Jenderal TNI Maraden Panggabean: Pemimpin Laskar Rakyat, Loyalis Soeharto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenderal TNI Maraden Panggabean merupakan Panglima TNI yang lahir dan tumbuh di era Soeharto. Kenaikan pangkatnya lebih karena pertimbangan Presiden Soeharto yang takut terjadi aksi kudeta.
Saat menjadi Panglima Militer kala itu, Maraden bukanlah seorang orang yang kuat secara agama mayoritas maupun kesukuan. Meski demikian, selama masa kepimpinannya, TNI kerap mengirimkan prajuritnya ke kawasan Timor Timur untuk operasi militer.
Satu kisahnya saat membuat sekelompok perampok kendaraan untuk bertekuk lutut dan memberikan penghormatan kepada setiap kendaraan yang lewat. Cerita yang terjadi pada Februari 1959 itu terjadi di kawasan Parapat, Sumatera Barat.
Baca juga: Perjalanan Berliku Jenderal Soedirman, dari Guru hingga Panglima Besar
Dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi, Maraben yang kala itu menjadi Komandan Batalion 104 Waringin Brigade Tapanuli (TT 1 Bukit Barisan) dan berpangkat Mayor bertugas mengambilalih tugas pengamanan daerah Simalungun dari eks Batalion Pengamanan NST, pimpinan Kapten Bisara Sinaga.
Saat mendapatkan mandat itu, ia melakukan pembersihan jalan Pematangsiantar-Parapat dari gangguan dan perampokan gerombolan liar Simarmata, eks BHL (Barisan Harimau Liar) yang diusir dari daerah perbatasan Riau-Tapanuli Selatan.
"Setiap batalion ditugaskan mengadakan patroli di wilayah masing-masing untuk memberantas kaum pengacau yang dimotori oleh sisa-sisa Barisan Harimau Liar itu," tulis istri Maraden.
Setelah mencapai markas Batalion 104 di sebuah rumah di Jalan Kartini Pematangsiantar, Maraden segera mengoper tugas dari Kapten Bisara. Serah terima itu dilakukan di lapangan di depan Hotel Siantar dan mendapat perhatian dari masyarakat. "Saya ingin melihat penampilan TNI yang baru keluar dari rimba," kata Maraden.
Baca juga: Jejak TB Simatupang, Gerilya Bersama Jenderal Soedirman hingga Menjadi Pahlawan Nasional
Setelahnya, Maraden mengatur penempatan pasukannya dan memerintahkan bawahannya mencari informasi tempat persembunyian gerombolan Simarmata yang kala itu bersembunyi di hutan antara Tigadolok dan Aek Nauli. Informasi itu kemudian didapat dari seorang anak laki laki.
Membawa satu pleton pasukan di bawah Letnan RF Soedirdjo, Maraden memimpin operasi rahasia itu. Mereka menyergap sebuah gubug pada pukul 3 pagi setelah berjalan melintasi hutan yang gelap-pekat. Sayang dalam penyergapan menggunakan 12 anggota itu, Simarmata berhasil meloloskan diri.
Setelah menangkap gerombolan perompak itu, Maraden menggiringnya ke pinggir jalan raya antara Pematangsiantar dan Parapat. Ia kemudian memerintahkan mereka memberi hormat senjata dengan amunisi kosong kepada setiap kendaraan yang lewat.
Saat menjadi Panglima Militer kala itu, Maraden bukanlah seorang orang yang kuat secara agama mayoritas maupun kesukuan. Meski demikian, selama masa kepimpinannya, TNI kerap mengirimkan prajuritnya ke kawasan Timor Timur untuk operasi militer.
Satu kisahnya saat membuat sekelompok perampok kendaraan untuk bertekuk lutut dan memberikan penghormatan kepada setiap kendaraan yang lewat. Cerita yang terjadi pada Februari 1959 itu terjadi di kawasan Parapat, Sumatera Barat.
Baca juga: Perjalanan Berliku Jenderal Soedirman, dari Guru hingga Panglima Besar
Dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi, Maraben yang kala itu menjadi Komandan Batalion 104 Waringin Brigade Tapanuli (TT 1 Bukit Barisan) dan berpangkat Mayor bertugas mengambilalih tugas pengamanan daerah Simalungun dari eks Batalion Pengamanan NST, pimpinan Kapten Bisara Sinaga.
Saat mendapatkan mandat itu, ia melakukan pembersihan jalan Pematangsiantar-Parapat dari gangguan dan perampokan gerombolan liar Simarmata, eks BHL (Barisan Harimau Liar) yang diusir dari daerah perbatasan Riau-Tapanuli Selatan.
"Setiap batalion ditugaskan mengadakan patroli di wilayah masing-masing untuk memberantas kaum pengacau yang dimotori oleh sisa-sisa Barisan Harimau Liar itu," tulis istri Maraden.
Setelah mencapai markas Batalion 104 di sebuah rumah di Jalan Kartini Pematangsiantar, Maraden segera mengoper tugas dari Kapten Bisara. Serah terima itu dilakukan di lapangan di depan Hotel Siantar dan mendapat perhatian dari masyarakat. "Saya ingin melihat penampilan TNI yang baru keluar dari rimba," kata Maraden.
Baca juga: Jejak TB Simatupang, Gerilya Bersama Jenderal Soedirman hingga Menjadi Pahlawan Nasional
Setelahnya, Maraden mengatur penempatan pasukannya dan memerintahkan bawahannya mencari informasi tempat persembunyian gerombolan Simarmata yang kala itu bersembunyi di hutan antara Tigadolok dan Aek Nauli. Informasi itu kemudian didapat dari seorang anak laki laki.
Membawa satu pleton pasukan di bawah Letnan RF Soedirdjo, Maraden memimpin operasi rahasia itu. Mereka menyergap sebuah gubug pada pukul 3 pagi setelah berjalan melintasi hutan yang gelap-pekat. Sayang dalam penyergapan menggunakan 12 anggota itu, Simarmata berhasil meloloskan diri.
Setelah menangkap gerombolan perompak itu, Maraden menggiringnya ke pinggir jalan raya antara Pematangsiantar dan Parapat. Ia kemudian memerintahkan mereka memberi hormat senjata dengan amunisi kosong kepada setiap kendaraan yang lewat.