Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Jum'at, 19 November 2021 - 15:09 WIB
loading...
Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi
Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah poin penting dihasilkan dalam Conference of the Parties ke-26 (COP26) UNFCCC di Glasgow, Skotlandia yang telah berakhir pada 13 November 2021. Di antaranya negara peserta sepakat mengurangi emisi gas rumah kaca dan pemanasan global, membatasi penggunaan energi fosil, dan komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara berkembang untuk adaptasi iklim.

Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, Dewi Rizki menganggap bahwa COP26 memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat Celcius di atas suhu era pra industri. Ia mendorong implementasi harus selaras dengan target yang dicanangkan. Menurut Dewi, Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim. NDC adalah dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

"Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan," ujar Dwi dalam keterangan tertulis yang dikutip, Jumat (19/11/2201).

Baca juga: RI Ambil Bagian dalam G20 dan COP26, Erick Thohir Beberkan Hasilnya

Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. Dalam COP26 ditekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Peran NPS (non-party stakeholders) seperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, swasta, harus dibuka agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan. "Kuncinya semua sektor harus dilibatkan," kata Dewi.

Utamanya sektor energi. Salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara. Dalam Pakta iklim Glasgow, gagal menghentikan penggunaan batubara secara penuh. Batu bara selama ini adalah penyebab karbon yang memicu pemanasan global. Pada menit-menit akhir penandatanganan draf kesepakatan, India dan China melobi untuk melemahkan penghentian secara penuh itu. Kedua negara itu bersikeras menghapus kata "menghentikan" penggunaan batubara dan menggantinya dengan kata "mengurangi" secara bertahap.

Masalah bantuan dana dari negara-negara maju juga berpengaruh bagi Indonesia. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, secara akumulatif Indonesia butuh dana sebesar Rp3.779,63 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2030. Dari biaya adaptasi iklim sebanyak Rp3.779,63 triliun itu, pos paling besar adalah sektor transportasi dan energi. Porsinya sebesar 92% atau sekitar Rp3.500 triliun.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya.

Baca jug: Jokowi Serukan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan di FOLU Summit COP26

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Pada 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton, atau 102% dari target. Hal ini menunjukkan, dari sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan.

Batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80% energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Fabby menjelaskan, batu bara kontribusi 40% pada emisi global. Indonesia memiliki kemajuan dengan rencana akan mempensiunkan dini beberapa PLTU (pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang memakai batu bara. "Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau," kata Fabby.

Langkah peralihan ini bisa dimulai dengan melakukan disinsentif pada sektor yang bergantung pada energi batu bara. Sektor transportasi juga perlu beranjak dari energi fosil agar bumi tak makin kotor karena emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Di sisi lain, Pemerintah perlu memberikan insentif pada sektor yang menggunakan energi ramah lingkungan. Sehingga, penggunaan energi hijau makin banyak yang batu bara makin dijauhi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1551 seconds (0.1#10.140)