Menang di MA, Demokrat Diminta Tetap Waspadai Brutalitas Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kemenangan Partai Demokrat di Mahkamah Agung (MA) patut disyukuri sebagai kemenangan demokrasi. Akan tetapi Demokrat maupun masyarakat sipil diingatkan untuk tetap mewaspadai ancaman brutalitas demokrasi, baik di dunia nyata maupun di dunia nyata.
Peringatan ini disampaikan oleh Ahli Hukum, yang juga Aktivis HAM dan Demokrasi Bambang Widjojanto (BW). BW mengingatkan bahwa kemenangan di MA bukanlah 'hadiah' dari pemerintah pada Demokrat. Baca juga: Jansen Demokrat Tes PCR: Saat Dicolok Terbayang Aku Memperkaya Pejabat
"Ini tidak lepas dari upaya Partai Demokrat yang sangat serius menjaga setiap persidangan. Istilahnya man to man marking," ujar BW dalam keterangannya, Senin (22/11/2021).
Di sisi lain, kata dia, Demokrat juga melakukan komunikasi yang aktif dan masif pada publik sehingga memperoleh dukungan masyarakat. BW mengingatkan bahwa upaya kudeta terhadap Demokrat ini bukan hanya persoalan Demokrat saja tapi juga persoalan masyarakat sipil.
"Saya menyebutnya sebagai brutalitas demokrasi, karena memang sudah brutal sekali cara-caranya," tegas BW.
Ke depan, BW mengingatkan Demokrat harus melibatkan para aktivis, para akademisi dan anak-anak muda pemilik suara di masa depan untuk bukan hanya tahu tapi juga berani bersuara. Menurutnya, ini saatnya menunjukkan keberpihakan.
Dia menggarisbawahi bahwa pada saat ini berbagai survei menunjukkan elektabilitas Demokrat maupun Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terus menunjukkan tren naik. "Ini kesempatan yang baik untuk memanaskan mesin partai sambil tetap melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil dengan terus berlatih berkoordinasi dan bergerak dalam komando sambil tetap fleksibel melihat persoalan. Jangan reaktif, tapi harus memimpin dengan melihat secara jernih berbagai persoalan yang berkembang," jelas BW.
Tidak hanya di dunia nyata, tekanan terhadap Demokrat juga terjadi di dunia maya. Jurnal 'Inside Indonesia' edisi 146 (Okt-Des 2021) yang diterbitkan Australia mempublikasikan serangkaian hasil riset tentang pasukan siber di Indonesia, salah satunya berjudul 'A Digital Coup Inside Partai Demokrat'. Riset dilakukan secara bersama oleh Universitas Diponegoro, University of Amsterdam, LP3ES dan Drone Emprit.
Salah satu periset utamanya Dosen Undip Dr Wijayanto mengingatkan bahwa informasi yang benar seperti oksigen dalam demokrasi karena orang menggunakan informasi untuk mengambil keputusan. "Karena itu, disinformasi dan hoaks (yang disebarkan pasukan siber), menjadi gas beracun dalam demokrasi," kata Wija yang juga Direktur Center for Media and Democracy LP3ES ini.
Bagi Wija, apa yang terjadi pada Demokrat ini merupakan pelemahan sistematis oposisi. Penguasa mencoba membeli legitimasi menggunakan pasukan siber.
"Ini mungkin bisa terjadi dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang publik akan sadar sehingga menjadi bumerang," katanya.
Terinspirasi oleh riset gabungan tersebut, Kabalitbang DPP Partai Demokrat Tomi Satryatomo melakukan analisa jaringan sosial (social network analysis) atas dua partai non pemerintah dibandingkan dengan enam partai koalisi pemerintah.
Analisa menggunakan big data selama periode enam bulan sejak 15 Mei hingga 15 November 2021 ini menemukan indikasi Demokrat maupun PKS dibayang-bayangi oleh pendengung bayaran, dengan aktor-aktor pelaku yang sebagian sama, dan juga ditemukan kesamaan narasi negatif terhadap kedua partai non pemerintah tersebut.
Peringatan ini disampaikan oleh Ahli Hukum, yang juga Aktivis HAM dan Demokrasi Bambang Widjojanto (BW). BW mengingatkan bahwa kemenangan di MA bukanlah 'hadiah' dari pemerintah pada Demokrat. Baca juga: Jansen Demokrat Tes PCR: Saat Dicolok Terbayang Aku Memperkaya Pejabat
"Ini tidak lepas dari upaya Partai Demokrat yang sangat serius menjaga setiap persidangan. Istilahnya man to man marking," ujar BW dalam keterangannya, Senin (22/11/2021).
Di sisi lain, kata dia, Demokrat juga melakukan komunikasi yang aktif dan masif pada publik sehingga memperoleh dukungan masyarakat. BW mengingatkan bahwa upaya kudeta terhadap Demokrat ini bukan hanya persoalan Demokrat saja tapi juga persoalan masyarakat sipil.
"Saya menyebutnya sebagai brutalitas demokrasi, karena memang sudah brutal sekali cara-caranya," tegas BW.
Ke depan, BW mengingatkan Demokrat harus melibatkan para aktivis, para akademisi dan anak-anak muda pemilik suara di masa depan untuk bukan hanya tahu tapi juga berani bersuara. Menurutnya, ini saatnya menunjukkan keberpihakan.
Dia menggarisbawahi bahwa pada saat ini berbagai survei menunjukkan elektabilitas Demokrat maupun Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terus menunjukkan tren naik. "Ini kesempatan yang baik untuk memanaskan mesin partai sambil tetap melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil dengan terus berlatih berkoordinasi dan bergerak dalam komando sambil tetap fleksibel melihat persoalan. Jangan reaktif, tapi harus memimpin dengan melihat secara jernih berbagai persoalan yang berkembang," jelas BW.
Tidak hanya di dunia nyata, tekanan terhadap Demokrat juga terjadi di dunia maya. Jurnal 'Inside Indonesia' edisi 146 (Okt-Des 2021) yang diterbitkan Australia mempublikasikan serangkaian hasil riset tentang pasukan siber di Indonesia, salah satunya berjudul 'A Digital Coup Inside Partai Demokrat'. Riset dilakukan secara bersama oleh Universitas Diponegoro, University of Amsterdam, LP3ES dan Drone Emprit.
Salah satu periset utamanya Dosen Undip Dr Wijayanto mengingatkan bahwa informasi yang benar seperti oksigen dalam demokrasi karena orang menggunakan informasi untuk mengambil keputusan. "Karena itu, disinformasi dan hoaks (yang disebarkan pasukan siber), menjadi gas beracun dalam demokrasi," kata Wija yang juga Direktur Center for Media and Democracy LP3ES ini.
Bagi Wija, apa yang terjadi pada Demokrat ini merupakan pelemahan sistematis oposisi. Penguasa mencoba membeli legitimasi menggunakan pasukan siber.
"Ini mungkin bisa terjadi dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang publik akan sadar sehingga menjadi bumerang," katanya.
Terinspirasi oleh riset gabungan tersebut, Kabalitbang DPP Partai Demokrat Tomi Satryatomo melakukan analisa jaringan sosial (social network analysis) atas dua partai non pemerintah dibandingkan dengan enam partai koalisi pemerintah.
Analisa menggunakan big data selama periode enam bulan sejak 15 Mei hingga 15 November 2021 ini menemukan indikasi Demokrat maupun PKS dibayang-bayangi oleh pendengung bayaran, dengan aktor-aktor pelaku yang sebagian sama, dan juga ditemukan kesamaan narasi negatif terhadap kedua partai non pemerintah tersebut.
(kri)