'Mandatory Spending' Keolahragaan
loading...
A
A
A
Agus Kristiyanto
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga dari FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tim Ahli Revisi UU SKN 2020-2021, Tim Reviewer DBON.
PENDANAAN keolahragaan merupakan salah satu persoalan sangat krusial dalam proses revisi Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional yang saat ini (masih) bergulir di tahap lanjut dalam rangkaian panjang Prolegnas 2020–2021. Masyarakat keolahragaan banyak yang menitipkan aspirasinya agar mandatory spending tertuang dalam perubahan rancangan undang-undang. Sebuah tuntutan yang sangat wajar dan masuk akal, mengingat untuk menegakkan tujuan keolahragaan, kecukupan dan kepastian anggaran keolahragaan adalah sebuah keniscayaan.
Besaran mandatory spending keolahragaan tersebut adalah “cuma” 2% dari APBN. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan mandatory existing kesehatan yang 5%, pendidikan secara existing sudah dipatok 20%.
Keolahragaan setidaknya memiliki tiga pilar besar, yakni olahraga pendidikan, olahraga rekreasi (masyarakat), dan olahraga prestasi. Pencapaian tujuan setiap pilar berkonsekuensi bagi tuntutan pemenuhan sumber daya spesifik, terutama penganggarannya. Persolan penganggaran untuk olahraga menjadi terasa lebih mendesak setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Perencanaan besar yang tentu juga membutuhkan dukungan anggaran yang besar.
Politik Anggaran Keolahragaan
Bisa dan tidaknya kemunculan mandatory spending keolahragaan dalam revisi undang-undang sangat tergantung dari proses politik anggaran yang (masih) berlangsung. Sebagaimana telah sangat dipahami oleh para pemangku kepentingan, mandatory spending itu merupakan dana wajib yang disediakan pemerintah dalam formula APBN, karena bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan perintah undang-undang. Namun demikian, kemudian ada argumentasi lain yang menjadikan mandatory spending ini tidak mudah untuk dituangkan, yakni pada fakta bahwa besarnya mandatory spending di APBN tersebut sudah lebih dari 70%.
Angka 70% tersebut menjadi sebuah alasan yang sangat kuat untuk tidak menambahkan lagi mandatory spending lain dalam APBN. Artinya bahwa melebihi 70% akan berdampak pada tidak sehatnya proses penganggaran, fleksibilitas moneter tidak bisa terjaga, dan masih banyak lagi berbagai kesulitan. Mandatory spending juga memiliki sisi lemah, jika kemudian pengembangan keolahragaan ke depan lebih menuju kepada orientasi budget, bukan orientasi pada lompatan performa. Alasan logis yang kemudian menjadi dasar untuk menutup rapat-rapat pintu mandatory spending keolahragaan, walau hanya 2% bahkan cuma 1,5%. Berlaku juga untuk usulan pada bidang-bidang lain. Mandatory spending, no way.
Pada sisi lain, tuntutan akan mandatory spending tersebut sangat penting karena hal tersebut dapat diartikan sebagai bukti keberpihakan pemerintah terhadap keolahragaan. Dalam bahasa anggota DPR RI (terutama Komisi X), mandatory tersebut sebagai wujud bahwa “negara memang hadir di olahraga”. Di balik persoalan bisa dan tidaknya, perlu dan tidaknya, mandatory spending keolahragaan tentu ada penjelasan kuat dalam wilayah politik anggaran keolahragaan. Politik anggaran keolahragaan merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji oleh berbagai pihak.
Politik anggaran keolahragaan menunjuk pada definisi proses pengalokasian anggaran untuk keolahragaan yang bertumpu pada kemauan dan proses politik. Baik dilakukan oleh perorangan maupun oleh kelompok (stakeholder/ komunitas). Merujuk sebuah buku yang berjudul: The Politics of Public Budgeting (Rubin, 2000), sangat jelas bahwa alokasi dan besaran anggaran untuk publik senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh decision maker. Penggunaan dana publik untuk keolahragaan pun akan sangat ditentukan oleh kepentingan politik.
Setidaknya ada dua bahasan politik anggaran keolahragaan, yakni: arus politik penganggarannya, dan anggaran keolahragaannya. Pertama, arus politik penganggaran memang menjadi hal yang sering tidak bisa disederhanakan, karena pasti merepresentasikan aneka kepentingan perumus kebijakan. Mungkin terkait dengan konstituennya dan mungkin juga demi mengakomodasi berbagai tuntutan pelayanan publik yang sangat heterogen dalam cakupan yang luas dan memerlukan keluwesan. Muncul berbagai pertanyaan lanjutan yang berhubungan dengan arus politik sepanjang proses penganggaran keolahragaan. Arus yang bukan saja bersifat lurus dan tegak, tetapi acapkali berupa pusaran-pusaran.
Beberapa “pusaran arus” yang kuat pun pasti terjadi. Sesuatu yang sangat lazim, bahwa urusan penganggaran akan mengundang banyak pihak yang “memaksa diri” harus dilibatkan. Oleh karenanya, kesepakatan penganggaran keolahragaan dalam arus yang seperti itu hampir tak pernah bisa berbentuk bulat, acapkali lonjong bahkan berbentuk prisma atau trapesium, atau bentuk-bentuk yang lain. Bagian terpenting yang diharapkan adalah bahwa politik anggaran harus mampu dikendalikan oleh policy driven atau tujuan yang hendak dicapai. Secara garis besar policy driven tergambar sebagai “interaksi dan komunikasi” antara fungsi birokrasi dan pelayanan hak-hak publik dalam keolahragaan yang tidak sederhana dalam pemenuhannya.
Kedua, dalam perspektif anggaran keolahragaan terdapat banyak pilihan formula anggaran lain yang sebenarnya layak untuk “diaktivasi”. Sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Olahraga. Dana dari masyarakat dapat berupa kegiatan sponsorship keolahragaan; hibah dari dalam maupun luar negeri; penggalangan dana; kompensasi alih status dan transfer olahragawan; uang pembinaan dari olahragawan profesional; kerja sama yang saling menguntungkan; sumbangan lain yang tidak mengikat; dan sumber lain yang sah. Pendanaan keolahragaan dari industri olahraga yang meliputi antara lain dari: tiket penyelenggaraan pertandingan/ kompetisi; penyewaan prasarana olahraga; jual beli produk sarana olahraga;sport labelling; iklan; hak siar olahraga; promosi, eksibisi, dan festival olahraga; keagenan; dan layanan informasi dan konsultansi keolahragaan.
Dana Perwalian Keolahragaan
Di tengah-tengah proses tarik-ulur “kepatutan” mandatory spending keolahragaan, terdapat berbagai gagasan-gagasan positif lain tentang alternatif formula pendanaan olahraga ke depan. Salah satu yang selanjtnya cukup gencar dibicarakan dan direspons adalah Dana Perwalian Keolahragaan. Sebagaimana dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian, utamanya pada bagian Ketentuan Umum, bahwa Dana Perwalian adalah dana hibah yang diberikan oleh satu atau beberapa pemberi hibah yang dikelola oleh suatu lembaga sebagai wali amanat untuk tujuan penggunaan tertentu.
Konsep dasarnya bahwa Dana Perwalian Keolahragaan adalah wadah pengelolaan dana hibah dari berbagai sumber, baik yang berasal dari pemerintah, maupun donasi dari swasta, untuk semata-mata digunakan mendanai kegiatan memajukan keolahragaan nasional. Hibah Dana Perwalian dapat berasal dari dalam dan luar negeri. Pengelolaan Dana Perwalian adalah dalam bentuk dana abadi, yang dalam hal ini dana dihimpun dan diinvestasikan dalam bentuk saham, obligasi, dan surat-surat berharga lainnya. Kewenangan penyaluran hibah anggaran dari negara dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedangkan Bappenas memberikan pertimbangan kepada Wali Amanat, yang merupakan pengelola dana perwalian.
Pada 2018, sudah terdapat best practices dengan diterapkannya sebuah kebijakan baru Dana Perwalian Kebudayaan. Kegiatan memajukan kebudayaan dananya bersumber dari Dana Perwalian tersebut. Namun dalam implementasinya, memajukan kebudayaan menuntut persyaratan model pengelolaan yang sesuai. Kebudayaan harus memilih alternatif model perwalian sebagaimana berdasarkan Perpres Nomor 80 Tahun 2011, atau model pengelolaan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebagaimana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sangat leluasa mengelola dana beasiswa pendidikan tinggi di bawah Kemenkeu.
Masih ada cukup panjang langkah yang harus dilakukan sebelum Dana Perwalian Keolahragaan tersebut dipilih sebagai “pengganti” jika memang mandatory spending belum bisa dipenuhi. Kehadiran negara memang sesuatu yang sangat ditunggu oleh semua pihak yang ingin melihat dan merasakan bangsa ini gemilang mencapai tujuan keemasan olahraga. Pembudayaan olahraga yang terus meningkat, kapasitas dan produktivitas prestasi olahraga yang tumbuh terus, serta perkembangan ekonomi berbasis olahraga yang prospektif. Memang, Jer Basuki Mawa Beja, setiap kemajuan harus disertai dengan biaya.
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga dari FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tim Ahli Revisi UU SKN 2020-2021, Tim Reviewer DBON.
PENDANAAN keolahragaan merupakan salah satu persoalan sangat krusial dalam proses revisi Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional yang saat ini (masih) bergulir di tahap lanjut dalam rangkaian panjang Prolegnas 2020–2021. Masyarakat keolahragaan banyak yang menitipkan aspirasinya agar mandatory spending tertuang dalam perubahan rancangan undang-undang. Sebuah tuntutan yang sangat wajar dan masuk akal, mengingat untuk menegakkan tujuan keolahragaan, kecukupan dan kepastian anggaran keolahragaan adalah sebuah keniscayaan.
Besaran mandatory spending keolahragaan tersebut adalah “cuma” 2% dari APBN. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan mandatory existing kesehatan yang 5%, pendidikan secara existing sudah dipatok 20%.
Keolahragaan setidaknya memiliki tiga pilar besar, yakni olahraga pendidikan, olahraga rekreasi (masyarakat), dan olahraga prestasi. Pencapaian tujuan setiap pilar berkonsekuensi bagi tuntutan pemenuhan sumber daya spesifik, terutama penganggarannya. Persolan penganggaran untuk olahraga menjadi terasa lebih mendesak setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Perencanaan besar yang tentu juga membutuhkan dukungan anggaran yang besar.
Politik Anggaran Keolahragaan
Bisa dan tidaknya kemunculan mandatory spending keolahragaan dalam revisi undang-undang sangat tergantung dari proses politik anggaran yang (masih) berlangsung. Sebagaimana telah sangat dipahami oleh para pemangku kepentingan, mandatory spending itu merupakan dana wajib yang disediakan pemerintah dalam formula APBN, karena bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan perintah undang-undang. Namun demikian, kemudian ada argumentasi lain yang menjadikan mandatory spending ini tidak mudah untuk dituangkan, yakni pada fakta bahwa besarnya mandatory spending di APBN tersebut sudah lebih dari 70%.
Angka 70% tersebut menjadi sebuah alasan yang sangat kuat untuk tidak menambahkan lagi mandatory spending lain dalam APBN. Artinya bahwa melebihi 70% akan berdampak pada tidak sehatnya proses penganggaran, fleksibilitas moneter tidak bisa terjaga, dan masih banyak lagi berbagai kesulitan. Mandatory spending juga memiliki sisi lemah, jika kemudian pengembangan keolahragaan ke depan lebih menuju kepada orientasi budget, bukan orientasi pada lompatan performa. Alasan logis yang kemudian menjadi dasar untuk menutup rapat-rapat pintu mandatory spending keolahragaan, walau hanya 2% bahkan cuma 1,5%. Berlaku juga untuk usulan pada bidang-bidang lain. Mandatory spending, no way.
Pada sisi lain, tuntutan akan mandatory spending tersebut sangat penting karena hal tersebut dapat diartikan sebagai bukti keberpihakan pemerintah terhadap keolahragaan. Dalam bahasa anggota DPR RI (terutama Komisi X), mandatory tersebut sebagai wujud bahwa “negara memang hadir di olahraga”. Di balik persoalan bisa dan tidaknya, perlu dan tidaknya, mandatory spending keolahragaan tentu ada penjelasan kuat dalam wilayah politik anggaran keolahragaan. Politik anggaran keolahragaan merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji oleh berbagai pihak.
Politik anggaran keolahragaan menunjuk pada definisi proses pengalokasian anggaran untuk keolahragaan yang bertumpu pada kemauan dan proses politik. Baik dilakukan oleh perorangan maupun oleh kelompok (stakeholder/ komunitas). Merujuk sebuah buku yang berjudul: The Politics of Public Budgeting (Rubin, 2000), sangat jelas bahwa alokasi dan besaran anggaran untuk publik senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh decision maker. Penggunaan dana publik untuk keolahragaan pun akan sangat ditentukan oleh kepentingan politik.
Setidaknya ada dua bahasan politik anggaran keolahragaan, yakni: arus politik penganggarannya, dan anggaran keolahragaannya. Pertama, arus politik penganggaran memang menjadi hal yang sering tidak bisa disederhanakan, karena pasti merepresentasikan aneka kepentingan perumus kebijakan. Mungkin terkait dengan konstituennya dan mungkin juga demi mengakomodasi berbagai tuntutan pelayanan publik yang sangat heterogen dalam cakupan yang luas dan memerlukan keluwesan. Muncul berbagai pertanyaan lanjutan yang berhubungan dengan arus politik sepanjang proses penganggaran keolahragaan. Arus yang bukan saja bersifat lurus dan tegak, tetapi acapkali berupa pusaran-pusaran.
Beberapa “pusaran arus” yang kuat pun pasti terjadi. Sesuatu yang sangat lazim, bahwa urusan penganggaran akan mengundang banyak pihak yang “memaksa diri” harus dilibatkan. Oleh karenanya, kesepakatan penganggaran keolahragaan dalam arus yang seperti itu hampir tak pernah bisa berbentuk bulat, acapkali lonjong bahkan berbentuk prisma atau trapesium, atau bentuk-bentuk yang lain. Bagian terpenting yang diharapkan adalah bahwa politik anggaran harus mampu dikendalikan oleh policy driven atau tujuan yang hendak dicapai. Secara garis besar policy driven tergambar sebagai “interaksi dan komunikasi” antara fungsi birokrasi dan pelayanan hak-hak publik dalam keolahragaan yang tidak sederhana dalam pemenuhannya.
Kedua, dalam perspektif anggaran keolahragaan terdapat banyak pilihan formula anggaran lain yang sebenarnya layak untuk “diaktivasi”. Sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Olahraga. Dana dari masyarakat dapat berupa kegiatan sponsorship keolahragaan; hibah dari dalam maupun luar negeri; penggalangan dana; kompensasi alih status dan transfer olahragawan; uang pembinaan dari olahragawan profesional; kerja sama yang saling menguntungkan; sumbangan lain yang tidak mengikat; dan sumber lain yang sah. Pendanaan keolahragaan dari industri olahraga yang meliputi antara lain dari: tiket penyelenggaraan pertandingan/ kompetisi; penyewaan prasarana olahraga; jual beli produk sarana olahraga;sport labelling; iklan; hak siar olahraga; promosi, eksibisi, dan festival olahraga; keagenan; dan layanan informasi dan konsultansi keolahragaan.
Dana Perwalian Keolahragaan
Di tengah-tengah proses tarik-ulur “kepatutan” mandatory spending keolahragaan, terdapat berbagai gagasan-gagasan positif lain tentang alternatif formula pendanaan olahraga ke depan. Salah satu yang selanjtnya cukup gencar dibicarakan dan direspons adalah Dana Perwalian Keolahragaan. Sebagaimana dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian, utamanya pada bagian Ketentuan Umum, bahwa Dana Perwalian adalah dana hibah yang diberikan oleh satu atau beberapa pemberi hibah yang dikelola oleh suatu lembaga sebagai wali amanat untuk tujuan penggunaan tertentu.
Konsep dasarnya bahwa Dana Perwalian Keolahragaan adalah wadah pengelolaan dana hibah dari berbagai sumber, baik yang berasal dari pemerintah, maupun donasi dari swasta, untuk semata-mata digunakan mendanai kegiatan memajukan keolahragaan nasional. Hibah Dana Perwalian dapat berasal dari dalam dan luar negeri. Pengelolaan Dana Perwalian adalah dalam bentuk dana abadi, yang dalam hal ini dana dihimpun dan diinvestasikan dalam bentuk saham, obligasi, dan surat-surat berharga lainnya. Kewenangan penyaluran hibah anggaran dari negara dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedangkan Bappenas memberikan pertimbangan kepada Wali Amanat, yang merupakan pengelola dana perwalian.
Pada 2018, sudah terdapat best practices dengan diterapkannya sebuah kebijakan baru Dana Perwalian Kebudayaan. Kegiatan memajukan kebudayaan dananya bersumber dari Dana Perwalian tersebut. Namun dalam implementasinya, memajukan kebudayaan menuntut persyaratan model pengelolaan yang sesuai. Kebudayaan harus memilih alternatif model perwalian sebagaimana berdasarkan Perpres Nomor 80 Tahun 2011, atau model pengelolaan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebagaimana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sangat leluasa mengelola dana beasiswa pendidikan tinggi di bawah Kemenkeu.
Masih ada cukup panjang langkah yang harus dilakukan sebelum Dana Perwalian Keolahragaan tersebut dipilih sebagai “pengganti” jika memang mandatory spending belum bisa dipenuhi. Kehadiran negara memang sesuatu yang sangat ditunggu oleh semua pihak yang ingin melihat dan merasakan bangsa ini gemilang mencapai tujuan keemasan olahraga. Pembudayaan olahraga yang terus meningkat, kapasitas dan produktivitas prestasi olahraga yang tumbuh terus, serta perkembangan ekonomi berbasis olahraga yang prospektif. Memang, Jer Basuki Mawa Beja, setiap kemajuan harus disertai dengan biaya.
(bmm)