Kala Mural Bicara Ekspresi yang Privat pun yang Komunal, Rizal Ramli: Kok Kejahatan????
loading...
A
A
A
TANGERANG - Sambil bergegas membawa kaleng cat semprot yang catnya menyembur liar, Farhan menuju kanvas di samping kanannya yang hanya berjarak 3 meter. Secepat kilat Farhan mengarahkan cat semprot hingga menciprat ke kanvas, membentuk pola tak beraturan, titik, garis, singgungan, lelehan, dan entah apalah.
baca juga: Soal Mural Jokowi 404 Not Found, Moeldoko: Presiden Engga Pernah Pusing dengan Kritik
Hanya hitungan detik, semburan cat yang keluar dari lubang kecil di dekat kepala kaleng cat, tekanannya perlahan mengecil hingga menyisakan tetesan cat. Lubang kecil itu tadinya sengaja dibolongi oleh Farhan dengan pahat. “Tekanan gas dalam kaleng ini kan tinggi. Kalo kalengnya dilubangi, catnya lebih cepat menyembur dan lebih enak kita menyemprotkannya ke kanvas ketimbang kita semprotkan dengan menekan tombolnya,” kata Farhan menjelaskan teknik melukisnya yang tak biasa.
Ada empat kaleng cat yang masing-masing berwarna kuning, biru, hitam, dan merah, habis disemprotkan Farhan ke kanvas yang dilukisnya. Cipratan cat membentuk pola unik dan perpaduan warna yang indah. Lelehan cat juga membuat gambar yang dihasilkan makin terlihat cantik dan sedap dipandang.
Seniman Hana Madness nampak menikmati melukis mural. foto/L Project
Tak berhenti sampai di situ, sejumlah orang yang menonton diminta Farhan untuk menyodorkan sepatu masing-masing. Tanpa tedeng aling-aling, Farhan lalu mencipratkan sisa-sisa cat yang masih menetes dari kaleng ke sepatu orang-orang itu. Bukannya marah, orang-orang tersebut malah berebut minta sepatunya dicipratkan cat. “Jadi bagus begini sepatu gua. Mahal ini sepatu, ada karya seninya,” celetuk seorang fotografer yang dari tadi sibuk memotret Farhan melukis.
baca juga: Polemik Mural Jokowi di Tangerang, Pakar Telematika Jelaskan Istilah 404: Not Found
Farhan yang dijuluki “The Asian Bansky”, dalam karyanya banyak berbicara mengenai kapitalisme dan konsumerisme yang terjadi di dalam kehidupan urban. Pria bernama lengkap Farhan Siki, ini secara aktif turun ke jalan untuk mengerjakan berbagai projek street art yang dilaksanakan di berbagai belahan dunia terutama di Eropa seperti Italia, Jerman, dan sebagainya. “Kesenangan saya melukis di jalanan, itu sejak reformasi 98,” cetus jebolan Universitas Negeri Jember (Unej) ini.
Kurator Bambang Asrini menjelaskan salah satu mural yang dibuat di tembok bangunan.
foto/L Project
Di bawah terik matahari yang menyengat siang itu, Farhan tidak melukis sendiri. Ada sembilan seniman lainnya (street artist) yang berkolaborasi melukis mural bersama dalam kegiatan seni bertajuk “ON & OFF PRESSURE”, di perumahan Alam Raya, Tangerang, Banten, pada 8-10 November 2021. Sembilan seniman tersebut adalah, Anagard, Digie Sigit, The Popo, Arman Jamparing, Bujangan Urban, Media Legal, Edi Bonetski, Hana Madness, dan Bunga Fatia.
baca juga: Kemerdekaan Bermural dalam ON & OFF PRESSURE
Jika Farhan melukis dengan cara menyempotkan cat kaleng yang dilubangi kalengnya, beda halnya dengan teknik melukis Edi Bonetski. Pelukis asal Tangerang, Banten, ini terlihat beberapa kali membolak-balik kanvas lukisnya. “Tekniknya begini aja bang, ga perlu pusing-pusing. Biar orang laen menilai sendiri lukisan kita. Mereka mau bilang jelek, bagus, bahkan bilang gila, gak apa-apa. Bebas…!,” seloroh Edy.
Edy Bonetski, seniman mural otodidak yang dikenal dengan karyanya yang eksentrik dengan banyak memasukkan unsur-unsur absurd di dalam karyanya. Melalui ide-ide eksentriknya, Edy telah banyak mendapatkan berbagai penghargaan di ajang seni bergengsi dengan membawa bermacam isu sosial yang dipantaunya.
Aksi melukis mural seniman Farhan Siki. foto/hendri irawan-koran sindo
Di “ON & OFF PRESSURE”,KORAN SINDOberkesempatan melihat hasil karya Edy Bonetski, di dua kanvas yang ditempelkannya menjadi satu. Edy menjelaskan, sebelum ditempelkan kedua kanvas itu dilumurinya cat. Lalu, bagian belakang kanvas dipukulnya dengan menggunakan kain sorban yang tadi dililitkan di kepalanya. Setelah dua kanvas itu dipisahkan, tercetaklah pola berupa gambar tak beraturan di masing-masing kanvas tadi. “Inilah filosofi “ON & OFF PRESSURE”. Kanvas yang atas menekan, kanvas yang bawah nahan. Terus diangkat, lalu ditekan lagi,” kata Edy tertawa puas melihat hasil karyanya.
baca juga: Gelar Festival Mural, Kapolri: Jaga Kami Jadi Polri yang Lebih Baik
Selain di kanvas, para seniman jalanan ini melukis di tembok-tembok bangunan dengan total luas ±1.500 m2 yang tersebar di tujuh titik di sekitar perumahan Alam Raya. Pemilihan tempat di Alam Raya didasari daerah tersebut yang terbilang strategis, yakni di pusat wilayah Tangerang Kota, sehingga siapapun bisa dengan mudah menemukan lokasi pameran mural “ON & OFF PRESSURE” yang Instagramable. Ini juga sekaligus ingin menjadikan wilayah di kecamatan Benda sebagai alternatif pusat seni kota Tangerang.
Seniman Edi Bonetski asyik melukis mural di salah satu tembok bangunan. foto/L Project
Di hari kedua penyelenggaraan, ekonom senior Rizal Raml i sempat mengunjungi lokasi acara. Ia berfoto di mural Dewi Thermis yang Digambar di salah satu sisi tembok bangunan tempat berlangsungnya pameran mural “ON & OFF PRESSURE”. Mural Dewi Thermis merupakan karya Adrian dan Arsyad, dua seniman mural yang sebelumnya sempat diinterogasi polisi karena membuat mural tentang ' Jokowi not Found -404'.
baca juga: Gambar Kumpulan Kritik untuk Polri Jadi Juara Pertama Bhayangkara Mural Festival 2021
Oleh Rizal Ramli, fotonya tersebut dipostingnya di twitternya. Rizal menulis, Dewi Thermis merupakan dewi keadilan hukum Yunani. "Di mural Dewi Thermis, Dewi Keadilan Hukum Yunani,, dilukis muralnya oleh Adrian dan Arsyad, pelukis mural “Jokowi not found - 404”. Sempat diinterogasi oleh polisi," katanya. "Mural kok kejahatan ???? Untung sudah dikoreksi oleh Kapolri," lanjut mantan Menko Bidang Kemaritiman ini.
Lukisan di kanvas karya para seniman yang membuat mural. foto/hendri irawan-koran sindo
Sementara itu, seniman Hana Madness mengakui, dengan melukis dirinya menemukan gairah luar biasa dan kehidupan baru. Apalagi saat melukis langsung bersama seniman lainnya, seperti melukis mural bersama para seniman jalanan di lokasi pameran mural “ON & OFF PRESSURE”. "Di sini, akhirnya saya mengerti bahwa seni-lah yang menyelamatkan saya,” kata Hana.
Dulunya, orang-orang di sekeliling Hana, menganggap Hana mengalami gangguan kejiwaan dan mental serta pengalaman masa lalu yang buruk. Kini, Hana dikenal melalui warna-warnanya yang begitu cerah dan komikal. Proses berkaryanya mengambil inspirasi dari pengalaman pribadi dirinya yang dekat dengan isu-isu kesehatan jiwa. Dalam hal ini, street art menjadi wilayah yang dimanfaatkan sebagai media terapi untuk berekspresi. “Kini semua berbalik. Keluarga dalam hal ini orang tua saya yang dulunya sangat melarang, sekarang malah mendukung aktivitas saya dalam berkesenian terutama melukis,” ujar Hana.
baca juga: Berpesan dengan Mural
Kurator acara, Bambang Asrini menjelaskan helatan karya outdoor yang digagas para seniman jalanan, untuk merayakan tak adanya tekanan apapun atau tekanan positif/energi yang menyala bagi mereka bersama untuk berkarya! ON/OFF adalah simbolisasi sebuah saklar memati-hidupkan proses berkreasi seniman jalanan. Dalam konteks polemik nasional beberapa bulan terakhir (Juli-Agustus-September 2021), bahwa seni jalanan distigma sebagai aksi “vandalisme”.
Lukisan mural di salah satu tembok bangunan. foto/hendri irawan-koran sindo
“Karya-karya itu juga sempat disampirkan dalam isu politik yang kental. Maka, helatan acara ini ingin menyampaikan pesan bersama bahwa seni jalanan hadir secara majemuk, merdeka dan memang sebagai jedah atas intervensi seni di ruang-ruang publik yang setara,” kata Bambang.
baca juga: Mural Kritik Pemerintah Dihapus, Wagub DKI: Jangan Buat Ajakan Melanggar Aturan
Menurut Bambang, mereka - para seniman jalanan itu, secara psikis dan alamiah menginisiasi untuk menyampaikan pernyataan esensial tentang ekspresi-ekspresi yang privat pun yang komunal. Seniman street art ini niscaya terhubung dengan isu apapun, dari pengalaman personal yang abstrak, politik, lingkungan hidup, keadilan sosial, popularitas dalam kehidupan urban dan konsumerisme (isu urban life) sampai kusutnya kehidupan kota besar dalam ruang kesetaraan warga. Tak ada tekanan apapun bagi seniman-seniman ini untuk bebas berkarya dan memilih konten ekspresi estetik mereka!
Seniman Armand Jamparing. foto/hendri irawan-koran sindo
“Tajuk kuratorial ON/OFF PRESSURE secara personal adalah undangan kemajemukan bagi seniman yang bisa ditafsirkan tentang pergumulan atas “tekanan” tatkala aksi-aksi di jalanan dihadapi dalam sejarah personal atau kelompok-kelompok/kolektif seni mereka. Tekanan-tekanan itu dalam artian positif pun negatif, sejatinya adalah akumulasi energi untuk selalu menyala dalam diri seniman jalanan. Sementara, ruang publik adalah hadirnya keniscayaan berbagai “tekanan” yang bisa jadi sangat personal dialami dalam kerja-kerja seni mereka. ON/OFF Pressure selalu dan akan tetap ada sepanjang hayat menyelimuti aksi dan kreasi seniman jalanan tersebut,” ulas Bambang.
baca juga: Lomba Seni Mural, Kapolri Persilakan Peserta Kreasikan Kritikan
Sementara itu, penyelenggara acara, L PROJECT, dalam isu ini ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pihaknya menentang aksi vandalisme. Penyelenggara ingin memisahkan antara ruang atau kegiatan vandalisme dengan kegiatan seni dalam hal ini mural. “Kami juga ingin meningkatkan produktivitas para rekan-rekan seniman mural untuk kembali produktif di masa pandemi ini. Lalu yang paling utama, dalam kegiatan ini baik seniman yang senior dan junior disatukan dalam satu acara, ini bisa menjadi ajang reuni dan bertukar pandangan serta ilmu bagi mereka,” kata CEO L Project Ali Kusno Fusin.
L PROJECT berharap, acara ini dapat menghasilkan karya-karya yang menginspirasi seniman-seniman mural lainnya terutama di daerah Tangerang. Dan itu terbukti. Sejumlah seniman muda dari berbagai wilayah di Tangerang ikut berekspresi menggoreskan karyanya di tembok-tembok Alam Raya yang terbentang kokoh.
baca juga: Soal Mural Jokowi 404 Not Found, Moeldoko: Presiden Engga Pernah Pusing dengan Kritik
Hanya hitungan detik, semburan cat yang keluar dari lubang kecil di dekat kepala kaleng cat, tekanannya perlahan mengecil hingga menyisakan tetesan cat. Lubang kecil itu tadinya sengaja dibolongi oleh Farhan dengan pahat. “Tekanan gas dalam kaleng ini kan tinggi. Kalo kalengnya dilubangi, catnya lebih cepat menyembur dan lebih enak kita menyemprotkannya ke kanvas ketimbang kita semprotkan dengan menekan tombolnya,” kata Farhan menjelaskan teknik melukisnya yang tak biasa.
Ada empat kaleng cat yang masing-masing berwarna kuning, biru, hitam, dan merah, habis disemprotkan Farhan ke kanvas yang dilukisnya. Cipratan cat membentuk pola unik dan perpaduan warna yang indah. Lelehan cat juga membuat gambar yang dihasilkan makin terlihat cantik dan sedap dipandang.
Seniman Hana Madness nampak menikmati melukis mural. foto/L Project
Tak berhenti sampai di situ, sejumlah orang yang menonton diminta Farhan untuk menyodorkan sepatu masing-masing. Tanpa tedeng aling-aling, Farhan lalu mencipratkan sisa-sisa cat yang masih menetes dari kaleng ke sepatu orang-orang itu. Bukannya marah, orang-orang tersebut malah berebut minta sepatunya dicipratkan cat. “Jadi bagus begini sepatu gua. Mahal ini sepatu, ada karya seninya,” celetuk seorang fotografer yang dari tadi sibuk memotret Farhan melukis.
baca juga: Polemik Mural Jokowi di Tangerang, Pakar Telematika Jelaskan Istilah 404: Not Found
Farhan yang dijuluki “The Asian Bansky”, dalam karyanya banyak berbicara mengenai kapitalisme dan konsumerisme yang terjadi di dalam kehidupan urban. Pria bernama lengkap Farhan Siki, ini secara aktif turun ke jalan untuk mengerjakan berbagai projek street art yang dilaksanakan di berbagai belahan dunia terutama di Eropa seperti Italia, Jerman, dan sebagainya. “Kesenangan saya melukis di jalanan, itu sejak reformasi 98,” cetus jebolan Universitas Negeri Jember (Unej) ini.
Kurator Bambang Asrini menjelaskan salah satu mural yang dibuat di tembok bangunan.
foto/L Project
Di bawah terik matahari yang menyengat siang itu, Farhan tidak melukis sendiri. Ada sembilan seniman lainnya (street artist) yang berkolaborasi melukis mural bersama dalam kegiatan seni bertajuk “ON & OFF PRESSURE”, di perumahan Alam Raya, Tangerang, Banten, pada 8-10 November 2021. Sembilan seniman tersebut adalah, Anagard, Digie Sigit, The Popo, Arman Jamparing, Bujangan Urban, Media Legal, Edi Bonetski, Hana Madness, dan Bunga Fatia.
baca juga: Kemerdekaan Bermural dalam ON & OFF PRESSURE
Jika Farhan melukis dengan cara menyempotkan cat kaleng yang dilubangi kalengnya, beda halnya dengan teknik melukis Edi Bonetski. Pelukis asal Tangerang, Banten, ini terlihat beberapa kali membolak-balik kanvas lukisnya. “Tekniknya begini aja bang, ga perlu pusing-pusing. Biar orang laen menilai sendiri lukisan kita. Mereka mau bilang jelek, bagus, bahkan bilang gila, gak apa-apa. Bebas…!,” seloroh Edy.
Edy Bonetski, seniman mural otodidak yang dikenal dengan karyanya yang eksentrik dengan banyak memasukkan unsur-unsur absurd di dalam karyanya. Melalui ide-ide eksentriknya, Edy telah banyak mendapatkan berbagai penghargaan di ajang seni bergengsi dengan membawa bermacam isu sosial yang dipantaunya.
Aksi melukis mural seniman Farhan Siki. foto/hendri irawan-koran sindo
Di “ON & OFF PRESSURE”,KORAN SINDOberkesempatan melihat hasil karya Edy Bonetski, di dua kanvas yang ditempelkannya menjadi satu. Edy menjelaskan, sebelum ditempelkan kedua kanvas itu dilumurinya cat. Lalu, bagian belakang kanvas dipukulnya dengan menggunakan kain sorban yang tadi dililitkan di kepalanya. Setelah dua kanvas itu dipisahkan, tercetaklah pola berupa gambar tak beraturan di masing-masing kanvas tadi. “Inilah filosofi “ON & OFF PRESSURE”. Kanvas yang atas menekan, kanvas yang bawah nahan. Terus diangkat, lalu ditekan lagi,” kata Edy tertawa puas melihat hasil karyanya.
baca juga: Gelar Festival Mural, Kapolri: Jaga Kami Jadi Polri yang Lebih Baik
Selain di kanvas, para seniman jalanan ini melukis di tembok-tembok bangunan dengan total luas ±1.500 m2 yang tersebar di tujuh titik di sekitar perumahan Alam Raya. Pemilihan tempat di Alam Raya didasari daerah tersebut yang terbilang strategis, yakni di pusat wilayah Tangerang Kota, sehingga siapapun bisa dengan mudah menemukan lokasi pameran mural “ON & OFF PRESSURE” yang Instagramable. Ini juga sekaligus ingin menjadikan wilayah di kecamatan Benda sebagai alternatif pusat seni kota Tangerang.
Seniman Edi Bonetski asyik melukis mural di salah satu tembok bangunan. foto/L Project
Di hari kedua penyelenggaraan, ekonom senior Rizal Raml i sempat mengunjungi lokasi acara. Ia berfoto di mural Dewi Thermis yang Digambar di salah satu sisi tembok bangunan tempat berlangsungnya pameran mural “ON & OFF PRESSURE”. Mural Dewi Thermis merupakan karya Adrian dan Arsyad, dua seniman mural yang sebelumnya sempat diinterogasi polisi karena membuat mural tentang ' Jokowi not Found -404'.
baca juga: Gambar Kumpulan Kritik untuk Polri Jadi Juara Pertama Bhayangkara Mural Festival 2021
Oleh Rizal Ramli, fotonya tersebut dipostingnya di twitternya. Rizal menulis, Dewi Thermis merupakan dewi keadilan hukum Yunani. "Di mural Dewi Thermis, Dewi Keadilan Hukum Yunani,, dilukis muralnya oleh Adrian dan Arsyad, pelukis mural “Jokowi not found - 404”. Sempat diinterogasi oleh polisi," katanya. "Mural kok kejahatan ???? Untung sudah dikoreksi oleh Kapolri," lanjut mantan Menko Bidang Kemaritiman ini.
Lukisan di kanvas karya para seniman yang membuat mural. foto/hendri irawan-koran sindo
Sementara itu, seniman Hana Madness mengakui, dengan melukis dirinya menemukan gairah luar biasa dan kehidupan baru. Apalagi saat melukis langsung bersama seniman lainnya, seperti melukis mural bersama para seniman jalanan di lokasi pameran mural “ON & OFF PRESSURE”. "Di sini, akhirnya saya mengerti bahwa seni-lah yang menyelamatkan saya,” kata Hana.
Dulunya, orang-orang di sekeliling Hana, menganggap Hana mengalami gangguan kejiwaan dan mental serta pengalaman masa lalu yang buruk. Kini, Hana dikenal melalui warna-warnanya yang begitu cerah dan komikal. Proses berkaryanya mengambil inspirasi dari pengalaman pribadi dirinya yang dekat dengan isu-isu kesehatan jiwa. Dalam hal ini, street art menjadi wilayah yang dimanfaatkan sebagai media terapi untuk berekspresi. “Kini semua berbalik. Keluarga dalam hal ini orang tua saya yang dulunya sangat melarang, sekarang malah mendukung aktivitas saya dalam berkesenian terutama melukis,” ujar Hana.
baca juga: Berpesan dengan Mural
Kurator acara, Bambang Asrini menjelaskan helatan karya outdoor yang digagas para seniman jalanan, untuk merayakan tak adanya tekanan apapun atau tekanan positif/energi yang menyala bagi mereka bersama untuk berkarya! ON/OFF adalah simbolisasi sebuah saklar memati-hidupkan proses berkreasi seniman jalanan. Dalam konteks polemik nasional beberapa bulan terakhir (Juli-Agustus-September 2021), bahwa seni jalanan distigma sebagai aksi “vandalisme”.
Lukisan mural di salah satu tembok bangunan. foto/hendri irawan-koran sindo
“Karya-karya itu juga sempat disampirkan dalam isu politik yang kental. Maka, helatan acara ini ingin menyampaikan pesan bersama bahwa seni jalanan hadir secara majemuk, merdeka dan memang sebagai jedah atas intervensi seni di ruang-ruang publik yang setara,” kata Bambang.
baca juga: Mural Kritik Pemerintah Dihapus, Wagub DKI: Jangan Buat Ajakan Melanggar Aturan
Menurut Bambang, mereka - para seniman jalanan itu, secara psikis dan alamiah menginisiasi untuk menyampaikan pernyataan esensial tentang ekspresi-ekspresi yang privat pun yang komunal. Seniman street art ini niscaya terhubung dengan isu apapun, dari pengalaman personal yang abstrak, politik, lingkungan hidup, keadilan sosial, popularitas dalam kehidupan urban dan konsumerisme (isu urban life) sampai kusutnya kehidupan kota besar dalam ruang kesetaraan warga. Tak ada tekanan apapun bagi seniman-seniman ini untuk bebas berkarya dan memilih konten ekspresi estetik mereka!
Seniman Armand Jamparing. foto/hendri irawan-koran sindo
“Tajuk kuratorial ON/OFF PRESSURE secara personal adalah undangan kemajemukan bagi seniman yang bisa ditafsirkan tentang pergumulan atas “tekanan” tatkala aksi-aksi di jalanan dihadapi dalam sejarah personal atau kelompok-kelompok/kolektif seni mereka. Tekanan-tekanan itu dalam artian positif pun negatif, sejatinya adalah akumulasi energi untuk selalu menyala dalam diri seniman jalanan. Sementara, ruang publik adalah hadirnya keniscayaan berbagai “tekanan” yang bisa jadi sangat personal dialami dalam kerja-kerja seni mereka. ON/OFF Pressure selalu dan akan tetap ada sepanjang hayat menyelimuti aksi dan kreasi seniman jalanan tersebut,” ulas Bambang.
baca juga: Lomba Seni Mural, Kapolri Persilakan Peserta Kreasikan Kritikan
Sementara itu, penyelenggara acara, L PROJECT, dalam isu ini ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pihaknya menentang aksi vandalisme. Penyelenggara ingin memisahkan antara ruang atau kegiatan vandalisme dengan kegiatan seni dalam hal ini mural. “Kami juga ingin meningkatkan produktivitas para rekan-rekan seniman mural untuk kembali produktif di masa pandemi ini. Lalu yang paling utama, dalam kegiatan ini baik seniman yang senior dan junior disatukan dalam satu acara, ini bisa menjadi ajang reuni dan bertukar pandangan serta ilmu bagi mereka,” kata CEO L Project Ali Kusno Fusin.
L PROJECT berharap, acara ini dapat menghasilkan karya-karya yang menginspirasi seniman-seniman mural lainnya terutama di daerah Tangerang. Dan itu terbukti. Sejumlah seniman muda dari berbagai wilayah di Tangerang ikut berekspresi menggoreskan karyanya di tembok-tembok Alam Raya yang terbentang kokoh.
(hdr)