Pakar Hukum: Pemerintah dan DPR Sulit Perbaiki UU Ciptaker Dalam Waktu 2 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid menilai DPR dan pemerintah akan sulit menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja (Ciptaker) dalam kurun waktu dua tahun, seperti yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
”Jika belum mengadopsi metode omnibus law ini dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan akan sulit, sebab jika tetap dibahas dan menindak lanjuti putusan MK tanpa mempositifkan metode omnibus law tersebut, akan berpotensi menjadi tidak konstitusional lagi dan pada akhirnya dapat dipersoalkan konstitusionalitas pembentukannya ke MK ke depan,” ujar Fahri Bachmid, Sabtu (4/12/2021).
Menurut Fahri, untuk menjawab kebutuhan konstitusional penyempurnaan dan perbaikan UU Cipta Kerja ini, selain opsi-opsi perbaikan, idealnya juga Pemerintah segera menindak lanjuti amanat UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya ketentuan Pasal 99A. Pasal ini, kata dia, terkait pembentukan Kementerian atau Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Sehingga dapat membantu menyelesaikan problem regulasi nasional untuk jangka panjang, sekaligus menjadi pusat perumusan dan pengendalian regulasi pemerintahan, karena tentunya secara kelembagaan lebih kredible dan profesional untuk mengelola aspek-aspek teknis perundang-undangan nasional,” katanya.
Lebih detail, Fahri menguraikan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja. Amar putusan MK ini antara lain menyatakan, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Putusan MK ini juga memerintahkan kepada DPR dan Pemerintah untuk diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan itu dibacakan oleh hakim MK. “Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” papar Fahri.
Fahri menyampaikan, secara teoritik maupun konstitusional jika merujuk pada desain dan pengaturan dalam UUD 1945, tentang pembentukan UU (law making process) yaitu merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, seperti pengajuan RUU, pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945, persetujuan bersama antara DPR dan presiden, pengesahan RUU menjadi UU dan pengundangan.
Namun, kata Fahri, berdasarkan putusan MK tersebut, ternyata proses pembahasan UU Cipta Kerja bermasalah karena dari 5 tahapan proses itu, 4 tahapan proses terkonfirmasi cacat prosedur. Dalam verifikasi tersebut, Mahkamah menggunakan parameter syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
”Jika belum mengadopsi metode omnibus law ini dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan akan sulit, sebab jika tetap dibahas dan menindak lanjuti putusan MK tanpa mempositifkan metode omnibus law tersebut, akan berpotensi menjadi tidak konstitusional lagi dan pada akhirnya dapat dipersoalkan konstitusionalitas pembentukannya ke MK ke depan,” ujar Fahri Bachmid, Sabtu (4/12/2021).
Menurut Fahri, untuk menjawab kebutuhan konstitusional penyempurnaan dan perbaikan UU Cipta Kerja ini, selain opsi-opsi perbaikan, idealnya juga Pemerintah segera menindak lanjuti amanat UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya ketentuan Pasal 99A. Pasal ini, kata dia, terkait pembentukan Kementerian atau Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Sehingga dapat membantu menyelesaikan problem regulasi nasional untuk jangka panjang, sekaligus menjadi pusat perumusan dan pengendalian regulasi pemerintahan, karena tentunya secara kelembagaan lebih kredible dan profesional untuk mengelola aspek-aspek teknis perundang-undangan nasional,” katanya.
Lebih detail, Fahri menguraikan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja. Amar putusan MK ini antara lain menyatakan, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Putusan MK ini juga memerintahkan kepada DPR dan Pemerintah untuk diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan itu dibacakan oleh hakim MK. “Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” papar Fahri.
Fahri menyampaikan, secara teoritik maupun konstitusional jika merujuk pada desain dan pengaturan dalam UUD 1945, tentang pembentukan UU (law making process) yaitu merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, seperti pengajuan RUU, pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945, persetujuan bersama antara DPR dan presiden, pengesahan RUU menjadi UU dan pengundangan.
Namun, kata Fahri, berdasarkan putusan MK tersebut, ternyata proses pembahasan UU Cipta Kerja bermasalah karena dari 5 tahapan proses itu, 4 tahapan proses terkonfirmasi cacat prosedur. Dalam verifikasi tersebut, Mahkamah menggunakan parameter syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu: