Mengapa Indonesia Dijajah Sangat Lama oleh Belanda?

Rabu, 12 Januari 2022 - 15:36 WIB
loading...
Mengapa Indonesia Dijajah Sangat Lama oleh Belanda?
Bangsa Indonesia pernah dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya merdeka dari belenggu penjajahan pada 1945. Dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku sekolah, bangsa Indonesia pernah dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda.

Penjelajah Belanda pertama kali menyentuh Nusantara pada 1596. Sebuah artikel bertajuk 'Sejarah Pemahaman 350 Tahun Indonesia Dijajah Belanda' menyebut bahwa Cornelis de Houtman adalah orang yang memimpin warga Belanda dan berhasil berlabuh di pelabuhan Banten. Tak terima wilayahnya didatangi orang asing, masyarakat Banten melakukan perlawanan, hingga akhirnya de Houtman pergi. Bangsa kulit putih itu dinilai arogan dan kerap melakukan perbuatan kasar.

Sekitar 3 tahun berselang, bangsa Belanda kembali ke Nusantara. Kali ini di bawah komando Wybrecht Van Waerwyck dan Jacob Van Neck. Mereka tiba di kepulauan Maluku. Banyak pihak beranggapan bahwa pelayaran mereka sukses. Hal itulah yang kemudian mengundang kapal-kapal negara lain untuk berlayar ke Nusantara dan menyasar rempah-rempah yang ada di sini.



Banyaknya jumlah pedagang dan pendatang Eropa ke Nusantara membuat persaingan kian memanas. Pedagang Belanda harus bersaing dengan saudagar dari negara lain, seperti Portugis, Inggris, dan Spanyol. Demi mengatasi persaingan itu dan mempertahankan hegemoni atau dominasi ekonomi Belanda di Nusantara, dibentuklah sebuah serikat dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur pada 20 Maret 1602.

Dalam buku 'Indonesia: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme' karya Aman, ide pembentukan VOC ini datang dari Johan van Oldebarnevelt, seorang anggota Parlemen Belanda. Ia berpandangan, perusahaan-perusahaan dagang Belanda harus dimerger atau digabung di bawah 1 bendera, yakni VOC. Dalam Oktorooi atau Piagam yang disahkan saat VOC berdiri, ada 2 jenis hak yang dimiliki organisasi ini, yaitu hak monopoli dan hak kedaulatan.

Pemimpin VOC pertama, Pieter Both, memutuskan Ambon sebagai markas awal VOC kala itu. Kantor pusat VOC kemudian dipindahkah ke Jayakarta (kini Jakarta) karena Pulau Jawa jauh dianggap lebih strategis sebagai lalu lintas perdagangan.

Baca juga: Perang Diponegoro: 200.000 Jiwa Penduduk Jawa Tewas Lawan Penjajah

Perluasan ekonomi yang diimplementasikan VOC termasuk kejam. Sebab, ada beberapa strategi yang merugikan bangsa pribumi. Contohnya adalah politik adu domba jika ada sengketa di kerajaan. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Belanda sangat lama menjajah Indonesia.

Strategi politik adu domba menimbulkan berbagai isu konspirasi di ranah kerajaan. Salah satunya saat pihak VOC mendorong Ranamenggala, penguasa Banten, untuk menyingkirkan Pangeran Jayakarta. Cara ini juga digunakan di wilayah lainnya, sehingga pemerintah Belanda melalui VOC bisa menguasai wilayah-wilayah di Nusantara.

Melansir laman Arsip Nasional Republik Indonesia, VOC mendapatkan modal yang sangat melimpah untuk berkembang. VOC juga mampu unggul dibanding para pesaingnya, seperti EIC asal Inggris. Banyaknya modal yang diberikan juga membuat VOC duduk sebagai pemegang monopoli dunia dalam bidang perdagangan rempah.

Tanam Paksa, Sengsarakan Rakyat
VOC runtuh pada 1799. Organisasi dagang raksasa ini akhirnya tak sanggup menahan segala masalah dan jepitan ekonomi akibat korupsi para petingginya. Tepat 1 Januari 1800, wilayah Nusantara resmi menjadi kekuasaan Kerajaan Belanda dan bernama Hindia Belanda. Kekejaman pemerintah kolonial mulai terasa dengan mewajibkan warga pribumi melakukan tanam paksa. Sistem ini pertama kali dipraktikkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch di tahun 1830. Alasannya, pemerintah Belanda tengah mengalami krisis ekonomi usai Perang Jawa.

Melansir Jurnal Artefak berjudul 'Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870', sistem tanam paksa ini sangat memberatkan masyarakat. Sebab, 20% tanah dari setiap desa harus diperuntukkan bagi penanaman komoditas ekspor, seperti kopi dan teh. Hasil tanam itu akan dibeli oleh pemerintah Kolonial dengan harga yang sudah disepakati. Ciri khas dari sistem tanam paksa atau culturstelsel adalah kewajiban rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk in natura atau melalui hasil-hasil pertanian mereka.

Pada praktiknya, penduduk lebih banyak mencurahkan tenaganya di ladang garapan yang ditanami tanaman ekspor, sehingga tidak sempat menggarap ladangnya sendiri demi menyambung hidup. Berbagai penyimpangan atau penyalahan aturan juga dilakukan oleh pemerintah Belanda, membuat rakyat semakin sengsara.

Sistem tanam paksa juga menimbulkan fenomena kelaparan dan wabah penyakit. Angka kematian pun meningkat. Beberapa wilayah yang dilanda kelaparan adalah Cirebon, Demak, dan Grobogan. Sementara itu, busung lapar juga kian meluas.

*diolah dari berbagai sumber
• https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/about-the-voc-and-its-archives/
• ‘Sejarah Pemahaman 350 Tahun Indonesia Dijajah Belanda’ – Ulil Absiroh, dkk
• ‘Indonesia: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme’ karya Aman
• Jurnal Artefak ‘Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830 – 1870’ – Wulan Sorandika
• Jurnal Avatara ‘ Tanam Paksa Sebagai Tindakan Eksploitasi’ – Mifta Hermawati
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1539 seconds (0.1#10.140)