Upah Minimum 2022, Refleksi Awal atas PP 36/2021

Kamis, 02 Desember 2021 - 11:11 WIB
loading...
Upah Minimum 2022, Refleksi...
Beberapa daerah seperti Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Bogor, tidak naik sama sekali karena UMK-nya saat ini sudah melebihi batas atas upah minimum yang juga dihitung berdasarkan PP 36/2021. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
Mohamad Anis Agung Nugroho
Direktur Eksekutif Kemitraan Kerja

GUBERNUR di berbagai daerah sudah menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) minggu lalu, dengan rata-rata kenaikan 1,09%, sebagaimana formula yang dimuat dalam PP 36/2021. Kemarin (30/11/2021), para gubernur melanjutkannya dengan menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun 2022.

Meskipun mendapatkan tekanan dari Serikat Pekerja/Buruh, Gubernur tetap mengikuti PP 36/2021, sehingga kenaikannya sangat kecil. Bahkan beberapa daerah seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bogor, tidak naik sama sekali karena UMK-nya saat ini sudah melebihi batas atas upah minimum yang juga dihitung berdasarkan PP 36/2021.

Diskusi di ruang publik tidak hanya didominasi oleh kebijakan upah minimum, tetapi juga oleh keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan formil terhadap UU 11/2020. Seperti kita tahu, PP 36/2021 adalah produk turunan dari UU 11/2020 yang dinyatakan inskonstitional bersyarat oleh MK.

Baca juga: Anies Surati Menaker Ida Fauziyah Minta UMP DKI Ditinjau Ulang

Menurut MK, inskonstitional bersyarat berarti, UU 11/2020 tetap berlaku, tapi harus diperbaiki dalam dua tahun, kalau tidak, akan dinyatakan inskonstitutional permanen. Keputusan ini memicu perdebatan baru tentang keabsahan UU 11/2020. Serikat Pekerja/Buruh menganggap UU 11/2020 cacat dan tidak bisa dipakai, termasuk aturan turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan.

PP 36/2021 juga menghapus upah minimum sektoral (UMS) dan memberikan pengecualian usaha mikro dan kecil dari kewajiban membayar upah minimum. Berbeda dengan PP 78/2015, PP 36/2021 menggunakan formula baru dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, median upah, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi dari daerah yang bersangkutan.

PP 36/2021 ini juga memperkenalkan formula untuk menghitung batas atas, sehingga upah minimum di sebuah daerah tidak naik jika besarannya melebihi batas atas. Variabel yang digunakan untuk menghitung batas atas adalah rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, serta rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga. Dan perubahan lainnya adalah ada sanksi bagi kepala daerah yang tidak menaati PP 36/32021.

Baca juga: UMK 2022 Tidak Naik, Buruh di Bandung Barat Ancam Mogok Nasional

Kecilnya kenaikan upah minimum ini sudah diprediksi, bahkan sejak tahun 2015 ketika Pemerintah menerbitkan PP 78/2015. Sejak itu, upah minimum ditetapkan dengan formula matematika, bukan dengan perundingan di dewan pengupahan daerah seperti sebelumnya. Tahun ini, berdasarkan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pemerintah mengatur cara penetapan upah minimum dengan PP 36/2021 yang akan berlaku untuk tahun 2022.

Untuk merespons kecilnya kenaikan upah minimum, serikat pekerja/buruh memberikan tekanan kepada bupati/wali kota untuk merekomendasikan besaran upah minimum yang lebih besar kepada gubernur. Tetapi rekomendasi itu ditolak dan gubernur tetap menggunakan formula dalam PP 36/2021 untuk menetapkan UMP dan UMK.

Upah minimum dapat dihitung dengan formula matematika dengan variabel ekonomi sebagaimana yang kita gunakan sekarang dan bisa juga dirundingkan, seperti yang dipakai sebelum tahun 2015. Beberapa literatur memberikan kelebihan dan kekurangan dari kedua cara tersebut.
Menurut Dickens (2015) model perundingan memberikan fleksibilitas dan ruang dialog antara pekerja dengan pengusaha, tetapi prosesnya lama dan besarannya sulit diprediksi, apalagi jika ada intervensi politik. Sementara itu, model formula memberikan transparansi dan kepastian dalam proses dan ketepatan waktu, tetapi kurang fleksibel dalam merespons keadaan pasar tenaga kerja yang dinamis.

Selain itu, sering terjadi formula yang ditetapkan tidak dapat memasukkan semua faktor ekonomi dan ketenagakerjaan yang sangat kompleks (ILO, 2017). Kita perlu mencari model yang sesuai kemampuan institusi yang dimiliki oleh suatu negara, kemampuan badan statistik, dan kemampuan para pemangku kepentingan (ILO, 2017) untuk mencapai tujuan kebijakan upah minimum.

Dalam konteks Indonesia, Nugroho (2021) menemukan bahwa model formula matematika memberikan biaya transaksi ex-ante lebih rendah dibandingkan model perundingan, tetapi dapat meningkatkan risiko biaya ex-post. Penelitian tersebut menggunakan transaction cost economics (ekonomi biaya transaksi) dengan metode Delphi untuk mendapatkan konsensus pakar yang menjadi narasumber penelitian.

Pakar dalam penelitian tersebut sepakat bahwa penghapusan perundingan, penggunaan data Badan Pusat Statistik (BPS), dan penghapusan peran kepala daerah dalam menetapkan besaran upah minimum meningkatkan efisiensi waktu dan efisiensi koordinasi. Tetapi, pakar tidak mencapai konsensus dalam menilai risiko perselisihan hubungan industrial yang muncul karena penerapan PP 36/2021. Sebagian pakar menilai penggunaan formula menurunkan risiko perselisihan, sebagian lain berpendapat risiko perselisihan naik karena upah minimum di beberapa daerah tidak naik.

Menyimak berita beberapa hari terakhir, tampaknya perselisihan masih akan terjadi sampai beberapa waktu ke depan karena pekerja/buruh merasa dirugikan dengan kebijakan upah minimum yang berlaku saat ini. Secara umum hubungan industrial memang sedang tidak baik. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya unjuk rasa dan gugatan pada PP 78/2015 dan dilanjutkan unjuk rasa dan gugatan kepada UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Mahkamah Konstitusi baru saja menetapkan bahwa Undang-Undang 11/2020 inkonstitutional bersyarat berdasarkan gugatan formil yang diajukan oleh SP/SB. Peraturan Pemerintah No 36/2021 yang saat ini mengatur kebijakan upah minimum adalah turunan dari UU 11/2020, sehingga hasil gugatan pada undang-undang tersebut dapat berdampak pada kebijakan upah minimum.

Untuk merespons kemungkinan memburuknya hubungan industrial ini, para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dalam melakukan beberapa hal dalam jangka pendek dan jangka menengah/panjang. Harapannya, biaya transaksi ekonomi yang muncul setelah penetapan kebijakan upah minimum dan kebijakan ketenagakerjaan pada umumnya dapat dikendalikan.

Bagi pemerintah, PP 36/2021 tetap berlaku dan digunakan dalam menghitung upah minimum. Pemerintah perlu segera mengawasi kewajiban perusahaan menyusun struktur dan skala upah yang juga diamanatkan dalam PP 36/2021. Struktur dan skala upah merupakan bagian dari Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dirundingkan di tingkat perusahaan.
Pemerintah dapat mengurangi perselisihan hubungan industrial dengan mendorong adanya struktur dan skala upah berbasis produktivitas. Meskipun upah minimum tidak naik, pekerja dapat menikmati upah yang lebih tinggi sesuai dengan struktur dan skala upah di tingkat perusahaan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki tugas pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan dapat memberikan bantuan teknis bagi perusahaan untuk membuat struktur dan skala upah.

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah juga dapat memberikan subsidi seperti Kartu Pekerja Jakarta. Dengan subsidi ini, beban hidup pekerja yang cukup tinggi karena pandemi dapat dikurangi meskipun kenaikan upahnya kecil. Program bantuan subsidi upah yang sempat diberikan oleh pemerintah pada 2020 juga dapat diberikan lagi untuk pekerja di beberapa daerah yang tidak mendapatkan kenaikan upah minimum.

Meskipun demikian, dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu terus memonitor pelaksanaan kebijakan upah minimum, karena ini merupakan program strategis nasional. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu memonitor pelaksanaan kebijakan upah minimum secara berkesinambungan, sebagai bagian dari program strategis nasional. Pemerintah membutuhkan sistem monitoring dan evaluasi yang baik, sehingga tujuan kebijakan upah minimum dapat dicapai dan dampak buruknya dapat dikurangi. Monitoring dan evaluasi juga diperlukan untuk memastikan kebijakan upah minimum adaptif terhadap pasar tenaga kerja yang dinamis.

Bila perlu, formula penghitungan upah minimum dapat diubah, disesuaikan dengan pasar kerja yang dinamis. Nugroho (2021) menemukan bahwa meskipun pakar mencapai konsensus penggunaan formula lebih efisien dibandingkan perundingan, tetapi mereka memberikan catatan pada formula dan variabel yang digunakan dalam PP 36/2021. Selain lebih rumit dibandingkan dengan formula pada PP 78/2015, beberapa pakar menilai formula ini mungkin tidak cocok dengan kondisi daerah tertentu.

Sebagian juga menilai formula yang digunakan tidak memperhitungkan kebutuhan dasar. Sebagian pakar juga mengkritisi batas atas upah minimum yang sebaiknya digunakan hanya di beberapa daerah yang upah minimumnya sudah terlalu tinggi saja.

Peninjauan kembali ini juga dapat mengambil momentum tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi yang meminta Pemerintah dan DPR memperbaiki tata cara pembuatan UU 11/2020, yang merupakan induk dari PP 36/2021.

Dalam jangka menengah, pengawasan harus terus dilakukan untuk memastikan hak pekerja untuk berserikat dan berunding juga dihormati oleh pengusaha. Dengan berserikat, yang merupakan hak dasar, pekerja mempunyai jalur untuk berunding dan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Harapan pekerja untuk mendapatkan kenaikan upah bisa didapatkan dari perundingan ditingkat perusahaan.

Sayangnya, tidak banyak pekerja yang menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Menurut BPS, hanya 13 orang menjadi anggota serikat pekerja dari 100 pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Hal ini juga merupakan pekerjaan rumah untuk aktivis serikat pekerja/buruh. Pengawasan juga perlu ditingkatkan untuk memastikan pekerja mendapatkan hak-hak lainnya seperti hak atas jaminan sosial, jam kerja, dan jam istirahat, tunjangan hari raya, cuti melahirkan dan hak lainnya sesuai dengan ketentuan.

Dan terakhir, sosial dialog perlu terus dikembangkan baik oleh SP/SB, APINDO maupun pemerintah. Sosial dialog seharusnya dilakukan secara berkala, tidak hanya ketika ada perselisihan hubungan industrial. Bahkan, sebenarnya sudah sangat terlambat untuk melakukan sosial dialog ketika sudah terjadi perselisihan.

Pemerintah dapat memulai sosial dialog ini dalam rangka perbaikan UU 11/2020 yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun MK hanya meminta perbaikan proses pembentukan UU 11/2020, tapi masalah materiilnya juga bisa diselesaikan apabila pihak-pihak yang terlibat dapat mengedepankan hubungan industrial yang dewasa.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1145 seconds (0.1#10.140)