GLF 2020, Indonesia Jadi Perhatian Dunia Terkait Hutan dan Lingkungan

Sabtu, 06 Juni 2020 - 17:04 WIB
loading...
GLF 2020, Indonesia Jadi Perhatian Dunia Terkait Hutan dan Lingkungan
Menteri LHK, Siti Nurbaya, ketika berbicara pada sesi penutupan GLF Bonn 2020 Digital Summit yang dilaksanakan Jumat 5 Juni 2020 tengah malam, melalui video conference. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Dalam menangani pandemi Covid-19 atau virus Corona, pemerintah Indonesia memutuskan melakukan refocussing anggaran nasional untuk jaring pengaman sosial dan melindungi rakyat dengan menyediakan fasilitas kesehatan, pasokan makanan, serta stimulus ekonomi bagi yang terdampak Corona.

(Baca juga: KLHK dan Universitas Brawijaya Kerja Sama dalam Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan)

Dalam kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada konteks tema diskusi 'Global Landscape Forum 2020', tetap melangkah bekerja melindungi hutan dari perambahan dan terus meningkatkan langkah penegakan hukum.

Hal ini dikatakan Menteri LHK, Siti Nurbaya, ketika berbicara pada sesi penutupan Global Landscapes Forum (GLF) Bonn 2020 Digital Summit yang dilaksanakan Jum'at 5 Juni 2020 menjelang tengah malam Waktu Indonesia Barat (WIB) melalui video conference.

"Indonesia terus berupaya menjaga kawasan dan lingkungan sebaik-baiknya dan upaya terhindar dari ekosida (ecocide) dan di sisi lain mendorong prinsip keadilan restorative (restorative justice)," ujar Siti Nurbaya dalam siaran pers, Sabtu (6/6/2020).

Sesi penutupan yang bertajuk Building the Future We Want-Green Recovery from Covid-19 ini menyoroti peluang langkah stimulus dan reformasi kebijakan untuk mendukung ekonomi hijau dan solusi berbasis alam, menjelaskan langkah-langkah prioritas untuk 'building back better' dari keterpurukan akibat pandemi serta mengeksplorasi hubungan antara pemulihan berkelanjutan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati.

Lebih lanjut kata Siti Nurbaya, sebagai upaya Indonesia untuk meningkatkan sumber daya alam dan lingkungan telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, dan upaya ini serta pembaruan masih terus dilakukan.

"Komitmen dan upaya kami bahkan lebih kuat dari sebelumnya, termasuk pengaturan carbon pricing yang sedang dalam godokan dan segera dibahas pada tingkat rapat kabinet," katanya.

Menurutnya, penerimaan dari carbon akan identik dan selaras dengan langkah-langkah green econony hang dijalankan oleh suatu negara, sebagaimana ditegaskan Prof Esward Barbier.

"Ketika FAO memperingatkan dunia tentang kelangkaan pangan karena Covid-19, maka negara-negara berusaha mengembangkan lahan yang subur untuk tanaman pangan. Namun, praktik pertanian di zona ekologis yang rentan harus dikelola dengan baik ketika itu tidak dapat dihindari," tegas Siti Nurbaya.

Oleh karena itu menurut Siti, pendekatan dan pemenuhan syarat budidaya, syarat manajemen atau pengelolaan, dan syarat konservasi secara tepat menjadi langkah sangat penting untuk dipraktikkan dalam pembangunan pertanian secara berkelanjutan.

"Ini bukan hal mudah, perlu dukungan yang komprehensif. Untuk itu Indonesia menyambut kerja sama yang lebih erat dan memastikan dengan memperhatikan masyarakat dalam hal kesehatan, pangan, sambil mengelola hutan dan bentang alam secara berkelanjutan menuju masa depan yang kita inginkan," ucapnya.

Dalam mengakhiri pandangannya pada forum internasional bergengsi tersebut, Siti Nurbaya menyatakan, pandemi Covid-19 merupakan persoalan multi-facet dan perlu ditangani dengan penegasan orientasi pembangunan berkelanjutan, inklusif, seraya membangun kohesi sosial masyarakat dalam solidaritas global.

Selain Siti, panelis yang memberikan pandangannya pada sesi diskusi penutupan GLF ini adalah Inger Andersen, Executive Director of UNEP, Prof. Edward B. Barbier, Colorado State University, Ibrahim Thiaw, Executive Secretary of UNCCD, Achim Steiner, Administrator of UNDP, Naoko Ishii, CEO and Chairperson of Global Environment Facility danYugratna Shrivastava dari UN Major Groups Youth Representative.

Profesor Edward Barbier dari Colorado State University pada sambutan pembukaan sesi menyatakan bahwa untuk solusi iklim berbasi alam di negara berkembang perlu diiplementasikan tiga kebijakan utama yang merupakan strategi jangka panjang yang meliputi menghilangkan subsisi bahan bakar fosil dan meralokasikannya untuk mendorong pengembangan energi berkelanjutan, menghilangkan subsidi irigasi dan merealokasikannya untuk meningkatkan sanitasi perkotaan dan penyediaan air minum, dan mengenakan pajak karbon.

Selanjutnya Achim Steiner dari UNDP menyatakan, kita tidak dapat melangkah melakukan transformasi menuju ekonomi hijau tanpa dukungan masyarakat.

Inger Andersen dari UNEP menyatakan bahwa stimulus ekonomi dapat diarahkan pada upaya-upaya menuju ke arah perbaikan lingkungan dan kelestarian alam, terutama konservasi keanekaragaman hayati. Keseimbangan alam salah satunya ditentukan oleh keanekaragaman hayati. Untuk itu kita harus bergerak bersama. Kita harus mengganti keseharian kita menuju masa depan yang lebih hijau.

Sementara itu, Naoko Ishii, CEO dan Ketua GEF, menyatakan bahwa ketidakseimbangan ekosistem merupakan akar masalah merebaknya Pandemi Covid-19. Dalam hal ini kita harus memfokuskan pada transformssi sistem pangan sebagai dampak Covid-19 dengan meningkatkan kemitraan di sepanjang rantai pasokan pangan.

Yugratna Srivasta, perwakilan dari youth community menegaskan, kita tidak dapat kembali ke kenormalan sebelumnya karena sistem sebelumnya tidak dapat lagi dipertahankan akbiat Covid-19. Untuk itu kita harus melakukan penyesuaian-penyesuaian yang mendorong pada kehidupan yang lebih ramah lingkungan.

Ibrahim Thiaw dari UNCCD menyatakan bahwa kita perlu memerlukan kerja sama yang semakin erat di tingkat internasional. Kita tidak dapat mengatasi masalah dunia, terutama terkait Covid-19, tanpa dukungan semua pihak.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1329 seconds (0.1#10.140)