Membaca Tofan Mahdi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam menulis kita pasti pernah mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak ada satu kalimat pun yang bisa terangkai. Namun tidak demikian bagi Tofan Mahdi. Di kondisi apapun, mantan jurnalis yang kini menekuni praktisi kehumasan ini, sepertinya enteng saja menulis.
baca juga: Resensi Buku: Kesahajaan dan Loyalitas Tanpa Batas Marsekal Hadi Tjahjanto
Menulis sudah menjadi nafas hidup Tofan Mahdi. Itulah makanya saban waktu ia menyempatkan untuk menulis. Jika dulu, saat menjadi jurnalis ia menulis catatan di kertas atau buku kecil, yang kemudian diterbitkan di media massa (koran). Kini, di era digitalisasi ia rajin menulis di media sosial, dan sesekali di media massa tentunya. Malah, di tengah kesibukannya sebagai Kepala Komunikasi PT Astra Agro Lestari dan GAPKI, Tofan sempat-sempatnya merangkum tulisan-tulisannya di buku Pena di Atas Langit 2: Kumpulan Catatan Ringan Topan Mahdi.
Sebagai mantan jurnalis, kebanyakan tulisan Tofan Mahdi tentu dikerjakannya saat masih aktif di jurnalis. Namun selepas dari wartawan, Tofan makin rajin menulis, terutama ketika tengah bepergian dan berada dalam pesawat terbang. Itulah kenapa akhirnya bukunya diberi judul Pena di Atas Langit. “Darah wartawan pada diri Topan Mahdi membuat semua yang ia alami menjadi sesuatu yang menarik untuk ditulis. Gaya bahasa yang langsung dan apa adanya, membuat tulisan mudah dicerna,” kata Duta Besar RI untuk Singapura, Suryapratomo, dalam testimoninya di buku Pena di Atas Langit 2.
Cerminan Karakter
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia.
baca juga: Kedubes AS hingga Tiongkok Apresiasi Buku Moderasi Beragama
Menulis bebas kini sedang menjadi tren dan banyak dilakukan oleh penulis pemula. Dan sebenarnya menulis itu mudah. Pengalaman sehari-hari merupakan bahan menarik untuk menulis. Kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.
Nama Topan Mahdi memang tak setenar penulis-penulis kawakan. Makanya, dengan membaca buku Pena di Atas Langit 2, bisa sekilas mengenal dan membaca riwayat berikut karakteristik seorang Tofan Mahdi. Seseorang yang sangat tekun, teliti, pekerja keras, berselera humor tinggi, bersahabat serta sangat peduli kepada sesama terutama keluarga.
Dan membaca buku Pena di Atas Langit 2, betul-betul membuat rasa penasaran berkelindan. Bahkan setelah rampung membaca, ingin membaca ulang. Saya pribadi, karena berprofesi sebagai wartawan, sedikitnya ada dua bab dalam buku ini yang harus betul-betul saya seriusi membacanya. Dua bab itu, yakni Tantangan Komunikasi Digital (Bab 11), dan Perjalanan Menjadi Wartawan Jawa Pos (Bab 13).
baca juga: Kemenag Luncurkan Buku Moderasi Beragama dalam 3 Bahasa
Buku yang berupa bunga rampai ini juga tak ubahnya guide, bahkan bisa dikatakan modul. Bagi yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, penting sekali membaca dan mempelajari buku ini. Isi buku ini sebenarnya ringan-ringan berat, dengan tulisan sangat lugas, renyah, dan mengalir apa adanya. Saking enaknya dibaca, seperti tak sabar untuk membaca halaman-halaman berikutnya.
Pada buku ini ada cerita perjalanan si penulis ke mancanegara, mulai Singapura, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Turki, Norwegia, Amerika Serikat, dan satu topik yang tak pernah selesai dibahas, Palestina. Selain tentang cerita perjalanan, ada juga tulisan tentang dunia aviasi yang kembali berduka karena isu keselamatan penerbangan. Karena saat ini si penulis sebagai seorang profesional di industri kelapa sawit, sudah barang tentu juga ada isu-isu sawit yang ditulis dengan cara lugas, khas tulisan seorang wartawan.
Habitus Kewartawanan
Membaca buku Pena di Atas Langit 2 enjoy saja. Tak mesti runut per bab atau per judul, bisa lompat-lompat dari halaman/bab belakang, depan, tengah. Suka-suka saja. Buku ini ibarat tuturan yang menjelma tulisan. Nyata sekali, si penulis begitu piawai menuangkan hasrat dan kegelisahannya. Kelenturan menulis dengan cara berkisah bukan karena semata si penulis dulunya pernah menjadi wartawan. Ini lebih karena ia begitu kukuh untuk tetap setia menulis, terus menjaga dan merawat bakat menulisnya, sekalipun sekarang dirinya menjabat vice president kehumasan di sebuah perusahaan ternama.
baca juga: Potret Perjuangan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dalam 8 Bab Buku Mengabdi untuk Rakyat
Sama halnya di buku Pena di Atas Langit yang pertama, habitus kewartawanan Tofan Mahdi juga betul-betul mengemuka dalam bab demi bab, halaman demi halaman di buku Pena di Atas Langit 2. Ekspresi, cara pandang, dan kegelisahan seorang wartawan dalam menghadapi berbagai persoalan, pun ketika yang bersangkutan secara formal tak lagi menyandang status wartawan. Menggunakan istilah filsuf Perancis, Pierre Boudiue, kewartawanan adalah habitus: nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang, terbentuk melalui pergulatan hidup yang panjang, lalu secara laten membentuk watak, ciri, dan perilaku orang tersebut.
Habitus begitu kuat tertanam sehingga secara refleks akan mengarahkan bagaimana seseorang bersikap dan memandang permasalahan. Buku ini juga memberi gambaran tentang bagaimana seorang 'mantan wartawan' mesti berkiprah, setelah tidak menjadi wartawan aktif lagi, apa yang mesti dilakukan? Sejauh mana mentalitas dan sentuhan jurnalis tetap dijaga ketika yang bersangkutan bergerak di ruang-ruang baru? Bagaimana laku jurnalistik yang bertumpu pada disiplin verifikasi, prinsip independensi, akurasi dan kehati-hatian tetap dipertahankan ketika melibatkan diri dalam perbincangan publik.
Yang menarik, sebagian besar tulisan dalam buku Pena di Atas Langit 2, sudah pernah dibagikan si penulis di Facebook, dan sebagian sudah dimuat di sejumlah media massa, seperti nasionalisme.co, KORAN SINDO, Harian Disway, BeritaJatim, dan media lainnya. Buku ini juga memuat testimoni dari sejumlah praktisi humas, pejabat, wartawan, pemimpin perusahaan, hingga sahabat-sahabat si penulis.
baca juga: Bukunya Disensor, Mantan Menteri Pertahanan AS Gugat Pentagon
Hal luar biasa yang membuat buku ini makin nikmat dicumbu karena memuat sedikit perjalanan spiritual si penulis. Malah ada tulisan berupa penghormatan yang luar biasa si penulis kepada ibundanya. Satu bab khusus ia curahkan hati beserta segenap perasaannya untuk ibundanya tercinta. “Banyak sekali teman-teman yang meminta agar kisah perjalanan hidup ibu saya ditulis lebih panjang. Karena saya bukan novelis, saya tulis saya dengan cara bertutur, khas tulisan feuture wartawan. Semoga menginspirasi,” kata Tofan Mahdi, dalam ucapan terima kasihnya di buku ini.
Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Dhimam Abror Djuraid juga mengakui salah satu episode dalam buku Pena di Atas Langit, menyajikan tulisan Topan Mahdi yang sangat menyentuh, yakni mengenai perjalanan hidup dari seorang anak singkong sampai menjadi manusia mondial. “Dalam tulisan itu tergambar kedekatan Tofan dengan almarhumah ibunya. Tofan melihat sang ibu bukan sekadar motivator, tapi sekaligus punden atau jimat,” kata Dhimam dalam pengantarnya di buku ini.
baca juga: Resensi Buku: Kesahajaan dan Loyalitas Tanpa Batas Marsekal Hadi Tjahjanto
Menulis sudah menjadi nafas hidup Tofan Mahdi. Itulah makanya saban waktu ia menyempatkan untuk menulis. Jika dulu, saat menjadi jurnalis ia menulis catatan di kertas atau buku kecil, yang kemudian diterbitkan di media massa (koran). Kini, di era digitalisasi ia rajin menulis di media sosial, dan sesekali di media massa tentunya. Malah, di tengah kesibukannya sebagai Kepala Komunikasi PT Astra Agro Lestari dan GAPKI, Tofan sempat-sempatnya merangkum tulisan-tulisannya di buku Pena di Atas Langit 2: Kumpulan Catatan Ringan Topan Mahdi.
Sebagai mantan jurnalis, kebanyakan tulisan Tofan Mahdi tentu dikerjakannya saat masih aktif di jurnalis. Namun selepas dari wartawan, Tofan makin rajin menulis, terutama ketika tengah bepergian dan berada dalam pesawat terbang. Itulah kenapa akhirnya bukunya diberi judul Pena di Atas Langit. “Darah wartawan pada diri Topan Mahdi membuat semua yang ia alami menjadi sesuatu yang menarik untuk ditulis. Gaya bahasa yang langsung dan apa adanya, membuat tulisan mudah dicerna,” kata Duta Besar RI untuk Singapura, Suryapratomo, dalam testimoninya di buku Pena di Atas Langit 2.
Cerminan Karakter
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia.
baca juga: Kedubes AS hingga Tiongkok Apresiasi Buku Moderasi Beragama
Menulis bebas kini sedang menjadi tren dan banyak dilakukan oleh penulis pemula. Dan sebenarnya menulis itu mudah. Pengalaman sehari-hari merupakan bahan menarik untuk menulis. Kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.
Nama Topan Mahdi memang tak setenar penulis-penulis kawakan. Makanya, dengan membaca buku Pena di Atas Langit 2, bisa sekilas mengenal dan membaca riwayat berikut karakteristik seorang Tofan Mahdi. Seseorang yang sangat tekun, teliti, pekerja keras, berselera humor tinggi, bersahabat serta sangat peduli kepada sesama terutama keluarga.
Dan membaca buku Pena di Atas Langit 2, betul-betul membuat rasa penasaran berkelindan. Bahkan setelah rampung membaca, ingin membaca ulang. Saya pribadi, karena berprofesi sebagai wartawan, sedikitnya ada dua bab dalam buku ini yang harus betul-betul saya seriusi membacanya. Dua bab itu, yakni Tantangan Komunikasi Digital (Bab 11), dan Perjalanan Menjadi Wartawan Jawa Pos (Bab 13).
baca juga: Kemenag Luncurkan Buku Moderasi Beragama dalam 3 Bahasa
Buku yang berupa bunga rampai ini juga tak ubahnya guide, bahkan bisa dikatakan modul. Bagi yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, penting sekali membaca dan mempelajari buku ini. Isi buku ini sebenarnya ringan-ringan berat, dengan tulisan sangat lugas, renyah, dan mengalir apa adanya. Saking enaknya dibaca, seperti tak sabar untuk membaca halaman-halaman berikutnya.
Pada buku ini ada cerita perjalanan si penulis ke mancanegara, mulai Singapura, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Turki, Norwegia, Amerika Serikat, dan satu topik yang tak pernah selesai dibahas, Palestina. Selain tentang cerita perjalanan, ada juga tulisan tentang dunia aviasi yang kembali berduka karena isu keselamatan penerbangan. Karena saat ini si penulis sebagai seorang profesional di industri kelapa sawit, sudah barang tentu juga ada isu-isu sawit yang ditulis dengan cara lugas, khas tulisan seorang wartawan.
Habitus Kewartawanan
Membaca buku Pena di Atas Langit 2 enjoy saja. Tak mesti runut per bab atau per judul, bisa lompat-lompat dari halaman/bab belakang, depan, tengah. Suka-suka saja. Buku ini ibarat tuturan yang menjelma tulisan. Nyata sekali, si penulis begitu piawai menuangkan hasrat dan kegelisahannya. Kelenturan menulis dengan cara berkisah bukan karena semata si penulis dulunya pernah menjadi wartawan. Ini lebih karena ia begitu kukuh untuk tetap setia menulis, terus menjaga dan merawat bakat menulisnya, sekalipun sekarang dirinya menjabat vice president kehumasan di sebuah perusahaan ternama.
baca juga: Potret Perjuangan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dalam 8 Bab Buku Mengabdi untuk Rakyat
Sama halnya di buku Pena di Atas Langit yang pertama, habitus kewartawanan Tofan Mahdi juga betul-betul mengemuka dalam bab demi bab, halaman demi halaman di buku Pena di Atas Langit 2. Ekspresi, cara pandang, dan kegelisahan seorang wartawan dalam menghadapi berbagai persoalan, pun ketika yang bersangkutan secara formal tak lagi menyandang status wartawan. Menggunakan istilah filsuf Perancis, Pierre Boudiue, kewartawanan adalah habitus: nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang, terbentuk melalui pergulatan hidup yang panjang, lalu secara laten membentuk watak, ciri, dan perilaku orang tersebut.
Habitus begitu kuat tertanam sehingga secara refleks akan mengarahkan bagaimana seseorang bersikap dan memandang permasalahan. Buku ini juga memberi gambaran tentang bagaimana seorang 'mantan wartawan' mesti berkiprah, setelah tidak menjadi wartawan aktif lagi, apa yang mesti dilakukan? Sejauh mana mentalitas dan sentuhan jurnalis tetap dijaga ketika yang bersangkutan bergerak di ruang-ruang baru? Bagaimana laku jurnalistik yang bertumpu pada disiplin verifikasi, prinsip independensi, akurasi dan kehati-hatian tetap dipertahankan ketika melibatkan diri dalam perbincangan publik.
Yang menarik, sebagian besar tulisan dalam buku Pena di Atas Langit 2, sudah pernah dibagikan si penulis di Facebook, dan sebagian sudah dimuat di sejumlah media massa, seperti nasionalisme.co, KORAN SINDO, Harian Disway, BeritaJatim, dan media lainnya. Buku ini juga memuat testimoni dari sejumlah praktisi humas, pejabat, wartawan, pemimpin perusahaan, hingga sahabat-sahabat si penulis.
baca juga: Bukunya Disensor, Mantan Menteri Pertahanan AS Gugat Pentagon
Hal luar biasa yang membuat buku ini makin nikmat dicumbu karena memuat sedikit perjalanan spiritual si penulis. Malah ada tulisan berupa penghormatan yang luar biasa si penulis kepada ibundanya. Satu bab khusus ia curahkan hati beserta segenap perasaannya untuk ibundanya tercinta. “Banyak sekali teman-teman yang meminta agar kisah perjalanan hidup ibu saya ditulis lebih panjang. Karena saya bukan novelis, saya tulis saya dengan cara bertutur, khas tulisan feuture wartawan. Semoga menginspirasi,” kata Tofan Mahdi, dalam ucapan terima kasihnya di buku ini.
Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Dhimam Abror Djuraid juga mengakui salah satu episode dalam buku Pena di Atas Langit, menyajikan tulisan Topan Mahdi yang sangat menyentuh, yakni mengenai perjalanan hidup dari seorang anak singkong sampai menjadi manusia mondial. “Dalam tulisan itu tergambar kedekatan Tofan dengan almarhumah ibunya. Tofan melihat sang ibu bukan sekadar motivator, tapi sekaligus punden atau jimat,” kata Dhimam dalam pengantarnya di buku ini.
(hdr)