Memiskinkan Tak Cukup, Jadi Alasan Jaksa Agung Ingin Hukum Mati Koruptor
loading...
A
A
A
"Keberadaan sanksi pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera," sambungnya.
Apalagi kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-Udang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia.
Ia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor merumuskan, korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati.
Misalnya kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang. Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.
Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera. Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.
"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," jelasnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana tersebut berkaca dari dua kasus korupsi kelas kakap yang digarap oleh Kejagung, yakni pengelolaan dana keuangan dan investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT ASABRI (Persero).
Kasus Jiwasraya berdampak pada banyak masyarakat luas ataupun para pegawai yang mendapat jaminan sosial tak terpenuhi haknya. Diketahui, kasus itu merugikan negara hingga Rp16,8 triliun.
Hal serupa juga kembali terjadi pada kasus korupsi Asabri yang turut merugikan hak-hak prajurit di Indonesia. Dimana, mereka memiliki harapan untuk masa pensiun dan masa depan keluarganya lewat asuransi yang dikelola perusahaan pelat merah itu.
Apalagi kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-Udang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia.
Ia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor merumuskan, korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati.
Misalnya kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang. Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.
Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera. Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.
"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," jelasnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana tersebut berkaca dari dua kasus korupsi kelas kakap yang digarap oleh Kejagung, yakni pengelolaan dana keuangan dan investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT ASABRI (Persero).
Kasus Jiwasraya berdampak pada banyak masyarakat luas ataupun para pegawai yang mendapat jaminan sosial tak terpenuhi haknya. Diketahui, kasus itu merugikan negara hingga Rp16,8 triliun.
Hal serupa juga kembali terjadi pada kasus korupsi Asabri yang turut merugikan hak-hak prajurit di Indonesia. Dimana, mereka memiliki harapan untuk masa pensiun dan masa depan keluarganya lewat asuransi yang dikelola perusahaan pelat merah itu.