NU dan Visi Global-Kosmopolit Gus Yahya

Selasa, 21 Desember 2021 - 14:33 WIB
loading...
NU dan Visi Global-Kosmopolit Gus Yahya
Nur Faizin Darain, Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor. Foto/Istimewa
A A A
Nur Faizin Darain
Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor

Meski sempat tarik-ulur ihwal tanggal pelaksanaan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU), akhirnya suara mufakat dicapai juga. Hajatan terbesar NU ini akan berlangsung lebih singkat daripada biasanya, yaitu antara 22–23 Desember 2021 di Lampung.

Seperti yang sudah-sudah, biasanya akan muncul beberapa nama yang siap maju sebagai calon ketua umum organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini. KH. Marzuqi Mustamar dan KH. As’ad Said Ali merupakan dua nama yang lamat-lamat terlihat mendapat dukungan. Namun hingga sekarang, yang paling nyaring terdengar mengerucut kepada dua kandidat: KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf .

Keputusan Kiai Said untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum pada periode ketiga ini sebenarnya agak mengejutkan. Sebab sebelumnya, beliau pernah memaklumatkan secara publik bahwa dirinya tidak akan maju lagi sebagai calon ketua umum karena dua hal: demi kepentingan regenerasi dan niatan fokus mengajar di pesantren.

Meski akhirnya berubah pikiran, langkah Kiai Said tidak salah. AD/ART NU memang tidak membatasi masa kepemimpinan. Keputusan beliau sudah prosedural. Namun, aspek regenerasi patut menjadi pertimbangan serius dalam muktamar sekarang. Perubahan ke arah yang lebih visioner sangat dibutuhkan oleh organisasi yang tidak lama lagi akan berusia satu abad ini.

Harus diakui, keduanya adalah kader terbaik NU. Jika pertimbangannya murni personal, barangkali muktamirin akan sangat sulit menjatuhkan pilihan, tetapi kebimbangan semacam itu dapat diperkecil dengan cara menggeser poin kriteria personal ke arah visi dan pandangan konkret mereka untuk NU ke depan. Kita sudah tahu bagaimana kepemimpinan Kiai Said selama dua periode terakhir menakhodai NU. Apa yang akan dilakukan Kiai Said tidak akan jauh dari yang telah berjalan satu dekade terakhir. Tetapi bagaimana dengan Gus Yahya?

Gus Yahya sebetulnya memiliki pandangan yang sangat visioner tentang NU. Bahkan dari saking visionernya, bisa dibilang, perspektifnya mungkin terlalu maju untuk standar zamannya. Pandangan-pandangan ini, sedikit atau banyak, pasti terilhami oleh Gus Dur. Itu tampak sekali pada judul buku terbaru A.S. Laksana, Menghidupkan Gus Dur, buku yang meminjam kacamata Gus Yahya sebagai sudut pandang.

Buku yang baru diluncurkan kemarin itu cukup menggambarkan percik-percik pemikiran Gus Yahya. Namun argumentasi solid dan sistematis Gus Yahya sesungguhnya tertuang rapi di buku yang ditulisnya sendiri, PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020). Dari buku ini kita menjadi tahu, Gus Yahya memiliki perspektif yang sama sekali baru, dan mungkin, tidak pernah terpikirkan oleh elite-elite NU lainnya.

Gus Yahya berhasil merekonstruksi akar genealogis NU dengan cara pandang yang sangat segar. Ia sampai pada kesimpulan bahwa pendirian NU tidak mungkin hanya sebatas respons terhadap naiknya Wahabi ke panggung geopilitik global. Karena jika demikian, NU telah jatuh pada liang sektarianisme yang sama dengan ideologi yang hendak dilawannya.

Faktor paling mendasar yang melatarbelakangi berdirinya NU, menurut Gus Yahya, justru adalah visi global NU untuk menjawab tantangan peradaban. Ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1924, praksis simbol politik peradaban Islam juga buyar. Wajah dunia Islam pun berubah secara total. Dan dua tahun setelah itu, NU didirikan. Sekuensi ini menyiratkan visi NU yang mau ambil bagian dalam upaya menjawab tatangan zaman.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1834 seconds (0.1#10.140)