Belajar dari Panasnya Pilpres 2019, PAN Ingin Presidential Threshold Dihapus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Fraksi PAN DPR RI Guspardi Gaus mengkritik penerapan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya, sistem itu terkesan sebagai upaya membatasi pertarungan di pemilihan presiden (pilpres).
"(Presidential threshold) Mengarah kepada terciptanya polarisasi yang hanya menghadirkan dua paslon. Di samping itu juga dirasa tidak logis karena acuannya menggunakan patokan threshold hasil pemilu sebelumnya," kata Guspardi, Selasa (9/6/2020).
Guspardi menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, diatur mengenai ambang batas pencalonan presiden pada Pasal 222 yang berbunyi,"Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".
Jika aturan mengenai presidential threshold tidak berubah, Pilpres 2024 dimungkinkan jumlah pasangan calon yang akan diusung juga hanya dua pasang. "Hal tersebut didasari oleh hasil rekapitulasi Pileg 2019, di mana dari sembilan partai yang berhasil melampaui parliamentary threshold tidak ada satu pun yang mencapai perolehan 20%, sehingga sangat dimungkinkan setiap partai politik untuk membentuk sebuah koalisi guna mencapai presidential threshold 20% dan koalisi tersebut dimungkinkan hanya melahirkan dua pasang calon," ujar tokoh Muhammadiyah Sumbar itu. ( ).
Menurut dia, penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Akan lebih baik jika itu dihapuskan saja dan syarat yang diajukan adalah partai yang lolos ke Senayan yang memiliki hak mengajukan capres dan cawapres. Dengan semakin banyak calon di pilpres akan semakin memperbanyak pilihan bagi rakyat dalam menentukan kepala negara pilihannya ke depan.
"Rakyat punya hak untuk memilih mana calon terbaik, tidak perlu direkayasa kita harus seleksi dulu melalui ambang batas. Kalau parpol yang baru pertama kali itu tidak punya hak (mengusung calon presiden) saya kira itu cara pandang dalam demokrasi yang tidak pas," terangnya.
Guspardi menambahkan, kontestasi Pilpres 2019 seharusnya menjadi pembelajaran berharga bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat Indonesia terkotak menjadi dua kubu yang saling behadapan. Pada masa kampanye Pilpres 2019, masih terngiang betapa sengitnya suasana politik saat. Setiap kelompok masyarakat yang memiliki preferensi maupun berafiliasi dengan paslon menganggap bahwa paslon yang mereka dukung adalah paslon yang paling baik dan seharusnya dijadikan acuan publik. Kedua kubu paslon pun saling berhadapan membela paslon masing-masing.
"Akibatnya terjadi berbagai persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu sebelah. Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," urainya. ( ).
Karena itu, Guspardi menegaskan bahwa pilpres seharusnya menjadi arena kontestasi politik yang fungsinya bukan hanya untuk mencari siapa menang siapa kalah. Lebih dari itu, pemilu adalah sarana untuk melihat potensi dan kemungkinan munculnya calon-calon pemimpin bangsa alternatif. Maka, sebetulnya semakin banyak calon akan semakin baik. Tanpa ketentuan presidential threshold dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi masyarakat.
"Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa," pungkasnya.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
"(Presidential threshold) Mengarah kepada terciptanya polarisasi yang hanya menghadirkan dua paslon. Di samping itu juga dirasa tidak logis karena acuannya menggunakan patokan threshold hasil pemilu sebelumnya," kata Guspardi, Selasa (9/6/2020).
Guspardi menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, diatur mengenai ambang batas pencalonan presiden pada Pasal 222 yang berbunyi,"Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".
Jika aturan mengenai presidential threshold tidak berubah, Pilpres 2024 dimungkinkan jumlah pasangan calon yang akan diusung juga hanya dua pasang. "Hal tersebut didasari oleh hasil rekapitulasi Pileg 2019, di mana dari sembilan partai yang berhasil melampaui parliamentary threshold tidak ada satu pun yang mencapai perolehan 20%, sehingga sangat dimungkinkan setiap partai politik untuk membentuk sebuah koalisi guna mencapai presidential threshold 20% dan koalisi tersebut dimungkinkan hanya melahirkan dua pasang calon," ujar tokoh Muhammadiyah Sumbar itu. ( ).
Menurut dia, penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Akan lebih baik jika itu dihapuskan saja dan syarat yang diajukan adalah partai yang lolos ke Senayan yang memiliki hak mengajukan capres dan cawapres. Dengan semakin banyak calon di pilpres akan semakin memperbanyak pilihan bagi rakyat dalam menentukan kepala negara pilihannya ke depan.
"Rakyat punya hak untuk memilih mana calon terbaik, tidak perlu direkayasa kita harus seleksi dulu melalui ambang batas. Kalau parpol yang baru pertama kali itu tidak punya hak (mengusung calon presiden) saya kira itu cara pandang dalam demokrasi yang tidak pas," terangnya.
Guspardi menambahkan, kontestasi Pilpres 2019 seharusnya menjadi pembelajaran berharga bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat Indonesia terkotak menjadi dua kubu yang saling behadapan. Pada masa kampanye Pilpres 2019, masih terngiang betapa sengitnya suasana politik saat. Setiap kelompok masyarakat yang memiliki preferensi maupun berafiliasi dengan paslon menganggap bahwa paslon yang mereka dukung adalah paslon yang paling baik dan seharusnya dijadikan acuan publik. Kedua kubu paslon pun saling berhadapan membela paslon masing-masing.
"Akibatnya terjadi berbagai persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu sebelah. Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," urainya. ( ).
Karena itu, Guspardi menegaskan bahwa pilpres seharusnya menjadi arena kontestasi politik yang fungsinya bukan hanya untuk mencari siapa menang siapa kalah. Lebih dari itu, pemilu adalah sarana untuk melihat potensi dan kemungkinan munculnya calon-calon pemimpin bangsa alternatif. Maka, sebetulnya semakin banyak calon akan semakin baik. Tanpa ketentuan presidential threshold dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi masyarakat.
"Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa," pungkasnya.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
(zik)