Perilaku Hakim Agung Paling Banyak Dilaporkan ke Komisi Yudisial

Rabu, 10 Juni 2020 - 17:00 WIB
loading...
Perilaku Hakim Agung...
Gedung Mahkamah Agung. FOTO: SINDOnews
A A A
JAKARTA - Bagi orang beriman bala Covid-19 kerap dimaknai sebagai teguran dari Tuhan untuk introspeksi diri. Yang biasa berkata bohong, berupaya untuk berbicara jujur, yang suka curang dalam berbisnis berusaha berdagang tanpa manipulasi, yang sering meninggalkan ibadah menjadi lebih rajin bersujud memohon ampun.

Bagaimana dengan dunia peradilan kita? Di tengah hiruk-pikuk penangkapan dan penyidikan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang dituding menerima suap Rp 46 miliar dari PT Multicon Indrajaya Terminal, Rabu ini (10/5) Komisi Yudisial (KY) meluncurkan paparan tentang Laporan Pengaduan Masyarakat.

KY selaku Lembaga Tinggi Negara yang bertugas mengawasi perilaku hakim menyampaikan sepanjang 2 Januari -31 Mei 2020 menerima 562 laporan. Ini berarti dalam tempo satu bulan, sejak akhir April, ada peningkatan sebanyak 88 pengaduan.

Di acara diskusi daring dalam rangka peluncuran buku berjudul “Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial” karya Anggota KY Farid Wajdi, terungkap bahwa laporan masyarakat ke KY dari tahun ke tahun tidak ada penurunan. “Laporan masyarakat ke KY masih sangat tinggi,” sahut Ketua KY Jaja Ahmad Jayus.

Diperkirakan hingga enam bulan ke depan jumlah laporan masyarakat yang masuk mencapai 1.600 pengaduan. “Artinya walaupun KY telah melakukan tindakan pencegahan ternyata laporan masyarakat ke KY masih tinggi terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim,” ujarnya.

Lantas lembaga peradilan apa yang paling banyak mendapat komplain masyarakat? Berdasarkan data tersebut, Peradilan Umum menempati peringkat pertama dengan 394 laporan.

Diikuti Pengadilan Agama (46 laporan), Mahkamah Agung (33), PTUN (26), Tipikor (24). Menyusul di belakangnya Pengadilan Niaga 14 laporan, Peradilan Hubungan Industrial (12), Peradilan Militer (1). Mahkamah Konstitusi dan Peradilan HAM bersih dari laporan.

Betul, Lembaga Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadialan Tinggi) paling banyak diadukan. Tapi itu tersebar di seluruh kota besar dan kabupaten seluruh Indonesia. Demikian halnya PTUN, Pengadilan Agama, PHI, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Niaga, Pengadilan Militer.

Kesimpulannya? Ini yang membuat miris. Sebagai benteng peradilan terakhir, Mahkamah Agung (MA) rupanya mencatatkan diri sebagai pemegang rekor terbanyak. Berkedudukan di ibu kota, sebagai lembaga tinggi negara jumlah 33 laporan tentu menempatkannya sebagai peringkat pertama pihak terlapor.

Fakta itu seiring dengan laporan KY yang menunjukkan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan pengaduan terbanyak, yakni 112 pengaduan. Peringkat kedua hingga keempat, masing-masing ditempati oleh Jawa Timur (60 laporan), Jawa Tengah (54) dan Jawa Barat (42).

Akhir-akhir ini MA memang menjadi sorotan masyarakat. Betapa tidak? Nyaris semua terpidana korupsi yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) mendapat diskon hukuman dari MA. Sebelumnya para terpidana lebih memilih menerima hukuman yang dijatuhkan hakim di pengadilan tipikor. Mereka khawatir jika mengajukan upaya hukum hingga kasasi, sanksinya akan ditambah oleh MA.

Tapi efek jera itu hanya berlaku sementara. Begitu hakim “killer” Artidjo Alkostar pensiun pada Mei 2018, satu per satu terpidana koruptor mengajukan upaya hukum luar biasa tersebut ke MA. Bingo…mereka mendapat korting hukuman.

Sebelum mengulas siapa saja terpidana koruptor yang mendapat korting hukuman, inilah orang-orang yang masuk dalam daftar keganasan Artidjo. Pertama adalah mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Di pengadilan tipikor ia divonis 8 tahun penjara, namun MA menambah hukumannnya menjadi 18 tahun penjara.

Berikutnya, Iskandar Rasyid, bendahara pembebasan lahan proyek double-double track (DDT) Manggarai-Cikarang, yang semula dihukum 6 tahun ditambah menjadi 15 tahun.

Selanjutnya ada Akil Mohtar. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini gagal mengoreksi hukuman seumur hidupnya di tingkat kasasi. Lantas Angelina Sondakh, mantan anggota DPR, dari 4,5 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara.

Diikuti oleh Luthfi Hasan Ishaq, mantan Ketua Umum DPP PKS, hukuman 16 tahunnya diperberat jadi 18 tahun. Dan mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo dari 10 tahun menjadi 18 tahun. Selain nama-nama itu masih ada beberapa nama lagi yang upaya hukumnya mentok di tangan Artidjo.

Adapun yang menangguk berkah dari lengsernya Artidjo, antara lain, mantan Sekjen Golkar dan Menteri Sosial Idrus Marham yang hukumannnya dipotong satu tahun dari sebelumnya yang tiga tahun penjara.

Lalu mantan Ketua DPD Irman Gusman, hanya perlu menjalani hukuman tiga tahun dari sanksi di pengadilan tingkat pertama, 4 tahun 6 bulan. Akan halnya Patrialis Akbar, mantan hakim MK dikurangi satu tahun dari 8 tahun penjara. Yang cukup banyak pemangkasannnya adalah bekas anggota DPRD DKI Muhamad Sanusi, dari 10 tahun menjadi 7 tahun.

Pengacara Lucas yang membantu Presiden Komisiras Lippo Group kabur dari Indonesia juga sukses memanfaatkan celah yang disediakan MA. Mendapat hukuman tujuh tahun penjara, yang lantas didiskon dua tahun di tingkat banding, ia dihadiahi potongan di tingkat kasasi, sehigga sanksi bagi dia hanya tiga tahun penjara.

Istimewanya dia mendapat jalur super cepat. Ia divonis Pengadilan Tipikor pada Maret 2019, dan pada Desember tahun yang sama meraih hadiah natal dan tahun baru dari MA.

Nah, apakah di antara pengaduan masyarakat tadi ada yang berhubungan dengan banjir diskon hukuman di MA? Anggota KY Farid Wajdi yang dihubungi SINDOnews mengakui pihaknya banyak menerima pengaduan mengenai PK.

Kendati begitu ia menyatakan pihaknya tidak bisa menilai upaya hukum luar biasa itu. Alasannnya,”Karena ini sudah menyangkut substansi dan pertimbangan hukum.” Dan itu sudah menyangkut kemandirian hakim. “KY itu fokus ke perilaku hakim saja, umpamanya dalam proses persidangan PK ada pihak yang bertemu dengan hakim, itu yang kami bidik.”

Lantas apa ada perilaku menyimpang yang dilakukan hakim agung dalam menangani PK? Farid menolak untuk menjawab secara tegas. Ia hanya menyatakan pihaknya telah menjatuhkan sanksi ringan, sedang dan berat untuk beberapa hakim hakim agung. ”Mereka kan manusia biasa juga.” Siapa saja? Sayang ia enggan membeberkan. “Ada, cuma enggak boleh dibuka,” ujarnya

Yang pasti, ia mengungkapkan, dari laporan yang masuk dan sampai tahapan persidangan oleh KY sepanjang Januari-April 2020, yang terbukti kurang lebih 25 persen.

Kiprah hakim agung memang pantas dipelototi. Masyarakat tentu belum lupa dengan putusan PK yang diberikan MA bagi terpidana korupsi Sujiono Timan. Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang dinilai telah merugikan negara sebesar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 juta divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jaksa lantas mengajukan kasasi. MA mengabulkan permohonan Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta dan membayar uang pengganti sebanyak Rp 369 miliar kepada Sudjiono.

Saat vonis MA dijatuhkan, Sujiono sudah tak ada di Indonesia. Namun, dari persembunyiannnya, Sudjiono diam-diam mengajukan PK pada 2012. Majelis PK yang diketuai Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta dua hakim ad hoc Tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif, mengabulkan PK Sudjiono. Perkara diketok pada 31 Juli 2013.
(rza)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2712 seconds (0.1#10.140)