Surabaya). Hingga mengantarnya meraih tampuk jabatan dan kerja.
Wim menjadi petarung tangguh karena ditempa bengisnya hidup. Kuliah bertualang di UGM dan Atmajaya. Wim rela makelaran rongsok demi menyambung hidup. Wim berani menikahi Liliawati dengan modal nyali cinta tulus dan iman mendalam. Sungguh, kuasa cinta dan iman ini mendewasakan keluarga Wim-Lili dalam kerja (hlm. 265). Sembari kuliah Wim menjadi asisten dosen dan memangku jabatan di bagian administrasi rektorat. Hebatnya, Wim tetap makelaran rongsok. Bolehlah mental kere, tetapi nyali bos.
Lili menjadi pendoa ulung, pelayan umat, penderma, jago kuliner, setia mendampingi Wim. Wim sukses. Wim mampu mendirikan usaha cetak CV Andi Offset yang merekrut ratusan karyawan. Wim pun mampu mendirikan Hotel Phoenix di pusaran Malioboro. Sukses materi ini disyukuri Wim dengan mendirikan rumah doa Imelda di kawasan Kaliurang. Sukses Wim-Lili diiringi titipan Allah dengan empat anak (Andi, Yesky, Sheila, Joseph). Keempat anak ini mewarisi lumuran darah sukses orang tua.
Di balik sukses keluarga Wim-Lili, muncullah badai menghajar. Krisis moneter yang melanda tahun 1997/1998 menjadi titik balik. Zero point return. Wim terjerat piutang. Wim dihujat rekanan kerja, karyawan, bahkan karib seiman. Wim tandas. Telak terjungkal. Nyaris tak bermartabat. Benar-benar Wim sakaratul maut. Terpaksa, Wim menjual aset vital, hotel Phoenix, demi kepul asa hidup baru.
Menuai Amalan
Kini kembali Wim merangkaki hidup. Hidup dari nol dan kudu mengais rongsokan lagi. Namun, Tuhan berkarya. Usaha percetakan-mini memulihkan luka hidup Wim. Andi-mini semakin membubung besar menjadi CV Andi hingga unjuk gigi menjadi Andi Offset, hotel di Kaliurang hidup, rumah doa Imelda berkumandang. Tuhan memberkati.
Saat indah mengepung inilah, sirosis (gangguan karena pengerutan/pengerasan hati) Lili kambuh. Lili ambruk. Lili akut. Lili koma.
Novel ini juga mengisahkan mukjizat Allah. Sirosis Lili yang sudah stadium empat, pernah sembuh total karena kuasa cinta, doa, iman, dan harapan (hlm. 250). Tetapi, suratan takdir harus diterima. Lili menutup mata selamanya ketika keluarga dan anak-anak telah mampu mensyukuri anugerah-Nya. Benar-benar Wim-Lili menjadi pendekar kehidupan. Keluarga petarung pun petualang cinta yang menggelinding humanistis, penuh iman, saleh, dan teberkati Allah.
“Banyak godaan dan ujian mengelilingi kita. Kita harus bertarung mempertahankan diri untuk berada dalam nilai-nilai baik dan berjalan dengan kebenaran. Itulah kunci kemenangan hidup manusia. Dunia ini pertarungan.” (hlm. 301)
Secara tidak langsung, tetapi justru tersurat bahwa novel tebal ini seakan menjadi primbon pembaca untuk meraih sukses manakala menggauli bisnis. Kaya harta, kaya hati, kaya iman yang bertumbuh untuk melayani sesama tanpa pandang bulu melampaui ras, suku bangsa, dan agama yang sekadar baju rombeng belaka. Sebagai karakter tilik diri, begitukah amalan cinta platonis? Seronokkah kini jika aku tetap menagih filmisasinya pada 2022 ini? Sebab cinta adalah passion pasar keabadian semua insan. *
(hdr)