Menyoal Karantina 14 Hari

Kamis, 30 Desember 2021 - 07:16 WIB
loading...
Menyoal Karantina 14...
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah

BAGI pendatang dari luar negeri, masuk ke Indonesia kini tidak mudah. Pemerintah memberlakukan program karantina. Setiap pendatang wajib menjalani karantina, baik di hotel atau pada fasilitas yang disediakan pemerintah. Karantina hotel jelas berbayar dan harganya cukup mahal. Sedangkan pada fasilitas pemerintah sifatnya gratis. Meski demikian, tidak semua pendatang bisa mendapat akses gratis ini. Ada syarat dan ketentuan tertentu.

Lama karantina bervariasi. Saat ini 10 hari bagi semua warga negara Indonesia (WNI) pendatang. Khusus WNI dari beberapa negara Afrika, lamanya 14 hari. Lama karantina ini berlaku universal. Pendatang dari negara mana saja dipukul rata 10 hari. Tidak ada perbedaan apakah pendatang berasal dari negara risiko tinggi atau risiko rendah. Hal baru, pemerintah mewacanakan akan memperpanjang masa karantina menjadi 14 hari bagi semua pendatang. Alasannya, mencegah masuknya varian baru Omicron. Rencana ini tentu saja menimbulkan kegalauan diaspora.

Karantina
Karantina berasal dari kata quaranta gioni yang artinya 40 hari. Pada abad ke-14, sebuah wabah besar melanda Eropa. Di sebuah kota Eropa bernama Dubrovniv diberlakukan aturan bahwa kapal laut yang akan masuk ke Dubrovniv tidak bisa langsung berlabuh. Kapal harus membuang jangkar di luar pelabuhan dan menunggu 40 hari sebelum dibolehkan berlabuh. Penumpangnya harus tetap berdiam di kapal. Dalam periode 40 hari dilakukan observasi terhadap penumpang, apakah ada yang sakit atau memiliki gejala. Bila tidak, barulah mereka bisa diizinkan masuk ke Dubrovniv.

Secara sederhana, karantina artinya membatasi pergerakan orang yang tampak sehat selama periode tertentu. Tujuannya, untuk melacak penderita sekaligus memproteksi masyarakat. Masa karantina digunakan untuk menunggu apakah dalam periode tersebut orang menjadi bergejala, sakit atau tesnya positif. Dalam ilmu penyakit infeksi, ketika seseorang terekspos kuman, gejala atau keluhannya tidak langsung muncul. Pemeriksaan laboratoriumnya pun tidak serta merta menjadi positif. Butuh waktu. Masa antara seseorang terekspos kuman dengan munculnya keluhan dikenal sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi ini lamanya bervariasi bagi tiap penyakit; dari beberapa hari hingga beberapa minggu. Intinya, tujuan karantina adalah menunggu munculnya manifestasi klinis.

Masa inkubasi Covid-19 berkisar 5-6 hari. Artinya, setelah seseorang terkontaminasi Covid-19, gejala atan tanda klinisnya baru muncul setelah 5-6 hari. Demikian pula hasil tesnya. Sejumlah studi melaporkan kebanyakan penderita melaporkan gejala atau terdeteksi positif dalam 5 hari. Sebagian lainnya terdeteksi dalam 10 hari. Jadi, rentangnya 5-10 hari. Ini menjadi alasan mengapa banyak autoritas dan institusi menjadikan batasan karantina 10 hari. Sebagian ahli beropini tambahan 4 hari diperlukan agar karantina menjadi sangat optimal. Kasarnya, karantina 14 hari merupakan karantina maksimal yang selayaknya ditujukan kepada kondisi yang benar-benar krusial.

Karantina 14 hari
Omicron adalah sebuah varian yang baru-baru diidentifikasi di Afrika Selatan. Dengan cepat varian ini menyebar ke berbagai negara Afrika. Karena varian ini muncul dan menyebar di negara-negara Afrika maka tindakan pemerintah Indonesia melarang warga negara Afrika masuk ke Indonesia serta memberlakukan karantina 14 hari bagi WNI dari Afrika merupakan tindakan tepat. Ini merupakan early and effective protection.

Namun, ketika pemerintah ingin memberlakukan karantina 14 hari secara merata kepada semua WNI yang akan masuk ke Indonesia, kebijaksanaan ini perlu ditelisik ulang.

Pertama, risiko penyebaran Omicron dari setiap negara berbeda. Pada sebagian negara, seperti Amerika dan Inggris, Omicron sudah menyebar cepat. Karenanya, orang yang berasal dari negara-negara ini patut dianggap berpotensi menyebarkan Omicron. Pada sebagian negara lain, kasus Omicron belum terdeteksi. Artinya, saat ini risikonya masih kecil. Dengan perbedaan tingkat risiko tiap negara ini, terlalu naif bila pemerintah hendak memberlakukan aturan universal karantina 14 hari. Apalagi tiap negara memiliki kualitas penatalaksanaan pandemi yang berbeda. Sebagian melakukan penatalaksanaan sangat baik; jumlah kasus dan kematiannya sangat berkurang, positive rate sangat rendah dan cakupan vaksinasi sangat tinggi. Sebagian lagi masih tertatih-tatih dengan kualitas pelayanan yang rendah; jumlah kasus dan kematiannya sangat tinggi, positive rate masih tinggi dan cakupan vaksinasi rendah.

Perbedaan kualitas penatalaksanaan ini seharusnya menjadi indikator penting penentuan durasi karantina. Negara-negara yang kualitas penatalaksanaannya sangat baik selayaknya dikategorikan sebagai negara risiko rendah (green list countries), sedangkan yang penatalaksanaannya sedang atau buruk masing-masing dikategorikan sebagai negara risiko sedang (yellow countries) dan risiko tinggi (red list countries). Perlakuan dan durasi karantina selayaknya berbeda bagi setiap kategori ini. Pendatang dari green list countries durasi karantinanya mesti lebih rendah dan minimal dibanding pendatang dari red list countries. Kenyataannya, banyak negara di dunia memang menggunakan sistem pengategorian (risk stratification and categorization) saat menentukan tipe dan durasi karantina. Di Qatar saat ini, pendatang dari green and yellow risk countries tidak perlu menjalani karantina. Namun yang dari red list countries harus menjalani karantina yang durasinya berbeda tergantung risiko transmisi tiap negara. Sebagian hanya dua hari dan sebagian lagi tujuh hari.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1180 seconds (0.1#10.140)