OTT Wali Kota Bekasi Sebuah Ironi Pemberantasan Korupsi? Baca News RCTI+

Selasa, 11 Januari 2022 - 12:02 WIB
loading...
OTT Wali Kota Bekasi Sebuah Ironi Pemberantasan Korupsi? Baca News RCTI+
OTT Wali Kota Bekasi Sebuah Ironi Pemberantasan Korupsi? Baca News RCTI+
A A A
JAKARTA - Penangkapan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bisa dikatakan sebuah ironi pemberantasan korupsi. Meski sudah ratusan kepala daerah masuk ke penjara, namun tetap saja ada yang masih berani korupsi. Adakah yang salah dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? Simak berita-berita kasus korupsi di News RCTI+ yang akan terus mengupdate upaya pemberantasan kasus korupsi termasuk kasus yang melibatkan Wali Kota Bekasi tersebut.

Tahun 2022, KPK mengawalinya dengan membuat gebrakan. Secara mengejutkan, Lembaga anti rasuah tersebut menangkap tangan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada Rabu (5/1/2022). Dia ditangkap atas kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemkot Bekasi.

Rahmat Effendi tak ditangkap sendirian. Selama Operasi Tangkap tangan (OTT) KPK pada 5 dan 6 Januari tersebut, ada 14 orang yang diamankan petugas. Namun setelah diperiksa, sembilan di antaranya ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan.

Peran mereka dibagi dua, yang memberi dan penerima suap. Yang menjadi tersangka sebagai pemberi yakni Direktur PT MAM Energindo Ali Amril (AA), swasta Lai Bui Min alias Anen (LBM), Direktur PT Kota Bintang Rayatri dan PT Hanaveri Sentosa Suryadi (SY), dan Camat Rawalumbu Makhfud Saifudin (MS). Adapun, sebagai penerima yakni Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi (RE), Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi M Bunyamin (MB), Mulyadi alias Bayong Lurah Kati Sari, Camat Jatisampurna Wahyudin (WY), dan Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertahanan Kota Bekasi Jumhana Lutfi (JL). Dalam OTT tersebut, disita uang dengan total Rp5 miliar. Sebanyak Rp3 miliar dalam bentuk tunai, sedangkan Rp2 miliar dalam rekening bank.



KPK terus mengembangkan kasus tersebut termasuk melakukan penggeledahan di sejumlah tempat yang diduga terkait dengan kejahatan mereka. Petugas KPK juga bertekad untuk menyelidiki keterllibatan pihak lain termasuk DPRD dalam kasus dugaan korupsi miliaran rupiah tersebut.

Penangkapan kepala daerah atau para pejabat bukan suatu hal yang mengagetkan publik. Karena hampir setiap bulan ada satu atau lebih pejabat yang terkena OTT. Data KPK menyebut sejak tahun 2004 hingga 2021, ada sekitar 1.921 kasus korupsi yang ditangani lembaga antirasuah ini. Dari total ribuan jumlah kasus korupsi tersebut, 150 orang tersangkanya melibatkan kepala daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota.

Data di atas menunjukkan betapa mengkhawatirkannya negara ini. Para pejabat termasuk kepala daerah sangat rentan terjerat kasus korupsi. Apa yang menyebabkan para kepala daerah rentan terjerat korupsi? Apakah kampanye antikorupsi kurang dilakukan? Apakah hukuman yang diterima para koruptor sangat rendah sehingga mereka berani korupsi? Apakah korupsi sudah menjadi budaya yang sulit dihindari? Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas sekaligus bisa menjadi jawaban faktor masih maraknya korupsi di negara ini.

Penangkapan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi merupakan sebuah ironi bagi pemberantasan korupsi di negara ini. Betapa tidak, sudah banyak upaya yang dilakukan baik pencegahan maupun penindakan namun korupsi tetap saja tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan. Para petinggi KPK maupun penegak hukum lain juga sudah tidak henti-hentinya memperingatkan para kepala daerah maupun para pejabat lain untuk tidak terjerumus dalam konspirasi merampok uang rakyat. Meski begitu, tetap saja masih banyak kepala daerah maupun pejabat negara lain yang nekat menggarong uang rakyat.

Banyak faktor yang mendasari para pejabat termasuk kepala daerah masih berani korupsi meski sudah banyak pejabat yang kariernya berakhir tragis di penjara. Salah satu faktor yang paling utama adalah ringannya hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap para koruptor. Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa rata-rata hukuman para koruptor pada 2020 baik di tingkat pengadilan tipikor, pengadilan tinggi (banding) maupun Mahkamah Agung (kasasi atau Peninjauan kembali/PK) sekitar 3 tahun penjara. Hukuman yang super ringan bagi koruptor yang telah memberikan kerusakan dahsyat bagi negara ini. Faktor lainnya mulai gaya hidup yang hedonis, ketamakan seorang pejabat, sikap masyarakat yang permisif terhadap perilaku korupsi, hingga sistem politik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1679 seconds (0.1#10.140)