Belajar dari Washington

Jum'at, 26 November 2021 - 16:29 WIB
loading...
A A A
Di seberangnya ada Lincoln Memorial. Berbentuk bangunan mirip kuil Yunani. Di dalamnya dipahat pidato Presiden Abraham Lincoln yang dikenal dengan Pidato Gettysburg. Diucapkan pada 1863, setelah tentara Union mengalahkan Konfederasi dalam pertempuran Gettysburg, dimasa perang saudara (civil war).

Bagian dari pidato itu yang memuat nilai universal adalah, “Four score and seven years ago our fathers brought forth on this continent a new nation, conceived in Liberty, and dedicated to the proposition that all men are created equal…that this nation, under God, shall have a new birth of freedom, and that government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.”

Lincoln Memorial juga menjadi tempat Martin Luther King Jr, pejuang hak-hak sipil Amerika Serikat, menyampaikan pidato terkenalnya, “I have a Dream”.

Melihat prinsip-prinsip dasar demokrasi, good governance, clean government, suka atau tidak suka, kita perlu menengok ke Amerika Serikat. Negara ini dibangun di atas dasar demokrasi dan penghargaan yang kuat terhadap hak asasi manusia (HAM). Memang ada bidang gelap dalam sejarahnya yang bertolak belakang dengan prinsip dasar tersebut, seperti perbudakan. Namun, sebagai bangsa, mereka punya semangat untuk belajar dan mengubah bidang gelap tersebut menjadi sebaliknya.

Prinsip-prinsip dasar itu ditanamkan pada saat negara ini berdiri oleh para pendiri bangsa, seperti George Washington,Thomas Jefferson, James Madison, Alexander Hamilton, dan sebagainya. Pemisahan cabang-cabang kekuasaan seperti eksekutif, yudikatif dan legislatif diatur secara jelas dalam konstitusi.

George Washington, sebagai presiden pertama, sebagaimana dikutip dari George Washington’s Life (montvernon.org), merupakan administrator pemerintahan paling cakap, mengatur pemerintahan dengan keadilan dan integritas, meyakinkan rakyat Amerika Serikat bahwa presiden dapat menjalankan otoritas eksekutif yang luas tanpa korupsi, menetapkan preseden untuk otoritas presiden yang luas.

Washington juga tidak terjebak dalam magnet kekuasaan yang sering kali menggoda, yaitu memegang kekuasaan selama-lamanya. Bahkan dalam masa jabatan yang pertama, Washington meyakinkan publik Amerika bahwa pemerintahan dapat berjalan tanpa dirinya dan berencana mengundurkan diri setelah masa jabatannya selesai. Namun, atas desakan elite politik lainnya seperti Thomas Jefferson, Washington akhirnya menerima jabatan kedua dan baru setelah itu, mundur dari politik.

Indonesia sudah pernah mengalami masa-masa rezim penguasa yang nyaris tanpa batas. Meski awalnya baik, namun pada akhirnya terseret juga pada adagium klasik politik, “power tends to corrupt, and absolutely power corrupt absolutely”. Reformasi menjadi ruang perbaikan melalui amandemen UUD 1945, khususnya tentang pembatasan masa jabatan presiden.

Namun saat ini muncul ide tentang perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua kali. Ide ini pernah muncul pada masa akhir kekuasaan Presiden SBY, namun gagal berkembang. Sekarang muncul lagi di periode terakhir Presiden Jokowi.

Kadang bangsa ini mengidap memori pendek. Bidang gelap sejarah kita nyaris dilupakan. Karena itu, lupakanlah ide amandemen UUD 1945 jika hanya untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Presiden Jokowi memang penuh prestasi. Namun jangan digoda dengan nafsu tirani.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1463 seconds (0.1#10.140)