Belajar dari Washington

Jum'at, 26 November 2021 - 16:29 WIB
loading...
Belajar dari Washington
Ichwan Arifin, Alumnus Pascasarjana Undip Semarang. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Ichwan Arifin
Alumnus Pascasarjana Undip Semarang
Ketua Dewan Pertimbangan PA GMNI Bojonegoro

SETELAH terbang sekitar 12 jam dari Narita, Tokyo, Jepang, pesawat akhirnya mendarat di Dulles International Airport, Virginia. Waktu menunjukkan jam 15.30 waktu setempat. Nama bandara itu diambil dari nama John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ke 52 semasa Presiden Dwight D Eisenhower.

Proses di imigrasi hanya sekitar 3-5 menit. Cek paspor, foto dan interview dengan pertanyaan standar. Namun karena antrean cukup panjang. Keluar dari bandara sekitar jam 17.00. Meski masih sore, tapi matahari sudah tenggelam.

Udara dingin menyergap begitu keluar dari bandara dan berjalan kaki ke parkiran mobil. Suhu sekitar 7 derajat celsius. Sangat dingin untuk ukuran orang Indonesia. Jaket berlapis, sarung tangan, dan syal lumayan membantu mengatasinya.

Jarak dari Bandara Dulles ke downtown Washington District of Columbia (DC), ibu kota Amerika Serikat sekitar 40 km. Hanya perlu waktu sekitar 1 jam saat lalu lintas lancar.

Washington DC, sering disebut sebagai DC (supaya lebih singkat sekaligus membedakan dengan negara bagian Washington) dipilih sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan federal oleh George Washington, Presiden Pertama Amerika Serikat. White House, Supreme Court, dan Capitol Building terletak di kota ini.

Wilayahnya mengambil sebagian area 2 negara bagian, yaitu Virginia dan Maryland. Mulai dibangun pada 1790 dengan arsitek Pierre Charles L'Enfant. Nama ibu kota mengambil nama George Washington, Komandan Pasukan Kontinental yang memimpin revolusi sekaligus menjadi presiden pertama Amerika Serikat.

Sedangkan nama District of Colombia terdapat beragam versi. Pertama diambil dari Columbia, Dewi Pelindung Amerika Serikat dan kedua untuk menghormati penemu Benua Amerika, Christopher Columbus.

Kota ini tidak hanya indah dari aspek lanskap dan tata kotanya, namun juga sarat dengan sejarah. Tidak hanya sejarah perjalanan Amerika Serikat sebagai sebuah bangsa, namun juga nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Semua itu terefleksikan dalam ragam landmark, taman kota dan gedung-gedung kuno yang terawat dengan baik.

Landmark yang terkenal adalah Washington Monument. Bentuknya seperti obelisk. Tinggi menjulang sekitar 169 meter. Sesuai namanya, dibangun untuk menghormati George Washington.

Di seberangnya ada Lincoln Memorial. Berbentuk bangunan mirip kuil Yunani. Di dalamnya dipahat pidato Presiden Abraham Lincoln yang dikenal dengan Pidato Gettysburg. Diucapkan pada 1863, setelah tentara Union mengalahkan Konfederasi dalam pertempuran Gettysburg, dimasa perang saudara (civil war).

Bagian dari pidato itu yang memuat nilai universal adalah, “Four score and seven years ago our fathers brought forth on this continent a new nation, conceived in Liberty, and dedicated to the proposition that all men are created equal…that this nation, under God, shall have a new birth of freedom, and that government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.”

Lincoln Memorial juga menjadi tempat Martin Luther King Jr, pejuang hak-hak sipil Amerika Serikat, menyampaikan pidato terkenalnya, “I have a Dream”.

Melihat prinsip-prinsip dasar demokrasi, good governance, clean government, suka atau tidak suka, kita perlu menengok ke Amerika Serikat. Negara ini dibangun di atas dasar demokrasi dan penghargaan yang kuat terhadap hak asasi manusia (HAM). Memang ada bidang gelap dalam sejarahnya yang bertolak belakang dengan prinsip dasar tersebut, seperti perbudakan. Namun, sebagai bangsa, mereka punya semangat untuk belajar dan mengubah bidang gelap tersebut menjadi sebaliknya.

Prinsip-prinsip dasar itu ditanamkan pada saat negara ini berdiri oleh para pendiri bangsa, seperti George Washington,Thomas Jefferson, James Madison, Alexander Hamilton, dan sebagainya. Pemisahan cabang-cabang kekuasaan seperti eksekutif, yudikatif dan legislatif diatur secara jelas dalam konstitusi.

George Washington, sebagai presiden pertama, sebagaimana dikutip dari George Washington’s Life (montvernon.org), merupakan administrator pemerintahan paling cakap, mengatur pemerintahan dengan keadilan dan integritas, meyakinkan rakyat Amerika Serikat bahwa presiden dapat menjalankan otoritas eksekutif yang luas tanpa korupsi, menetapkan preseden untuk otoritas presiden yang luas.

Washington juga tidak terjebak dalam magnet kekuasaan yang sering kali menggoda, yaitu memegang kekuasaan selama-lamanya. Bahkan dalam masa jabatan yang pertama, Washington meyakinkan publik Amerika bahwa pemerintahan dapat berjalan tanpa dirinya dan berencana mengundurkan diri setelah masa jabatannya selesai. Namun, atas desakan elite politik lainnya seperti Thomas Jefferson, Washington akhirnya menerima jabatan kedua dan baru setelah itu, mundur dari politik.

Indonesia sudah pernah mengalami masa-masa rezim penguasa yang nyaris tanpa batas. Meski awalnya baik, namun pada akhirnya terseret juga pada adagium klasik politik, “power tends to corrupt, and absolutely power corrupt absolutely”. Reformasi menjadi ruang perbaikan melalui amandemen UUD 1945, khususnya tentang pembatasan masa jabatan presiden.

Namun saat ini muncul ide tentang perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua kali. Ide ini pernah muncul pada masa akhir kekuasaan Presiden SBY, namun gagal berkembang. Sekarang muncul lagi di periode terakhir Presiden Jokowi.

Kadang bangsa ini mengidap memori pendek. Bidang gelap sejarah kita nyaris dilupakan. Karena itu, lupakanlah ide amandemen UUD 1945 jika hanya untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Presiden Jokowi memang penuh prestasi. Namun jangan digoda dengan nafsu tirani.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1045 seconds (0.1#10.140)