Pencarian Online - Belanja Offline, Bagaimana Perusahaan Bersikap?
loading...
A
A
A
Noveri Maulana
Dosen PPM School of Management
PERKEMBANGAN teknologi internet di Indonesia selama satu dekade terakhir membuat perubahan perilaku konsumen dalam pola pembelian. Jika dulu offline store menjadi pilihan utama, namun sekarang sebagian konsumen cenderung memilih belanja ke online store, alasannya efisiensi waktu dan tenaga.
Perubahan perilaku ini juga diduga menjadi salah satu pemicu menurunnya omzet penjualan beberapa perusahaan retail berjaringan. Tidak hanya itu, dalam satu tahun terakhir, kita telah sama-sama menyaksikan beberapa perusahaan retail fast moving consumer goods (FMCG) turut mengurangi jumlah outlet mereka di kota-kota besar di Tanah Air. Bahkan, sebagian brand ternama itu harus gulung tikar dan angkat kaki dari Indonesia.
Lantas, apakah perusahaan harus segera beralih secara masif ke bisnis online? Sejatinya, perubahan perilaku konsumen adalah suatu hal yang memang akan terjadi. Perilaku konsumen sangat dinamis, tidak bisa dipandang dengan perspektif yang statis.
Di sinilah perusahaan diminta untuk arif dan bijak dalam menyikapi perubahan pola perilaku konsumen ini. Semakin bisa memahami konsumen, semakin baik strategi bisnis yang bisa dijalankan oleh perusahaan.
Memahami Konsep Keputusan Pembelian oleh Konsumen
Para pakar pemasaran telah mengeluarkan sebuah konsep keputusan pembelian yang disebut dengan Consumer Decision Making Process (CDMP) yang digagas oleh John Dewey sejak 1910 silam. Dalam konsep CDMP ini dijelaskan bahwa konsumen akan melewati lima tahapan ketika sebelum, saat, dan setelah proses pembelian produk.
Kelima tahapan tersebut adalah Problem Recognition, Information Search, Alternative Evaluation, Purchase, dan Post Purchase. Lantas, di bagian mana perusahaan bisa melakukan persuasi agar bisa dilirik dan dipilih oleh target konsumen? Sebagian ahli berpendapat bahwa persuasi bisa dilakukan pada semua tahapan tersebut, namun sebagian lagi berpendapat bahwa persuasi yang efektif hanya bisa dilakukan pada tiga tahapan sebelum pembelian (pre-purchase).
Jika kita telisik, pada tiga tahapan pre-purchase, pertama ialah problem recognition atau mengenali masalah. Pada tahap ini, konsumen melakukan proses identifikasi kebutuhan dan keinginan secara individu melalui proses kognisi (logika), afeksi (perasaan), dan konasi (kebiasaan) di dalam dirinya. Ada sebagian konsumen yang melalui tahap kognisi yang baik hingga menyadari ‘kebutuhan’ pada suatu produk, ada juga konsumen yang cenderung menggunakan proses afeksi hingga mengedepankan ‘keinginan’ untuk memutuskan pembelian pada suatu produk.
Sederhananya, tahapan ini mengindikasikan kepada pelaku usaha bahwa persuasi terus menerus untuk memengaruhi kognisi, afeksi, dan konasi konsumen adalah satu hal yang perlu dilakukan.
Tahap kedua ialah proses pencarian informasi atau information search. Ketika konsumen telah menyadari masalahnya dan ingin mencari solusi yang diterjemahkan menjadi kebutuhan (need) atau keinginan (wants), maka konsumen akan mulai mengumpulkan informasi mengenai produk apa yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Proses pencarian informasi ini yang menjadi peluang besar bagi pelaku usaha untuk mempromosikan brand mereka. Lantas, ketika konsumen telah memiliki alternatif produk dan brand untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka, barulah konsumen akan melakukan proses evaluasi dari seluruh alternatif produk dan brand yang ada.
Di sinilah pelaku usaha harus mampu menunjukkan keunggulan produk mereka dibanding dengan pesaing atau bisa juga disebut sebagai unique selling point (USP). Semakin baik memahami keinginan konsumen dan kondisi pesaing, maka akan semakin baik strategi pemasaran yang bisa dilakukan.
Browsing dan Information Search
Xia dan Moonroe (2005) dalam kajian literaturnya mengedepankan istilah ‘Browsing’ yang berbeda dengan ‘Information search’ yang selama ini sudah dikenal luas oleh pelaku pemasaran.
Browsing merupakan tahap di mana konsumen masih belum mengetahui secara pasti apa kebutuhan dan keinginannya, sehingga intensi untuk melakukan pencarian lebih untuk mengetahui “What’s in there?”. Sedangkan, tahap information search merupakan sebuah langkah di mana konsumen sudah mengetahui apa yang dia inginkan dan melakukan proses pencarian alternatif produk untuk dikonsumsi.
Proses browsing yang dilakukan konsumen memberikan insight baru kepada pelaku usaha untuk bisa merancang strategi pemasaran dengan lebih baik dan lebih efektif. Browsing merupakan istilah umum untuk melihat proses di mana konsumen melakukan penelusuran berbagai macam produk yang bisa saja tidak didahului dengan problem recognition yang jelas. Sehingga pada tahap ini, Xia dan Moonroe menegaskan bahwa browsing memiliki peran penting yang harus diperhatikan oleh para pemasar dan pelaku usaha.
Apakah browsing dalam perilaku konsumen sama halnya dengan aktivitas browsing di internet? Aktivitas browsing di internet merupakan salah satu cara bagi konsumen untuk browsing produk yang bisa saja akan muncul dalam problem recognition mereka di masa mendatang. Karena itu, semakin sering konsumen terpapar dengan produk Anda dalam aktivitas browsing ini, maka akan semakin besar kesempatan bagi Anda untuk diingat dan dipilih oleh konsumen.
Lalu bagaimana mungkin brand akan bisa masuk dalam radar browsing konsumen jika produknya tidak hadir secara online dalam jangkauan mesin pencarian? Di sinilah masalah lain yang harus segera dipecahkan oleh para pemasar perusahaan.
Kehadiran di dunia online bukan hanya untuk aktivitas jual beli atau transaksi semata. Kehadiran perusahan Anda di jejaring online setidaknya bisa memenuhi strategi browsing dan tahap information search yang akan dilakukan oleh target konsumen.
Oleh karena itu, di masa kemajuan teknologi internet saat ini, eksistensi perusahaan Anda di dunia online harus bisa dipastikan walau konsumen tetap belanja secara offline.
Lihat Juga: Luar Biasa, Transaksi Shopee 10.10 Brands Festival Melejit hingga 7 Kali Lipat di Shopee Mall
Dosen PPM School of Management
PERKEMBANGAN teknologi internet di Indonesia selama satu dekade terakhir membuat perubahan perilaku konsumen dalam pola pembelian. Jika dulu offline store menjadi pilihan utama, namun sekarang sebagian konsumen cenderung memilih belanja ke online store, alasannya efisiensi waktu dan tenaga.
Perubahan perilaku ini juga diduga menjadi salah satu pemicu menurunnya omzet penjualan beberapa perusahaan retail berjaringan. Tidak hanya itu, dalam satu tahun terakhir, kita telah sama-sama menyaksikan beberapa perusahaan retail fast moving consumer goods (FMCG) turut mengurangi jumlah outlet mereka di kota-kota besar di Tanah Air. Bahkan, sebagian brand ternama itu harus gulung tikar dan angkat kaki dari Indonesia.
Lantas, apakah perusahaan harus segera beralih secara masif ke bisnis online? Sejatinya, perubahan perilaku konsumen adalah suatu hal yang memang akan terjadi. Perilaku konsumen sangat dinamis, tidak bisa dipandang dengan perspektif yang statis.
Di sinilah perusahaan diminta untuk arif dan bijak dalam menyikapi perubahan pola perilaku konsumen ini. Semakin bisa memahami konsumen, semakin baik strategi bisnis yang bisa dijalankan oleh perusahaan.
Memahami Konsep Keputusan Pembelian oleh Konsumen
Para pakar pemasaran telah mengeluarkan sebuah konsep keputusan pembelian yang disebut dengan Consumer Decision Making Process (CDMP) yang digagas oleh John Dewey sejak 1910 silam. Dalam konsep CDMP ini dijelaskan bahwa konsumen akan melewati lima tahapan ketika sebelum, saat, dan setelah proses pembelian produk.
Kelima tahapan tersebut adalah Problem Recognition, Information Search, Alternative Evaluation, Purchase, dan Post Purchase. Lantas, di bagian mana perusahaan bisa melakukan persuasi agar bisa dilirik dan dipilih oleh target konsumen? Sebagian ahli berpendapat bahwa persuasi bisa dilakukan pada semua tahapan tersebut, namun sebagian lagi berpendapat bahwa persuasi yang efektif hanya bisa dilakukan pada tiga tahapan sebelum pembelian (pre-purchase).
Jika kita telisik, pada tiga tahapan pre-purchase, pertama ialah problem recognition atau mengenali masalah. Pada tahap ini, konsumen melakukan proses identifikasi kebutuhan dan keinginan secara individu melalui proses kognisi (logika), afeksi (perasaan), dan konasi (kebiasaan) di dalam dirinya. Ada sebagian konsumen yang melalui tahap kognisi yang baik hingga menyadari ‘kebutuhan’ pada suatu produk, ada juga konsumen yang cenderung menggunakan proses afeksi hingga mengedepankan ‘keinginan’ untuk memutuskan pembelian pada suatu produk.
Sederhananya, tahapan ini mengindikasikan kepada pelaku usaha bahwa persuasi terus menerus untuk memengaruhi kognisi, afeksi, dan konasi konsumen adalah satu hal yang perlu dilakukan.
Tahap kedua ialah proses pencarian informasi atau information search. Ketika konsumen telah menyadari masalahnya dan ingin mencari solusi yang diterjemahkan menjadi kebutuhan (need) atau keinginan (wants), maka konsumen akan mulai mengumpulkan informasi mengenai produk apa yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Proses pencarian informasi ini yang menjadi peluang besar bagi pelaku usaha untuk mempromosikan brand mereka. Lantas, ketika konsumen telah memiliki alternatif produk dan brand untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka, barulah konsumen akan melakukan proses evaluasi dari seluruh alternatif produk dan brand yang ada.
Di sinilah pelaku usaha harus mampu menunjukkan keunggulan produk mereka dibanding dengan pesaing atau bisa juga disebut sebagai unique selling point (USP). Semakin baik memahami keinginan konsumen dan kondisi pesaing, maka akan semakin baik strategi pemasaran yang bisa dilakukan.
Browsing dan Information Search
Xia dan Moonroe (2005) dalam kajian literaturnya mengedepankan istilah ‘Browsing’ yang berbeda dengan ‘Information search’ yang selama ini sudah dikenal luas oleh pelaku pemasaran.
Browsing merupakan tahap di mana konsumen masih belum mengetahui secara pasti apa kebutuhan dan keinginannya, sehingga intensi untuk melakukan pencarian lebih untuk mengetahui “What’s in there?”. Sedangkan, tahap information search merupakan sebuah langkah di mana konsumen sudah mengetahui apa yang dia inginkan dan melakukan proses pencarian alternatif produk untuk dikonsumsi.
Proses browsing yang dilakukan konsumen memberikan insight baru kepada pelaku usaha untuk bisa merancang strategi pemasaran dengan lebih baik dan lebih efektif. Browsing merupakan istilah umum untuk melihat proses di mana konsumen melakukan penelusuran berbagai macam produk yang bisa saja tidak didahului dengan problem recognition yang jelas. Sehingga pada tahap ini, Xia dan Moonroe menegaskan bahwa browsing memiliki peran penting yang harus diperhatikan oleh para pemasar dan pelaku usaha.
Apakah browsing dalam perilaku konsumen sama halnya dengan aktivitas browsing di internet? Aktivitas browsing di internet merupakan salah satu cara bagi konsumen untuk browsing produk yang bisa saja akan muncul dalam problem recognition mereka di masa mendatang. Karena itu, semakin sering konsumen terpapar dengan produk Anda dalam aktivitas browsing ini, maka akan semakin besar kesempatan bagi Anda untuk diingat dan dipilih oleh konsumen.
Lalu bagaimana mungkin brand akan bisa masuk dalam radar browsing konsumen jika produknya tidak hadir secara online dalam jangkauan mesin pencarian? Di sinilah masalah lain yang harus segera dipecahkan oleh para pemasar perusahaan.
Kehadiran di dunia online bukan hanya untuk aktivitas jual beli atau transaksi semata. Kehadiran perusahan Anda di jejaring online setidaknya bisa memenuhi strategi browsing dan tahap information search yang akan dilakukan oleh target konsumen.
Oleh karena itu, di masa kemajuan teknologi internet saat ini, eksistensi perusahaan Anda di dunia online harus bisa dipastikan walau konsumen tetap belanja secara offline.
Lihat Juga: Luar Biasa, Transaksi Shopee 10.10 Brands Festival Melejit hingga 7 Kali Lipat di Shopee Mall
(poe)