Diaspora NU?
loading...
A
A
A
Ali Usman
Dosen, Aktivis NU, dan Pengurus Lakpesdam PWNU DIY
ERA Reformasi 1998 memberi angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah ijtimaiyah). Setelah cukup lama “disekap” dalam belenggu diskriminasi oleh rezim Orde Baru yang membatasi dan melakukan penekanan kepada ruang gerak NU, kini pasca-Reformasi, situasi itu kembali normal sebagai bagian dari kelompok sipil (civil society) di alam demokrasi.
Kader-kader NU yang umumnya dari kalangan santri, kini, meminjam istilah Ahmad Baso (2006) mengubah situasi, dari sebelumnya sebagai objek (korban), kini telah menjadi subjek (pelaku) yang aktif menentukan nasibnya sendiri; dalam istilah gramatika bahasa Arab (nahwu), dari maf’ul bih (objek) menjadi fa’il (pelaku).
Kenyataan tersebut menunjukkan adanya “diaspora NU”, yaitu keterlibatan aktif kader NU di berbagai bidang, menjadi bagian dari ruh dan denyut nadi kehidupan bangsa. Di mana-mana, selalu ada NU, baik kader maupun pemahaman keagamaanya yang moderat (washatiyah).
Karena itu, jika dipetakan ke dalam sub-bidang, terdapat beberapa hal yang telah dilakukan oleh (kader-kader) NU, namun di saat bersamaan juga perlu dievaluasi, bahkan dikritik secara konstruktif. Pertama, bidang politik. Sejak awal berdiri, NU berkomitmen sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik, meski dalam episode tertentu pada pemilihan umum (pemilu) pertama 1955, NU berakrobat menjadi partai politik, tetapi kemudian dinormalkan kembali melalui deklarasi Khittah 1984.
Artinya, NU secara organisastoris meninggalkan aktivitas politik praktis, tetapi secara kultural memberi kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi di partai politik mana pun. Sebab bagi NU, aktivitas politik praktis tidak bisa ditinggalkan secara ekstrem. Justru sebaliknya, politik menjadi penopang laju perkembangan NU sebagai jam’iyah, sehingga atas kesadaran ini, tidak heran banyak kader NU yang menduduki posisi strategis di partai politik maupun pejabat pemerintahan.
Meski demikian, keberhasilan—kalau boleh dikatakan begitu—NU di ruang politik bukan tanpa kritik, dan kerenanya sekali lagi, perlu refleksi dan dievaluasi. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, misalnya, terdapat banyak kader NU yang dipercaya menjadi menteri dan pejabat teras atas. Begitu pula dengan posisi KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, mendampingi Presiden Joko Widodo di periode kedua, adakah signifikasinya untuk NU?
Membangun Sinergisitas
Kedua, bidang pendidikan. Perkembangan pendidikan NU, baik pesantren maupun lembaga pendidikan yang berjenjang formal, tidak dapat dimungkiri, memang mengalami kemajuan pesat. Kampus-kampus NU di banyak daerah tumbuh berkembang, meski juga perlu memikirkankan kesiapan sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar, karyawan/staf administrasi (tenaga pendidikan), fasilitas gedung, serta bagaimana agar menarik minat peserta didik/mahasiswa untuk menimba ilmu di kampus NU.
Begitu pula dengan persebaran kaum intelektual-akademisi yang berlatarbelakang NU. Di antara mereka telah banyak yang bergelar doktor hingga profesor di bidang masing-masing, baik lulusan perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, sehingga meskipun tidak secara langsung ikut membesarkan kampus NU, namun dipandang dari kacamata warga nahdliyin, turut bangga. Lalu, bagaimana cara mengembangkan serta membangun sinergisitas antara SDM yang mumpuni itu dengan lembaga pendidikan yang dimiliki NU?
Ketiga, bidang ekonomi. Di negara-negara maju, seperti Indonesia, persoalan ekonomi selalu menjadi prioritas untuk mewujudkan apa yang lazim disebut kesejahteraan dan kemakmuran. Upaya untuk merealisasikan ini ditentukan di antaranya faktor pemegang otoritas setingkat menteri, misalnya.
Dalam konteks itu, di mana posisi NU? Sementara di hampir semua kelas sosial, apalagi kelas paling bawah, basis massa NU sangat dominan. Pada bidang ini, kader NU tidak terlalu terlihat di publik, sebab mungkin, memang jarang yang ahli ekonomi, yang ada justru orang-orang yang membutuhkan pertolongan ekonomi.
Keempat, bidang dakwah dan pemikiran keislaman. Kader-kader NU sering menjadi aktor penting dalam aktivitas keseharian. Di era milenial yang menuntut seseorang untuk akrab dengan teknologi, NU justru hadir dan menunjukkan ketidakcanggungan beradaptasi dengan mesin sebagai penanda modernitas dan globalisasi. Yang menggerakkan umumnya adalah anak-anak muda yang memiliki keahlian di bidang teknologi, dan wawasan keagamaan serta kebangsaan.
Aktor-aktor “pendakwah” generasi milenial yang sampai sekarang masih terus eksis, seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, Gus Muwafiq, Gus Baha, Gus Miftah, Cak Kiai Kuswaidi Syafie, dan lain-lain, turut didukung oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan terus mengudara dan popluler.
Begitu pula pada dinamika pemikiran keislaman, yang sebenarnya mulai tampak sejak awal 2000, wacana keislaman itu sesungguhnya dipepolori oleh generasi muda NU. Situasi ini terus berlanjut hingga sekarang.
Selamat menunaikan hajat Muktamar NU ke-34, di Lampung.
Dosen, Aktivis NU, dan Pengurus Lakpesdam PWNU DIY
ERA Reformasi 1998 memberi angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah ijtimaiyah). Setelah cukup lama “disekap” dalam belenggu diskriminasi oleh rezim Orde Baru yang membatasi dan melakukan penekanan kepada ruang gerak NU, kini pasca-Reformasi, situasi itu kembali normal sebagai bagian dari kelompok sipil (civil society) di alam demokrasi.
Kader-kader NU yang umumnya dari kalangan santri, kini, meminjam istilah Ahmad Baso (2006) mengubah situasi, dari sebelumnya sebagai objek (korban), kini telah menjadi subjek (pelaku) yang aktif menentukan nasibnya sendiri; dalam istilah gramatika bahasa Arab (nahwu), dari maf’ul bih (objek) menjadi fa’il (pelaku).
Kenyataan tersebut menunjukkan adanya “diaspora NU”, yaitu keterlibatan aktif kader NU di berbagai bidang, menjadi bagian dari ruh dan denyut nadi kehidupan bangsa. Di mana-mana, selalu ada NU, baik kader maupun pemahaman keagamaanya yang moderat (washatiyah).
Karena itu, jika dipetakan ke dalam sub-bidang, terdapat beberapa hal yang telah dilakukan oleh (kader-kader) NU, namun di saat bersamaan juga perlu dievaluasi, bahkan dikritik secara konstruktif. Pertama, bidang politik. Sejak awal berdiri, NU berkomitmen sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik, meski dalam episode tertentu pada pemilihan umum (pemilu) pertama 1955, NU berakrobat menjadi partai politik, tetapi kemudian dinormalkan kembali melalui deklarasi Khittah 1984.
Artinya, NU secara organisastoris meninggalkan aktivitas politik praktis, tetapi secara kultural memberi kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi di partai politik mana pun. Sebab bagi NU, aktivitas politik praktis tidak bisa ditinggalkan secara ekstrem. Justru sebaliknya, politik menjadi penopang laju perkembangan NU sebagai jam’iyah, sehingga atas kesadaran ini, tidak heran banyak kader NU yang menduduki posisi strategis di partai politik maupun pejabat pemerintahan.
Meski demikian, keberhasilan—kalau boleh dikatakan begitu—NU di ruang politik bukan tanpa kritik, dan kerenanya sekali lagi, perlu refleksi dan dievaluasi. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, misalnya, terdapat banyak kader NU yang dipercaya menjadi menteri dan pejabat teras atas. Begitu pula dengan posisi KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, mendampingi Presiden Joko Widodo di periode kedua, adakah signifikasinya untuk NU?
Membangun Sinergisitas
Kedua, bidang pendidikan. Perkembangan pendidikan NU, baik pesantren maupun lembaga pendidikan yang berjenjang formal, tidak dapat dimungkiri, memang mengalami kemajuan pesat. Kampus-kampus NU di banyak daerah tumbuh berkembang, meski juga perlu memikirkankan kesiapan sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar, karyawan/staf administrasi (tenaga pendidikan), fasilitas gedung, serta bagaimana agar menarik minat peserta didik/mahasiswa untuk menimba ilmu di kampus NU.
Begitu pula dengan persebaran kaum intelektual-akademisi yang berlatarbelakang NU. Di antara mereka telah banyak yang bergelar doktor hingga profesor di bidang masing-masing, baik lulusan perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, sehingga meskipun tidak secara langsung ikut membesarkan kampus NU, namun dipandang dari kacamata warga nahdliyin, turut bangga. Lalu, bagaimana cara mengembangkan serta membangun sinergisitas antara SDM yang mumpuni itu dengan lembaga pendidikan yang dimiliki NU?
Ketiga, bidang ekonomi. Di negara-negara maju, seperti Indonesia, persoalan ekonomi selalu menjadi prioritas untuk mewujudkan apa yang lazim disebut kesejahteraan dan kemakmuran. Upaya untuk merealisasikan ini ditentukan di antaranya faktor pemegang otoritas setingkat menteri, misalnya.
Dalam konteks itu, di mana posisi NU? Sementara di hampir semua kelas sosial, apalagi kelas paling bawah, basis massa NU sangat dominan. Pada bidang ini, kader NU tidak terlalu terlihat di publik, sebab mungkin, memang jarang yang ahli ekonomi, yang ada justru orang-orang yang membutuhkan pertolongan ekonomi.
Keempat, bidang dakwah dan pemikiran keislaman. Kader-kader NU sering menjadi aktor penting dalam aktivitas keseharian. Di era milenial yang menuntut seseorang untuk akrab dengan teknologi, NU justru hadir dan menunjukkan ketidakcanggungan beradaptasi dengan mesin sebagai penanda modernitas dan globalisasi. Yang menggerakkan umumnya adalah anak-anak muda yang memiliki keahlian di bidang teknologi, dan wawasan keagamaan serta kebangsaan.
Aktor-aktor “pendakwah” generasi milenial yang sampai sekarang masih terus eksis, seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, Gus Muwafiq, Gus Baha, Gus Miftah, Cak Kiai Kuswaidi Syafie, dan lain-lain, turut didukung oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan terus mengudara dan popluler.
Begitu pula pada dinamika pemikiran keislaman, yang sebenarnya mulai tampak sejak awal 2000, wacana keislaman itu sesungguhnya dipepolori oleh generasi muda NU. Situasi ini terus berlanjut hingga sekarang.
Selamat menunaikan hajat Muktamar NU ke-34, di Lampung.
(bmm)