Perang Diponegoro: 200.000 Jiwa Penduduk Jawa Tewas Lawan Penjajah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perang Diponegoro adalah salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Nah, sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin perlawanan penjajahan di tanah Jawa.
Baca Juga: Perang Diponegoro
Baca juga: 26 Hari di Batavia, Jejak Terakhir Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa
Perang itu terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di samping itu, para petani lokal juga menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman sejak tahun 1821.
Perang ini juga merupakan perang sesama saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro alias antek Belanda. Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tanggal 6 Mei 1823 Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Akan tetapi, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Saat itu, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa. Tujuannya adalah agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Tonggak-tonggak yang dipasang Patih Danureja atas perintah Belanda untuk membuat rel kereta api pun membuat kekecewaan Pangeran Diponegoro semakin memuncak. Sebab, tonggak-tonggak yang dipasang itu melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Saat itu lah Pangeran Diponegoro kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang. Pihak istana pada Rabu 20 Juli 1825 mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.
Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo, walaupun kediamannya jatuh dan dibakar. Beliau beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan.
Hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Kemudian, Pangeran Diponegoro pindah ke sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya, Selarong. Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul dijadikan Pangeran Diponegoro sebagai basisnya.
Baca Juga: Perang Diponegoro
Baca juga: 26 Hari di Batavia, Jejak Terakhir Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa
Perang itu terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di samping itu, para petani lokal juga menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman sejak tahun 1821.
Perang ini juga merupakan perang sesama saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro alias antek Belanda. Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tanggal 6 Mei 1823 Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Akan tetapi, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Saat itu, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa. Tujuannya adalah agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Tonggak-tonggak yang dipasang Patih Danureja atas perintah Belanda untuk membuat rel kereta api pun membuat kekecewaan Pangeran Diponegoro semakin memuncak. Sebab, tonggak-tonggak yang dipasang itu melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Saat itu lah Pangeran Diponegoro kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang. Pihak istana pada Rabu 20 Juli 1825 mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.
Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo, walaupun kediamannya jatuh dan dibakar. Beliau beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan.
Hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Kemudian, Pangeran Diponegoro pindah ke sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya, Selarong. Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul dijadikan Pangeran Diponegoro sebagai basisnya.