Perjalanan Berliku Jenderal Soedirman, dari Guru hingga Panglima Besar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perjalanan karier Jenderal Soedirman cukup panjang dan berliku. Ia memulainya sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah di Cilacap, Jawa Tengah hingga kelak dirinya dikenal sebagai Jenderal Besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman, pahlawan nasional yang memimpin perang gerilya melawan agresi militer Belanda .
Perjuangan Jenderal Soedirman dalam membela Tanah Air telah menorehkan beberapa kisah hebat yang patut dikenang rakyat Indonesia. Melansir berbagai sumber, berikut beberapa kisah dalam perjalanan karier Jenderal Soedirman.
1. Karier sebagai Guru
Dikutip dari "Perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman Pada Masa Revolusi Fisik Tahun 1945-1950 di Indonesia" oleh Dika Restu Ayuningtyas, sebelum berkecimpung di dunia militer, Soedirman lebih dulu terjun sebagai tenaga pendidik dengan menjadi guru dan kepala sekolah di HIS Muhammadiyah Cilacap pada 1936. Dalam mengajar, ia selalu menyelipkan nilai-nilai dan semangat nasionalisme kepada muridnya lewat cerita Revolusi Prancis.
Baca juga: Pesan Muhammadiyah untuk Panglima TNI Andika Perkasa: Teladani Jenderal Soedirman
Kecerdasannya dalam mengajar membuat ia disukai oleh murid-muridnya. Tidak hanya murid, para pengajar yang ada di HIS Muhammadiyah memberi kepercayaan pada Soedirman untuk naik jabatan menjadi kepala sekolah.
Meskipun memiliki bakat menjadi pendidik, Soedirman tidak memiliki ijazah sebagai guru karena ia hanya lulus sekolah menengah pertama MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo. Untuk mengatasi kekurangannya dalam hal ini, ia memilih belajar dari guru-gurunya di MULO Wiworotomo. Tidak hanya itu, Soedirman juga berperan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat di wilayah tempat tinggalnya dengan membuka koperasi.
Jenderal Soedirman melambaikan tangan atas sambutan rakyat yang meriah di stasiun Manggarai Jakarta pada1 November 1946. FOTO/ANRI
2. Awal Karier di Bidang Militer
Akibat serangan Jepang, Soedirman yang kala itu berprofesi sebagai kepala sekolah terpaksa melepaskan jabatannya. Saat pendudukan Jepang, ia menjadi anggota Syu Sangikai (dewan perwakilan), anggota Jawa Hokokai Karesidenan Banyumas, serta mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944. Setelahnya, ia dinobatkan menjadi daidancho (komandan battalion) Daidan III di Kroya, Banyumas.
Kemerdekaan Indonesia membuat Kolonel Soedirman dipercaya menjabat sebagai komandan di Divisi V TKR Purwokerto pada usia 29 tahun. Ia berperan dalam mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jateng. Setelahnya, pada 18 Desember 1945, Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR oleh Presiden Soekarno.
Baca juga: 57 Tahun Hilang Kontak, 2 Mantan Pengawal Jenderal Soedirman dan Moestopo Ketemu
3. Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman
Kisah heroik ini datang dari 1946, setahun setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Meskipun telah menyatakan kemerdekaannya, Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hingga 1946, Belanda masih terus berusaha menginvasi wilayah Indonesia. Tidak hanya melalui diplomasi, pihak Belanda juga mengirimkan angkatan perangnya untuk kembali mengklaim wilayah Indonesia.
Pada 1 November 1946, Jenderal Soedirman bersama para pimpinan Tentara Republik Indonesia (TRI) datang ke Jakarta untuk menindaklanjuti hasil Perjanjian Linggarjati yang telah mendekati final. Namun, Panglima KNIL Jenderal S H Spoor menganggap upaya Soedirman itu dilakukan untuk memprovokasi dan membuat pihak Belanda merasa malu. Di sisi lain, Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir mengambil kesempatan ini untuk menunjukkan kepada pihak Belanda dan Inggris mengenai kehebatan tentara RI.
Perjuangan Jenderal Soedirman dalam membela Tanah Air telah menorehkan beberapa kisah hebat yang patut dikenang rakyat Indonesia. Melansir berbagai sumber, berikut beberapa kisah dalam perjalanan karier Jenderal Soedirman.
1. Karier sebagai Guru
Dikutip dari "Perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman Pada Masa Revolusi Fisik Tahun 1945-1950 di Indonesia" oleh Dika Restu Ayuningtyas, sebelum berkecimpung di dunia militer, Soedirman lebih dulu terjun sebagai tenaga pendidik dengan menjadi guru dan kepala sekolah di HIS Muhammadiyah Cilacap pada 1936. Dalam mengajar, ia selalu menyelipkan nilai-nilai dan semangat nasionalisme kepada muridnya lewat cerita Revolusi Prancis.
Baca juga: Pesan Muhammadiyah untuk Panglima TNI Andika Perkasa: Teladani Jenderal Soedirman
Kecerdasannya dalam mengajar membuat ia disukai oleh murid-muridnya. Tidak hanya murid, para pengajar yang ada di HIS Muhammadiyah memberi kepercayaan pada Soedirman untuk naik jabatan menjadi kepala sekolah.
Meskipun memiliki bakat menjadi pendidik, Soedirman tidak memiliki ijazah sebagai guru karena ia hanya lulus sekolah menengah pertama MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo. Untuk mengatasi kekurangannya dalam hal ini, ia memilih belajar dari guru-gurunya di MULO Wiworotomo. Tidak hanya itu, Soedirman juga berperan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat di wilayah tempat tinggalnya dengan membuka koperasi.
Jenderal Soedirman melambaikan tangan atas sambutan rakyat yang meriah di stasiun Manggarai Jakarta pada1 November 1946. FOTO/ANRI
2. Awal Karier di Bidang Militer
Akibat serangan Jepang, Soedirman yang kala itu berprofesi sebagai kepala sekolah terpaksa melepaskan jabatannya. Saat pendudukan Jepang, ia menjadi anggota Syu Sangikai (dewan perwakilan), anggota Jawa Hokokai Karesidenan Banyumas, serta mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944. Setelahnya, ia dinobatkan menjadi daidancho (komandan battalion) Daidan III di Kroya, Banyumas.
Kemerdekaan Indonesia membuat Kolonel Soedirman dipercaya menjabat sebagai komandan di Divisi V TKR Purwokerto pada usia 29 tahun. Ia berperan dalam mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jateng. Setelahnya, pada 18 Desember 1945, Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR oleh Presiden Soekarno.
Baca juga: 57 Tahun Hilang Kontak, 2 Mantan Pengawal Jenderal Soedirman dan Moestopo Ketemu
3. Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman
Kisah heroik ini datang dari 1946, setahun setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Meskipun telah menyatakan kemerdekaannya, Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Hingga 1946, Belanda masih terus berusaha menginvasi wilayah Indonesia. Tidak hanya melalui diplomasi, pihak Belanda juga mengirimkan angkatan perangnya untuk kembali mengklaim wilayah Indonesia.
Pada 1 November 1946, Jenderal Soedirman bersama para pimpinan Tentara Republik Indonesia (TRI) datang ke Jakarta untuk menindaklanjuti hasil Perjanjian Linggarjati yang telah mendekati final. Namun, Panglima KNIL Jenderal S H Spoor menganggap upaya Soedirman itu dilakukan untuk memprovokasi dan membuat pihak Belanda merasa malu. Di sisi lain, Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir mengambil kesempatan ini untuk menunjukkan kepada pihak Belanda dan Inggris mengenai kehebatan tentara RI.