Pasca COP26 Perlu Kerja Konkret untuk Selamatkan Bumi

Jum'at, 19 November 2021 - 15:09 WIB
loading...
A A A
COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam.

"Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030," kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Selain itu, Nadia juga mendorong pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa, dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia. Selain itu, penting untuk mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial. Langkah ini mempunyai potensi untuk berkontribusi hingga 34,6% terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi restorasi gambut, terutama di area izin dan konsesi serta pemulihan mangrove yang menjadi target pemerintah pada 2021-2024.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin, melalui pencegahan karhutla, manajemen gambut, Moratorium Hutan Alam dan Gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum (law enforcement).

Untuk mencapai target net sink FOLU 2030, maka dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah, termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan.

"Selain itu, Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki safeguards yang kuat agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal," kata Nadia Hadad.

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup dan masyarakat Adat Dayak menjelaskan, COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. "Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka," ujarnya.

Menurut Belai, partisipasi kaum muda dalam aksi iklim perlu didefinisikan ulang. Apakah hanya sekadar konsultasi atau sampai ikut terlibat dalam kepemimpinan. Keterlibatan kaum muda perlu dilembagakan secara nasional. Agar masukan dari kaum muda diperhatikan secara nasional. "Dewan nasional ini perlu agar anak muda memiliki perwakilan suara yang resmi," kata Belai. Kerja-kerja itu harus diturunkan dalam aksi yang konkret, detail, dan transparan. Agar tak ada lagi isu ketidak percayaan dalam kerja-kerja aksi iklim.

Hasil kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow, tentu akan sia-sia jika hanya digubris oleh para pemerhati iklim. Kepedulian sekecil apapun wujudnya, akan turut membantu memperbaiki bumi. Mulai mengurangi konsumsi energi atau sekadar mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Kini sudah waktunya bagi kita bergerak menyelamatkan bumi.
(abd)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1966 seconds (0.1#10.140)