Diplomasi Amerika ke Asia Tenggara

Kamis, 16 Desember 2021 - 14:56 WIB
loading...
Diplomasi Amerika ke Asia Tenggara
Andi Purwono (Ist)
A A A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan Wakil Rektor I Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang


MENTERI Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken melakukan kunjungan ke Indonesia (13-14/12) kemudian Malaysia dan Thailand. Kunjungan ke Jakarta disebut untuk kembali menegaskan Kemitraan Strategis AS-Indonesia yang kuat, serta arti penting kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Meski demikian, lawatan ke Asia Tenggara ini juga diduga sebagai bagian upaya menggalang dukungan dalam mengimbangi pengaruh Tiongkok di kawasan Asia Tenggara. Apa makna diplomasi Blinken ini dan bagaimana sikap Indonesia di tengah agresivitas Tiongkok khususnya akhir-akhir ini di kawasan?

Studi lama Sharp (1997: 612-18) menyebut diplomasi terkait dengan tiga representasi yaitu simbolik, kepentingan dan kekuasaan, serta ide seperti peramaian dan dialog. Dalam kerangka itu, kehadiran Blinken bisa dibaca sarat makna. Pertama, ia menunjukkan pergeseran kebijakan luar negeri Amerika di banding era sebelumnya. Di era Donald Trump, komitmen Amerika di kawasan ini dipertanyakan. Sebaliknya, Presiden Joe Biden terlihat ingin menegaskan kembali prioritas Asia tenggara dalam politik luar negeri Amerika.

Selain bertemu Presiden Joko Widodo dan pejabat tinggi lain, Blinken akan memaparkan visi pemerintahannya untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama dengan kawasan ini. Selain itu disampaikan strategi Indo-Pasifik Amerika dan visi Biden untuk kerangka Indo-Pasifik. Tentu hal ini menarik untuk dicermati.

Kedua, ia menunjukkan posisi strategis Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki peran kepemimpinan bersejarah di ASEAN, presiden G20, inisiator penting konsep Indo-Pasifik, dan juga negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Secara ekonomi dan politik, posisi dan potensi Indonesia juga diperhitungkan.

Oleh karena itu, kunjungan ini harus bisa dimanfaatkan sebesar- besarnya bagi kepentingan nasional khususnya. Secara bilateral, kedua negara memiliki kemitraan strategis yang mendalam dan langgeng yang didasari oleh nilai-nilai bersama, termasuk kepercayaan mendasar terhadap demokrasi. Kunjungan ini disebut sebagai tindak lanjut dari Dialog Strategis AS-Indonesia pertama yang diadakan di Washington pada Agustus 2021, pertemuan Presiden kedua negara di Glasgow pada November, serta partisipasi Presiden Jokowi dalam Summit Democracy pada bulan Desember. Artinya ini merupakan keberlanjutan (continuity) yang penting.

Berkaca pada bidang perdagangan kedua negara misalnya, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada Oktober 2021 Indonesia masih memiliki kinerja surplus sebesar USD1,7 miliar. Di bidang investasi, Amerika juga mencatat sejarah dengan masuk dalam lima besar investor asing di Indonesia. Investor asing asal Amerika Serikat menanamkan investasi di Indonesia USD509,9 juta pada kuartal III 2021, naik 83% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Di bidang hubungan antarmasyarakat, 70 tahun hubungan bilateral yang terbangun juga terus diperluas. Ada lebih dari 2.400 warga negara Indonesia dan 1.200 warga negara Amerika yang mendapatkan beasiswa Fulbright untuk belajar, mengajar, dan melakukan riset dan proyek profesional penting. Hampir 40.000 warga negara Indonesia juga menjadi anggota Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI), yang merupakan jumlah anggota terbanyak dari ASEAN lainnya. Tiap tahun, Misi AS untuk Indonesia mengirimkan hingga 200 pemimpin baru Indonesia ke Amerika Serikat untuk mengikuti beragam program pertukaran pemuda, serta sebelum pandemi ada sekitar 8.300 warga negara Indonesia yang bersekolah di AS tiap tahunnya.

Bebas Terbuka
Arti penting hubungan kedua negara juga bisa dibaca dalam kerangka kepentingan kawasan. Amerika Serikat dan Indonesia memiliki visi yang sama akan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, termasuk komitmen terhadap kebebasan navigasi dan penerbangan. Posisi ini penting misalnya mencermati agresivitas Tiongkok yang memiliki sengketa dengan banyak negara terkait Laut Tiongkok Selatan (LTS) seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam bahkan Indonesia serta Taiwan. Agresifitas Tiongkok ini tidak hanya menjadi perhatian para pemimpin ASEAN namun juga negara besar dunia termasuk Amerika, Inggris, dan Australia.

Singgungan dengan Indonesia misalnya juga terjadi pada awal 2020 dan awal Desember 2021 lalu dalam isu Natuna. Dalam kaitan itu, kemitraan strategis dengan Amerika ini tentu menjadi bagian bandul penyeimbang, agar negara agresif berfikir ulang ulang berlaku sembronoterhadap Indonesia dan kawasan. Realisme politik internasional mengajarkan bahwa untuk menghadapi negara kuat yang agresif maka diperlukan penyeimbangan kekuatan dengan peningkatan kekuatan militer atau menggalang aliansi/ kemitraan/ persekutuan. Oleh karenanya ini menjadi bagian dari topangan diplomasi yang memadai.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1584 seconds (0.1#10.140)