Refleksi Diri Akhir Tahun di Era Digital

Rabu, 15 Desember 2021 - 17:42 WIB
loading...
Refleksi Diri Akhir Tahun di Era Digital
Gunardi Endro, Ph.D., Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) Universitas Bakrie
A A A
Gunardi Endro, Ph.D.
Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) Universitas Bakrie

Sebagian besar dari kita mungkin tidak tahan untuk segera membuka media sosial setiap bangun pagi dan setiap saat ketika ada kesempatan. Seolah-olah merasa “tidak ada” tanpa klik media sosial (Hardiman 2021: Aku Klik Maka Aku Ada). Teknologi informasi dan komunikasi digital begitu mendominasi hidup kita terutama sejak pandemi Covid-19.

Memang teknologi digital membuat aktivitas kita jauh lebih efisien, serba cepat dan “dekat”, seolah-olah semua yang kita butuhkan dan inginkan ada dalam jangkauan mata kita. Namun, kecepatan dan efisiensi yang disodorkan teknologi digital bisa membuai dan menenggelamkan kita sendiri dalam kebingungan dan ketidakpastian, jika kita tidak sadar akan tujuan hidup kita.

Apakah efisiensi teknologi digital menghanyutkan dan mematahkan efektivitas hidup kita? Atau sebaliknya, apakah efisiensi teknologi digital justru meningkatkan efektivitas kita dalam upaya mencapai tujuan hidup kita? Atas pertanyaan ini, kita perlu melakukan refleksi terhadap diri kita sendiri, bagaikan berdiri di depan cermin, melihat dan melakukan evaluasi terhadap apa yang kita lakukan dan jalani selama setahun ini.

Masih efektifkah hidup kita?
Tentu setiap individu manusia punya tujuan atau cita-cita hidup, apa pun itu. Disitu kita pertama-tama perlu mengenal dan memahami diri kita sendiri, mengenal dan meninjau kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) kita, dan juga menilai keterampilan dan kepribadian seperti apa yang dibutuhkan posisi yang kita cita-citakan. Tentu saja jalan menuju cita-cita sangat tergantung kesempatan/peluang yang tersedia (opportunities) dan hal-hal yang mengancam sepanjang jalan itu (threat).

Oleh karena itu, evaluasi strategis manajerial perlu kita lakukan untuk menilai efektivitas jalur karir yang direncanakan, peningkatan keterampilan dan pengembangan kepribadian yang telah dijalani, pencarian kesempatan untuk maju, pengendalian kemajuan maupun kemunduran yang selama ini kita alami, serta kuatnya komitmen kita terhadap cita-cita tersebut. Koreksi dan rencana tindakan koreksi perlu dipertimbangkan sebagai hasil evaluasi strategis.

Sering kali kita gagal mendapatkan peluang atau mengalami hambatan gegara kita tidak begitu efektif mengembangkan jejaring hubungan saling percaya dengan pihak-pihak yang potensial mendukung jalur karir kita. Jejaring hubungan saling percaya bukanlah hubungan yang sifatnya melulu transaksional, melainkan hubungan yang sifatnya lebih dalam atau hubungan yang bermakna. Transparansi antar pihak menjadi inti dari hubungan seperti itu.

Jadi, kita perlu mengevaluasi: apakah kita sendiri cukup transparan dalam pengembangan jejaring hubungan saling percaya yang kita butuhkan untuk mendukung jalur karir kita? Mengikuti teknik Johari Window yang dikembangkan psikolog Amerika Joseph Luft dan Harrington Ingham, kita mungkin perlu memperluas lingkup keterbukaan diri, mempelajari umpan balik dari pihak lain yang tahu tentang gambaran diri kita yang kita sendiri tidak tahu, menginformasikan pihak lain tentang hal penting diri kita yang orang lain belum tahu, dan tetap menyadari kemungkinan adanya hal penting tentang diri kita yang pihak lain maupun kita sendiri tidak tahu. Sederhananya, kita perlu terus-menerus menyadari kebenaran suatu pepatah bahwa tak kenal maka tak sayang.

Dalam hal pengendalian kemajuan maupun kemunduran yang selama ini kita alami, evaluasi perlu dilakukan pada cara kita menjaga suasana mental dan juga cara kita mengatasi stres. Siapa pun pasti pernah mengalami stres, dan hal itu wajar. Kadang kala stres justru bisa menimbulkan hormon adrenalin yang bermanfaat untuk memacu orang bekerja lebih keras agar memenuhi target waktu (deadline). Namun stres yang dibiarkan berkepanjangan akan berakibat buruk bagi perkembangan mental dan imunitas tubuh. Karena itu, kita perlu mengenali tanda-tanda stres dalam diri kita, mengantisipasinya sejak awal, sehingga kita dapat mengendalikannya tanpa kehilangan fokus pada tujuan hidup kita.

Di sisi lain, ketika kita mengalami kemajuan yang menggembirakan, kita sering kali merasa terlalu optimis seolah-olah kesuksesan sudah di tangan, padahal ancaman dan hambatan bisa saja siap menghadang di sepanjang jalur karir kita lebih lanjut. Optimisme memang diperlukan untuk menguatkan komitmen kita terhadap cita-cita, tetapi kehati-hatian dan kewaspadaan selalu diperlukan agar kita tidak jatuh ke lubang jebakan. Jadi, kita tidak hanya harus menghindari rasa takut berlebihan yang menimbulkan stres berkepanjangan, tetapi juga rasa optimis berlebihan yang menjebak. Cukuplah sikap waspada, hati-hati dan optimisme yang proporsional.

Keterampilan pengendalian diri semakin urgen dibutuhkan saat ini, karena era digital semakin menuntut kita untuk mampu multi-tasking dengan target waktu yang semakin singkat. Kegagalan pencapaian target bisa cepat menjalar menjadi perasaan stres, sedangkan kesuksesan bisa cepat memicu perasaan euforia. Pengendalian diri memungkinkan kita tetap teguh berkomitmen pada cita-cita meskipun perubahan teknologi di era digital sangat pesat. Untuk menjaga efektivitas pencapaian cita-cita, kita harus terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan gerak peradaban, gerak yang didorong perkembangan pesat teknologi. Moto belajar sepanjang hayat (lifelong learning) tidak terelakkan.

Sudah siapkah kita untuk selalu belajar dan mengembangkan diri?
Di era digital saat ini, teknologi memang menjadi motor penggerak peradaban. Karena mayoritas kita memakainya, masing-masing kita mengharapkan yang lain memakainya, maka pada akhirnya kita saling menuntut pemakaiannya dalam setiap aktivitas hidup baik formal maupun informal. Bagaikan pakaian, kita harus mamakainya setiap waktu. Kita akan menolak, dan ditolak, untuk bersosialisasi jika kita telanjang. Demikian pula kita akan ditolak bersosialisasi, jika kita tidak mau mengikuti teknologi yang sudah marak dan lazim dipakai sebagai bagian dari peradaban.

Akibatnya, kita harus selalu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru, kemudian secara bertahap mengembangkan kemahiran dalam penerapannya di kehidupan praktis sehari-hari. Sikap dan pola pikir untuk terus tumbuh (the growth mindset) tidak hanya menjamin kelangsungan hidup kita tetapi juga kesuksesan hidup kita. Berdasarkan hasil penelitian yang panjang, Carol Dweck, penulis buku Mindset: The New Psychology of Success (2006), menegaskan dalam wawancaranya di HBR’s 10 Must Reads 2021: On Lifelong Learning bahwa kunci kesuksesan seseorang adalah pola pikir untuk terus tumbuh, bukan kepemilikan talenta kejeniusan tapi pola pikirnya mandek (the fixed mindset).

Seseorang yang bertalenta tapi pola pikirnya mandek sering enggan mengambil langkah lebih lanjut karena takut berisiko kegagalan yang bisa menodai reputasinya. Sedangkan seseorang yang hanya bermodal pola pikir untuk terus tumbuh, memiliki gairah dan kecintaan kuat pada proses; meskipun berkali-kali gagal namun dia selalu berusaha terus-menerus melakukan perbaikan strategis demi kesuksesan. Kecintaan pada proses, gairah, keuletan, keteguhan, ketabahan, ketangguhan, dan dedikasi untuk terus-menerus belajar dan mengembangkan diri merupakan penentu kesuksesan.

Di sini, evaluasi kesiapan kita untuk selalu mau belajar dan mengembangkan diri dapat dibagi menjadi dua, yaitu dalam pembelajaran informal dan dalam pembelajaran formal. Pada evaluasi pembelajaran informal, kita perlu meninjau seberapa jauh kita mampu memosisikan kesalahan dan kegagalan sebagai media belajar agar di kemudian hari bisa menangani lebih baik, seberapa jauh kita mampu memosisikan proses yang berisiko sebagai tantangan untuk memperluas pengetahuan dan mengasah keterampilan, dan seberapa jauh kita mampu memosisikan umpan balik kritis dari berbagai pihak sebagai bahan untuk perbaikan diri. Perbaikan dan pengembangan diri berdasarkan hasil evaluasi ini akan mengantarkan kita pada sikap dan pola pikir untuk terus tumbuh.

Pada evaluasi pembelajaran formal, kita perlu meninjau seberapa jauh konten pembelajaran terstruktur yang kita jalani memenuhi target atau selaras dengan jalur karier kita, serta apakah metode pembelajaran terstruktur tersebut sesuai dengan gaya belajar yang tepat bagi kepribadian kita. Berdasarkan empat tahap siklus pembelajaran berbasis pengalaman (four- stage experiential learning cycle) yang diungkap David Kolb (1984), Peter Honey dan Alan Mumford mengidentifikasi empat kepribadian yang masing-masing cenderung sukses pada tahap yang bersesuaian. Keempat kepribadian tersebut yaitu (1) kepribadian activist yang suka terjun langsung dalam pengalaman; (2) kepribadian reflector yang senang mengamati dan merefleksikan pengamatannya untuk mendapatkan makna komprehensif dan mendalam; (3) kepribadian theorist yang senang menganalisis fakta dan membangun konsep-konsep abstrak teoretis; dan (4) kepribadian pragmatist yang lebih suka langsung menerapkan teori dan membuktikan hasilnya. Sebagai pembelajar, kita perlu mengevaluasi apakah metode pembelajaran terstruktur yang kita jalani sudah tepat sesuai dengan gaya belajar dan kepribadian kita.

Pilihan cita-cita hidup, pilihan jalur karier untuk menggapainya, serta aktivitas dan pengendalian diri kita dalam upaya untuk menggapainya adalah tanggung jawab kita sendiri. Kita bertanggung jawab atas sukses-tidaknya semua pilihan kita, sebagaimana kita bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri. Hanya dengan sikap bertanggung jawab dan siap mempertanggungjawabkan pilihan hidup kita, kita terpacu untuk memberdayakan diri melalui pembiasaan dan pengembangan diri demi kesuksesan. Sikap seperti itu dibuktikan dengan kesiapan kita untuk membuat rencana aktivitas dan mengevaluasi pelaksanaannya dalam rentang waktu setahun yang telah Tuhan anugerahkan. Singkatnya, kita selalu siap menjalani manajemen waktu yang tepat (efektif dan efisien).

Sudah tepatkah manajemen waktu kita?
Waktu merupakan aset yang sangat berharga dalam hidup kita. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, penyesalan pasti akan muncul di kemudian hari. Namun kita sering kali terbuai oleh ilusi rasa nyaman dampak aktivitas. Sehingga, suatu pekerjaan cenderung kita selesaikan lama atau sebentar tergantung alokasi waktu yang tersedia, suatu kecenderungan natural yang disebut kaidah Parkinson (Parkinson’s law). Prinsip Pareto 80/20, prinsip ekonom Vilfredo Pareto yang mengamati pola di mana 80% output diperoleh dari 20% input, juga dapat mejelaskan bahwa produktivitas tinggi hanya timbul dari 20% aktivitas kita di sepanjang alokasi waktu itu. Oleh karena itu, kita perlu taktis mengatur pekerjaan kita. Untuk mengurangi inefisiensi dari 80% aktivitas yang tidak produktif, kita mungkin perlu mencari cara menghindar agar tidak terlibat langsung. Untuk meningkatkan efisiensi dari 20% aktivitas yang produktif, kita perlu memprioritaskan diri pada aktivitas yang paling produktif mendukung cita-cita kita.

Perkiraan waktu pada rencana aktivitas tidak boleh terlalu pesimis, seolah-olah memanjakan diri, karena menjadi tidak efisien. Sebaliknya, perkiraan waktu juga tidak boleh terlalu optimis, karena dapat menimbulkan demotivasi ketika meleset. Dalam membuat dan mengevaluasi rencana pemanfaatan waktu yang tepat, kita perlu mempertimbangkan segi prioritas untuk aktivitas yang sifatnya penting maupun untuk aktivitas yang sifatnya urgen. Mana aktivitas kita yang penting tetapi tidak urgen, dan mana yang tidak penting tetapi urgen? Efektivitas dan efisiensi setiap aktivitas perlu kita evaluasi berdasarkan skala prioritas.

Rencana aktivitas tahunan tentu harus mempertimbangkan keseimbangan hidup antara kerja dan aktivitas lain di luar kerja. Keseimbangan hidup yang terlalu didominasi kerja bisa menimbulkan masalah serius kesehatan mental, kesehatan fisik, hubungan personal dan bahkan hubungan di tempat kerja. Ironisnya, waktu untuk kerja dan waktu untuk aktivitas lain di luar kerja sulit dipisahkan di era digital saat ini terutama ketika work from home saat pandemi. Aktivitas multitasking yang mencampuadukkan kerja dan aktivitas lain sulit dihindari. Godaan pun selalu ada untuk terus-menerus 24-jam terhubung dengan media sosial. Hak untuk memutus sambungan komunikasi (right to disconnect) di waktu yang lazim untuk beristirahat pun makin sulit diperoleh. Sebagai manusia biasa, kita perlu beristirahat untuk mengonsolidasi diri, berolahraga untuk menjaga kesehatan tubuh, berlibur untuk menjaga kesehatan mental, dan bercengkerama untuk menjaga hubungan personal kekeluargaan.

Persoalan kesimbangan hidup menjadi segi terpenting yang harus kita evaluasi. Kita memang boleh dan harus memiliki cita-cita, suatu tujuan yang sungguh-sungguh kita idam-idamkan, namun pengejaran tujuan tidak boleh merusak vitalitas kita sendiri sebagai pengejar tujuan itu. Kalau tidak demikian, seluruh upaya pengejaran cita-cita menjadi tidak bermakna. Atas dasar alasan ini, manajemen waktu harus kita upayakan setepat-tepatnya dan evaluasi ketepatan manajemen waktu harus kita lakukan. Indikator ketepatan manajemen waktu adalah kebahagiaan: apakah kita berbahagia sepanjang pengejaran cita-cita kita meskipun mengalami gelombang kemajuan dan kemunduran, kesuksesan dan kegagalan? Kebahagiaan yang kita rasakan tidaklah sekedar rasa nyaman yang dinamis ketika mengejar cita-cita, tetapi juga perasaan penuh makna. Kebahagiaan juga menjadi tujuan dan alasan kita melakukan refleksi diri akhir tahun: jika tahun ini belum begitu bahagia maka tahun depan kita upayakan lebih baik lagi agar lebih berbahagia.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2194 seconds (0.1#10.140)